Simfoni Bunga Rumput 13

2
81

“Anda yang bernama Kinanti?” lelaki anggun itu kembali bertanya. Kin yang sesaat terbekap gagap, segera menjawab.

“I… iya, Pak!” jawab Kin, terbata. Bertemu dengan orang sekelas pak Wisnu dalam kondisi seperti sekarang ini benar-benar membuatnya gugup.

“Saya Wisnu!”

“I… ya, Pak!” Untuk menghormati sosok terhormat yang mem-bezuuk-nya itu, Kin mencoba bangkit. Namun dengan cepat Pak Wisnu mengangkat tangannya, lalu menahannya melalui kata-kata.

“Ndak usah duduk… berbaring saja! Nanti sakitmu malah bertambah parah,” ucapnya, penuh karisma. Senyumnya terkembang, begitu aristokrat. “Anda Kinanti, mahasiswa yang sering dibangga-banggakan dekan dan rektor itu, kan? Senang bertemu anda, meski dalam kondisi yang sama-sama tidak kita harapkan.”

Ucapannya begitu halus dan teratur, keluar dengan nada-nada yang lembut, merdu, dan berwibawa. Wah, si bapak ini berkelas juga. Sudah tampan, pintar, kaya, santun, ramah lagi. Bagaimana mungkin seorang lelaki seperti itu memiliki seorang puteri dengan karakter ajaib, serta segudang perbendaharaan kalimat yang lebih mirip anak jalanan tak beradab itu? Apakah kesibukan yang segudang membuat beliau melupakan pendidikan anak-anaknya? Prototipe orang tua metropolitan masa kini? Ah, daripada memiliki orangtua sehebat itu tetapi anak-anaknya dibiarkan terlantar, Kin jelas sangat bersyukur, memiliki ayah dan ibu yang selalu hangat, meski hidup dalam aroma kesederhanaan yang sangat kental.

“Ah, rasanya … penilaian itu terlalu berlebihan!” ujar Kin, merendah dan memang benar-benar merasa minder. Dikunjungi mantan menteri!

“Saya kemari karena ditelepon oleh panitia Pomaru. Yaah … sebagai orangtua Clarissa, saya dan istri benar-benar meminta maaf atas perlakuannya yang sangat keterlaluan itu.”

“Clarissa tidak ….”

“Tak usah membelanya, Kin. Memang Clarissa begitu karakternya. Kami sebagai orangtua sudah lama bingung dengan sikapnya. Memang … ah, sebenarnya saya tidak harus menceritakan yang sebenarnya, tetapi … saya pandang kamu perlu tahu, Saudari Kinanti. Begini, besok jika kamu sudah sembuh… saya ingin berbicara empat pasang mata dengan kamu. Sekarang sudah terlalu malam, saya harus membawa Clarissa pulang ke Jakarta. Jangan khawatir, semua biaya rumah sakit akan saya tanggung. Meski itu tidak cukup untuk mewujudkan rasa sesal kami, saya harap kamu mau menerimanya! O, ya… ada salam dari istri saya, kebetulan beliau tidak bisa ikut datang kesini karena ada kesibukan. Beliau minta, kapan-kapan Kinanti dan teman-teman sering-sering datang ke rumah untuk silaturahim. Tentu saja jika kalian tidak keberatan.”

Panggilan ‘kamu’ dari sang bapak, membuat Kin merasa lebih akrab. “Saya… saya tidak tahu harus berkata apa, Pak! Terus terang, kedatangan Bapak saja sudah membuat saya sangat tersanjung. Saya ….”

“Sudahlah,” ujar Pak Wisnu, lagi-lagi tersenyum lembut, sangat kebapakan. Pesona Pak Wisnu benar-benar luar biasa. Bisa-bisa Kin ngefans nich, sama beliau. Selama ini ia memang sering melihat wajah itu, tetapi untuk sampai acara ngobrol seperti ini … boro-boro. Dia kan pejabat, sedang Kin … cuma rakyat kecil.

