Danu Kuncoro, lelaki muda itu tertegun sesaat melihat sang adik yang biasanya cerewet kini terdiam seribu basa. Selain cerewet, sang adik juga sangat aktif. Apapun dia kerjakan. Mulai dari membersihkan rumah, menata buku, hingga naik ke atap, membetulkan genting bocor. Jika tak sedang ada tugas kuliah, Kin bahkan sangat sering berkutat di dapur, menjajal aneka menu baru. Akan tetapi, berbeda dengan biasanya, beberapa hari ini, ia lebih memilih mengurung diri di kamarnya yang sempit, bergumul dengan buku-buku tebalnya, serta mencorat-coret di kertas kosong.
“Tumben kamu hilang suara, Kin! Kayak patung aja,” tegur lelaki itu, Mas Danu, kali ini lembut. Sebagai sarjana hukum dan pernah beberapa kali mengadvokasi klien di pengadilan, Mas Danu lebih sering berucap dengan desibel vokal di atas rata-rata. “Masih sakit, ya?”
Kin menoleh sekilas, lalu kembali tenggelam pada buku yang tengah ia baca.
“Kin! Kamu masih sakit?”
“Nggak.”
“Tadi aku ketemu Edo. Motor kamu sudah bisa diambil besok pagi. Jadi, lusa kamu bisa ke kampus naik motor lagi, tetapi hati-hati ya?”
“O, ya?” Kin sesaat berubah. Ia menatap sang abang lekat. “Mas yang bayarin, ya? Aku gak punya duit.”
“Kemarin mas dapat proyek di kampus, bayarannya lumayan. Yah, sekalian bayar zakatlah … untuk fakir miskin seperti kamu!”
Sialan! Kin manyun. “Kalau bayarannya lumayan, jangan sekadar bayarin servis dong, sekalian DP motor baru.”
“Halah, entar kamu makin sering ngeluyur.”
“Kan ngeluyur di jalan kebaikan.”
“Kamu sejak kemarin baca terus.”
“Aku kan memang suka baca.”
“Tetapi nggak sekuat aku. Sekarang, kamu ngalahin aku rekornya.”
“Aku mau cepat-cepat lulus, terus ikut seleksi beasiswa master ke Perancis atau Belanda.”
Kening Danu berkerut, matanya terpicing, tertuju pada buku yang tengah dibaca sang adik. “Mau cepat lulus, kok bacanya Sheila-nya Torey Hayden? Mestinya baca Undang-Undang terbaru.”
“Boleh kan, aku mencoba bercermin?” desah Kinanti. “Akhir-akhir ini … aku dihadapkan pada manusia-manusia aneh. Aku butuh referensi buat menghapi orang-orang aneh seperti mereka.”
“Orang aneh?” Danu tergelak. “Kamu sendiri juga orang aneh.”
Danu dan Kinanti tinggal di sebuah rumah kecil yang terletak di sebuah kawasan perkampungan di tepi gang yang padat penduduk. Mereka mengontrak dari seorang haji Betawi yang kasar namun baik hati dan sudah mereka anggap seperti ayah sendiri. Dengan sebuah ruang tamu sempit yang digelari karpet dan seperangkat kursi kayu, sebuah ruang tengah, dapur, kamar mandi dan dua kamar tidur di lantai dua, rumah itu relatif representatif dibandingkan dengan rumah-rumah di perkampungan itu pada umumnya.
Setiap musim hujan, banjir selalu bertandang, paling parah air menggenang hingga satu meter. Untuk itu, Danu memboyong semua buku, barang elektronik dan alat-alat tak tahan air lainnya ke lantai dua. Sebuah tempat sempit yang terbentuk dari dua kamar yang juga sempit pun didesain menjadi perpustakaan mini. Sebuah karpet tebal, lemari berisi lebih dari seribu judul buku, jurnal serta majalah, kipas angin besar, sebuah komputer pentium empat dan satu rak VCD membuat tempat itu menjadi satu-satunya tempat yang paling mewah di rumah sederhana itu.
“Kin!” panggil Danu yang kini mulai menghadapi sebuah buku tebal.
“Ya?”
“Kayaknya, selama tiga atau empat hari aku mau pulang kampung.”
“O, ya? Kapan mas pulang?”
“Mungkin besok, atau lusa. Kalau izin cuti dikabulkan, ya besok pagi-pagi, naik kereta.”
“Emang ada urusan apa, sih?” tanya Kin, curiga.
“Rahasia!”
“Mau minta izin nikah, ya? Kok nggak pernah ngenalin calonnya? Ayo, kenalin dulu ke aku… nanti tak siapkan seperangkat software buat fit and proper test deh! Dijamin akurat dan gratis … tis!”
“Uh, cerewet!”
“Lho … ini wujud perhatian dan kasih sayang seorang adik kepada kakak yang paling baik seduniaaa …!”
“Sebaiknya kamu kunci mulut kamu rapat-rapat.”
“Lho, tadi aku diam saja, mas protes. Sekarang aku ngomong, mas minta aku diam. Mau mas apa sih? Eh, kalau sama mbak Ardani mau nggak?”
“Ardani? Siapa tuh?”
“Guru ngajiku. Psikolog, master juga. Orangnya baik, ramah, penuh perhatian, full smile, cerdas, pokoknya klop deh sama mas Danau yang nyebelin, jutek, tidak pedulian, nggak pernah senyum ….”
“Kok kamu malah ngejodohin aku sama Ardani, trus Icha mau diapakan?”
“Eh, Mas Danu naksir Icha?”
“Katamu Icha yang naksir aku?”