“Tak perlu diungkit lagi. Terima kasih, kamu sudah mau bersusah payah mengurusi Clarissa, bagi kami itu sudah bentuk kebaikan yang sangat besar. Kami tidak tahu, bagaimana cara membalas kebaikan itu. Untuk selanjutnya, saya tetap memohon bantuan kamu. Saya ingin kamu bisa dekat dengan Clarissa.”

Dekat dengan Clarissa? Kin merinding. Teringat bagaimana sosok bongsor itu menenggelamkannya di danau.

“Bagaimana, Kin?”

“Ngg … Clarissa, mungkin akan membahayakan orang-orang yang di dekatnya, Pak. Dia … harus diterapi oleh Psikolog atau Psikiater, mungkin ada masalah dengan kejiwaannya.”

“Ya, sebenarnya … memang … ah, nanti saja kalau waktunya cukup, saya akan bercerita kepadamu, Kin. Sekarang, rasanya sudah terlalu malam. Saya takut Mama Rissa di rumah semakin cemas karena Rissa nggak juga pulang. Semoga kamu lekas sembuh. Assalamu’alaikum!”

“Wa … wa’alaikumussalam…,” jawab Kin terbata.

Hingga bayangan tubuh lelaki tegap itu hilang, Kin masih tak percaya dengan apa yang barusan dialaminya. Dikunjungi seorang pejabat tinggi yang juga sering disebut-sebut sebagai kandidat wakil presiden … bahkan presiden republik ini. Wah, benar-benar seperti mimpi!

“Wah, hebat Lo, Kin!” ujar Icha begitu lelaki penuh pesona itu pergi. “Pak Wisnu aja sampai datang kesini.”

“Eh, beda banget ya, papah sama anak. Pak Wisnu itu orangnya penuh tata krama, ganteng, halus … khas priyayi Jawa. Tapi anaknya? Brr….!” Zaky angkat bahu. “Jangan-jangan… Clarissa itu pengidap Schyzoprenia.”

Schyzoprenia! Nah, itu dia kata kuncinya! Kinanti tercenung sesaat. Betulkah Clarissa itu… gila? Sangat mungkin. Dia memang melihat ketidakwarasan di balik sikap Clarissa.

Ya Allah! Gadis secantik dia?

* * *

Beberapa hari kemudian …

Meskipun sudah tiga tahun menjadi mahasiswa Unmaja, baru kali ini Kinanti berkesempatan memasuki ruang ketua Yayasan. Berukuran sekitar 4×5 meter persegi, dengan cat dinding warna kuning gading. Kusen-kusen terbuat dari kayu jati berukir yang dibiarkan tetap pada warna aslinya dan tampak mengilap karena vernis yang memulasnya. Interior ruangan didesain gaya Jawa. Sebuah patung Ganesya terbuat dari perungu berdiri tegak tepat di samping pintu masuk, berjajar dengan sebuah tempat terbuat dari kayu berukir dengan lobang-lobang yang diisi beberapa batang tombak. Hm… banyak benda kuno, jangan-jangan pak Wisnu itu percaya juga sama mistik. Mungkin saja, kan dia keturunan ningrat. Seorang pangeran dari seorang raja Jawa yang berkuasa sekarang ini.

Gordin-gordin berwarna hijau lumut membuat ruang terasa semakin asri. Sebuah meja besar terletak di sudut ruangan. Di belakang meja terbuat dari kayu jati, Doktor Wisnu duduk di atas kursi yang didesain mirip singgasana istana Jawa. Tepat di depan meja, berjarak sekitar satu meter, satu set kursi tamu tertata rapi, lengkap dengan beberapa pot bunga hidup. Hawa dingin beraroma lavender berasal dari AC langsung menyergap seluruh tubuh terbungkus jilbab rapi Kinanti, begitu ia membuka pintu kaca yang membatasi ruang ketua dengan ruang-ruang lain di gedung yayasan yang berdiri megah itu di tengah komplek Universitas Majapahit itu.

Terasa sekali aura keningratan sang pejabat. Aura yang berbaur mistis? Sayang sekali jika orang sebaik Pak Wisnu masih percaya dengan segala macam takhayul. Tetapi zaman memang unik. Banyak orang-orang yang kelihatannya sudah sangat pandai, namun salah satu sudut di otaknya masih menyimpan memori zaman batu. Kin pernah mendapati sebuah mall besar yang tidak memiliki sistem pengamanan yang cukup memadai, namun pihak sekuriti tidak merasa cemas. Usut punya usut, seorang wanita tua yang setiap hari duduk di depan pintu mall seraya merokok itulah yang memegang kendali pengamanan seluruh mall. Wanita itu, kata seorang satpam, adalah seorang paranormal yang ilmunya setinggi langit. Aneh bin ajaib, tetapi itulah fakta.

“Silahkan duduk!” ujar sang pejabat, mempersilahkan Kinanti. “Bagaimana kabar kamu, Saudari Kinanti? Apakah sudah sehat?”

Pak Wisnu masih konsisten menyebutnya dengan ‘kamu’.

“Alhamdulillah, sudah cukup sehat, Pak!”

“Oke. Jadi, pembicaraan kita bisa dimulai, kan?”

“Pembicaraan tentang ….”

“Anak saya, Clarissa. Seberapa lama kamu mengenal dia?”

“Mmm … sebenarnya baru beberapa minggu, Pak. Tepatnya setelah saya ditunjuk menjadi kakak pendampingnya di acara Pekan Orientasi Mahasiswa Baru.”

Bukan, bukan di pekan orientasi. Pertemuan pertama adalah saat insiden penabrakan sepeda motor bututnya itu ….

Ah, sebaiknya itu tak usah diceritakan.

“Dan kamu tentu menemukan beberapa keanehan-keanehan pada dirinya, bukan?”

Keanehan-keanehan? Maksudnya … gejala sakit jiwa itu? Kinanti termenung beberapa saat. “Terus terang … iya. Tetapi … saya tidak yakin. Saya tidak punya ilmu tentang kejiwaan. Dan … saya berharap, semoga itu cuma kecurigaan yang tak mendasar. Saya ….”

“Anda tidak salah, Saudara Kinanti. Clarissa memang memiliki sebuah gejala kelainan jiwa … yang sebenarnya sudah sangat lama dialami. Dia mengalami psikopat. Itu diagnosisnya. Kami sudah berkali-kali mencoba membawanya ke psikolog dan juga psikiater. Tetapi, belum berhasil.” Pak Wisnu terdiam agak lama, lalu mendesah pelan.

“Bagaimana … dia mengalami gangguan itu, Pak?” Kinanti menggigit bibir. Psikopat adalah gangguan kepribadian, cirinnya antisosial, tak punya empati, karakternya sulit ditebak, kasar, dan juga sering menyakiti orang lain, seakan-akan tidak memiliki hati nurani. Apakah … dia pernah mengalami masa lalu yang traumatis?

“Terus terang … Clarissa sebenarnya bukan anak kandung kami.”

Tangan Kin menegang.

“Kanker rahim membuat istri saya dinyatakan tak bisa memiliki keturunan.” Pak Wisnu tersenyum pahit. “Saat itu, harapan kami sempat menguncup. Tetapi sungguh, saya sangat mencintai istri saya. Saya tak akan menceraikan atau memadunya dengan wanita lain. Akhirnya, setelah kami berbincang dari hati ke hati, kami pun sepakat untuk mengadopsi anak.”

Diam melingkupi ruang, menambah beku suasana yang telah tercipta sebelumnya dari hempusan dingin AC.