“Jiaaah, ge-er. Eh, Icha memang sering nanyain kamu sih, Mas. Tapi, masak iya Icha mau jadi kakak iparku? Aneh rasanya.” Kin tertawa. Mereka biasa nongkrong bareng, saling curhat, saling debat, saling … lucu juga kalau akhirnya Icha menjadi kakaknya.
“Kau ini ada-ada saja. Aku belum akan nikah sampai kamu lulus master! Aku konsisten dengan janjiku, membiayai sekolahmu sampai master, kecuali kamu dapat beasiswa.”
“Dih, ketuaan.”
“Makanya, 25 tahun kamu harus sudah lulus master, biar mas nggak ketuaan nikahannya.”
“Wah, maksa!”
Telepon yang mendadak berdering menghentikan perbincangan akrab itu. Cepat Kin bangkit, meraih sambungan paralel di kamarnya.
“Halloo …! Assalamu’alaikum!”
“Wa … wa’alaikum salam … Kak Kinanti?” suara lirih dan terbata.
“Betul. Ini siapa, ya?”
“Liza, kak!”
“Oh, Liza. Ada apa, ya?”
“Sekarang aku sudah ada di gang dekat rumah kakak, tapi aku bingung … rumah kakak yang mana, ya?”
Kinanti melirik jam weker di meja kamar. Pukul setengah enam sore. Ada apa sore-sore begini Liza datang kemari.
“Rumah nomor lima enam, catnya biru. Kalau bingung, tanya deh ke semua orang, rumah Kinanti atau mas Danu yang mana. Insya Allah tahu semua.” Dih, sok tenar yee ….
“Kakak nggak kemana-mana kan, sore ini?”
“Nggak.”
“Liza mau maen agak lama ….”
“Gini, Liz … kamu datang aja ke rumah. Ngobrol disini aja, ya?”
“Ya. Tapi … kakak nggak akan pergi, kan?”
“Tidak … tidak!”
Hanya sekitar sepuluh menit menunggu, sosok Liza yang kurus kerempeng telah muncul di depan pintu. Ia tampak lusuh dan lelah sekali. Napasnya tersengal-sengal … duh, mudah-mudahan dia tidak sedang sakaw saja. Barabe!
“Masuk, Liz!” Kin merangkul pundak Liza yang penuh dengan tonjolan tulang itu. Tubuh itu benar-benar ringkih. “Kamu naik apa ke sini?”
“Taksi. Kan aku nggak boleh bawa mobil sendiri sekarang.”
“Nggak nyangka kamu mau datang kesini. Silakan duduk!”
“Tutup pintunya, ya Kak!”
“Kenapa?”
“Aku … aku takut!” Liza menggigit bibirnya. “Barusan … aku dikejar sama Robert. Dia … dia mau bunuh gue!”
“Robert?”
“Nggak ada tempat yang aman untuk aku … Robert selalu mengejarku. Bahkan sampai ke rumah. Telepon selalu berdering. Teror … aku diancam terus. Aku … aku takut sekali!”
“Liz ….”
“Aku nggak punya teman di rumah. Cuma ada sopir, satpam dan pembantu. Tapi … mereka nggak bisa membuat aku tenteram. Tadi aku telepon kak Icha, tapi dia nggak ada. Jadi aku kesini.”
Kinanti menatap gadis pecandu narkotika itu, prihatin.
“Robert punya banyak anak buah, preman-preman brengsek itu! Ia marah sekali, karena sudah lama gue nggak setor. Putaw yang gue bawa kemarin itu … lumayan banyak.”
Dan Icha telah dengan sukses melemparkan benda terkutuk itu ke dalam danau. Benda yang ternyata bisa membuat Liza kehilangan nyawa.
“Aku juga masih punya banyak hutang ke Robert. Dia nggak mau ngebiarin aku lepas begitu saja.”
“Hutang?” Kin meledak. “Dialah yang sebenarnya sudah berhutang luar biasa banyak sama kamu! Dia telah menghancurkan hidup kamu, tahu!”
“Robert nggak mau tahu … dia ingin uang-uang yang ada pada aku balik ke dia!”
“Jangan mau!”
“Dia ngancem!”
“Tidak kau laporkan sama Papa kamu?”
Liza menggeleng. “Aku takut. Papa pasti akan sangat marah. Kak, please! Sementara ini, boleh nggak aku nginep di rumah Kakak? Aku butuh perlindungan.”
Kin menghela napas panjang. Mas Danu mau pulang kampung, jadi tak masalah Liza menginap disitu untuk beberapa hari. Masalahnya, bagaimana jika Robert tahu dan …
“Baiklah, Liz!”
“Makasih, Kak… Kamu memang sangat baik!”
Kin tersenyum tulus. Liza menghambur dalam pelukannya. Tak ada tangis. Tak ada air mata. Tetapi tubuh itu terus gemetar. Kin tahu, batin Liza sangat gempar oleh ketakutan, kesedihan dan ribuan kecamuk jiwa. Suatu saat, Kin akan membawa Liza kepada Kak Ardani yang berprofesi sebagai psikolog. Mungkin Kak Ardani bisa menolong Liza.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 15
CATATAN PENULIS:
Novel “Simfoni Bunga Rumput” ditulis pada tahun 2005 dan pernah terbit sebagai buku di FBA Press. Penayangan di website ini setelah melewati proses rewrite dengan penambahan bab-bab baru. Karena ditulis tahun 2005, setting novel ini tentu sangat berbeda dengan Jakarta saat ini. Ingin baca novel ini secara lengkap? Silakan klik NOVEL SIMFONI BUNGA RUMPUT.