“Clarissa kami ambil dari sebuah panti sosial. Saat itu, ia baru berusia 10 tahun. Ia seorang bocah malang yang tak diketahui jelas siapa orang tuanya. Kehidupan yang ia alami di masa kecil sungguh mengerikan. Sejak bayi, dia diasuh oleh seorang germo rendahan yang tak segan-segan memukulinya dan menyekapnya di dalam almari sempit yang penuh kecoak. Kabarnya sih, ia anak seorang pelacur yang belasan tahun ikut dengan germo tersebut. Sedangkan siapa bapaknya … tidak ada yang tahu. Pelacur itu adalah primadona di kelasnya. Tamunya banyak. Jadi, siapa yang berhasil menaruh bibit sperma di rahimnya pun tidak jelas. Yang pasti, pada usia tujuh tahun, ia berhasil kabur dari germo itu … dan ia pun menjalani kehidupan yang lebih liar dari sebelumnya. Kehidupan yang berkubang kekerasan dan kesadisan. Ia belajar mencopet, mengemis, menipu … ya Tuhan, saya tidak bisa membayangkan, bagaimana kehidupan Clarissa saat itu.  Beberapa kali ia menjadi sasaran nafsu bejat kaum paedofilia. Ia benar-benar telah terbiasa dengan aroma kekerasan. Sampai akhirnya ia ditangkap dalam sebuah razia, dan dimasukan ke panti sosial. Ketika kami mengambilnya, sekujur tubuhnya penuh dengan goresan bekas luka.”

Kinanti mendadak merasakan sekujur tubuhnya merinding.

“Kami pun mencurahinya dengan kasih sayang, kami berharap ia bisa tumbuh menjadi anak yang normal, namun sepertinya… itu sudah terlambat. Hatinya telah telanjur beku, jiwanya telanjur rusak. Barangkali syaraf empatinya sudah terputus. Perilakunya yang kasar tak dapat kami kendalikan. Demikian juga kegemarannya memaki dengan bahasa yang saya sendiri tak memahami saking kasarnya. Ketika berusia 13 tahun, ia menusuk seorang pembantu kami dengan pisau dapur, untungnya pembantu itu berhasil diselamatkan. Setelah urusan dengan polisi beres, kami berinisiatif untuk memeriksakan dia ke dokter jiwa, dan diagnosis yang diambi benar-benar membuat kami sangat terkejut.  Ia mengidap gejala psikopat.”

Kinanti menghela napas panjang.

“Beberapa tahun ia diterapi oleh beberapa ahli jiwa … saya pikir dia sudah sembuh… ternyata….” Pak Wisnu memejamkan mata, tampak sangat terpukul. “Ia belum juga berhasil menghilangkan trauma masa lalunya. Kejadian yang menimpa kamu ini puncaknya. Untuk itu, terpaksa kami mengambil kebijakan yang cukup tegas. Untuk beberapa saat, Clarissa akan kami isolasi di sebuah tempat di desa yang terpencil. Kebetulan kami punya sebuah rumah di sebuah kampung di pedalaman Jawa Tengah. Kami tidak tahu lagi apa yang harus kami lakukan …. Jadi, pengasingan … terpaksa itu yang kami lakukan. Yah, daripada harus dirawat di Rumah Sakit Jiwa? Terus terang, imej masyarakat tentang RSJ sampai saat ini kan masih negatif.”

Kini Kinanti merasakan sekujur tubuhnya terasa lemas.

“Tolong kamu rahasiakan cerita ini, oke? Terus terang, kami tidak ingin kasus Clarissa ini menjadi konsumsi media … apalagi menjadi bahan gosip.”

Tentu … lelaki di depannya ini adalah kandidat wapres, meskipun belum fix benar. Kin mengangguk dengan kepala yang terasa sangat berat.

“Tetapi, saya tetap akan minta bantuan kamu, Kin ….”

“Bantuan apa, Pak? Saya bukan psikolog atau psikiater.”

“Dia akan tetap didampingi para ahli jiwa, tetapi dia butuh teman sebaya, butuh kakak yang sabar mendampinginya. Sesekali, saat liburan mungkin, saya ingin kamu datang ke sana, menemaninya.”

Kin kembali menggigit bibir. Apakah dia sanggup?

BERSAMBUNG KE BAGIAN EMPAT BELAS

CATATAN PENULIS:

Novel “Simfoni Bunga Rumput” ditulis pada tahun 2005 dan pernah terbit sebagai buku di FBA Press. Penayangan di website ini setelah melewati proses rewrite dengan penambahan bab-bab baru. Karena ditulis tahun 2005, setting novel ini tentu sangat berbeda dengan Jakarta saat ini. Ingin baca novel ini secara lengkap? Silakan klik NOVEL SIMFONI BUNGA RUMPUT.


2 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here