Petrichor

14
946

Aroma petrichor selalu mampu menyeretku ke masa lalu. Saat hujan turun pertama kali dan mencipta sensasi rasa yang tak biasa. Lalu aku terkenang peristiwa itu. Ketika aku percaya bahwa jatuh cinta pada pandangan pertama itu ada. Aku mengalaminya.

Pagi yang basah di awal bulan September, mengajar pertama kalinya di sebuah perguruan tinggi, usai merampungkan studi magister sastraku.
Sosok berambut gondrong itu datang terlambat, mengetuk pintu kelas dengan wajah basah dan dingin, tapi tidak dengan matanya. Mata itu bening dan tajam, menghunjam tepat di ulu hatiku.

“Maaf, Bu, terlambat. Hujan deras,” katanya dengan kalem.
“Kamu mahasiswa kelas saya?” aku memastikan.
“Iya Bu, saya mengulang mata kuliah Telaah Prosa,” jawabnya sambil senyum. Tuhan, senyum itu begitu indah.
“Kamu semester berapa?” aku menyelidiki. Mata kuliah yang kuampu untuk mahasiswa semester satu dan penampakan pemuda ini tak memungkinkan jika dia mahasiswa baru.

“Nggg…” dia nampak menggerakkan jarinya, berusaha mengingat-ingat sambil memamerkan senyumnya. “Tiga belas, Bu.”
Aku berjengit. Sudah 6 tahun kuliah dan dia belum lulus juga? Sekilas aku menghitung. S1-ku empat tahun dan S2-ku tak sampai dua tahun. Laki-laki gondrong itu mungkin seumuran denganku.

“Silakan duduk!” ucapku akhirnya. “Karena ini pertemuan pertama, saya maafkan keterlambatannya. Ke depan saya hanya memberi toleransi lima belas menit,”
“Terima kasih, Bu,” ucapnya sambil berlalu dan memilih tempat duduk paling depan.
“Saya lanjutkan penjelasan tentang silabus materi kita selama satu semester ke depan ya,” ujarku sambil menuju meja dan mengambil buku-buku referensi.
“Ibu nggak kenalan dulu, Ibu dosen baru ya?” suara itu memecah konsentrasiku, dari pemuda bermata tajam yang sedang duduk tersenyum menatapku. Getar halus itu kembali kurasa.

“Kamu terlambat, tidak ada perkenalan ulang!” ketus aku pura-pura menjawabnya.
Wajahnya tersenyum lagi dengan bibir mengukir kata maaf.
Lalu hari-hari setelah itu aku dibuat kikuk olehnya, ternyata wawasan sastranya luar biasa. Di kelas Telaah Prosa dia mampu memberikan contoh-contoh cerpen berkelas dan mengulasnya dengan menarik. Dia tak segera lulus bukan karena tak cerdas, dia sosok idealis. Selentingan yang kudengar dari adik-adik kelasnya, pemuda itu aktivis komunitas sastra yang sering berkegiatan budaya dan literasi. Beberapa tulisannya juga muncul di koran dan majalah sastra.

Maka kuburu tulisan itu. Kuketikkan namanya di gawaiku. Kucari informasi sebanyaknya tentang pemuda bermata tajam itu. Semuanya kulakukan dalam diam. Sunyi. Termasuk diskusi-diskusi kami di ruang kelas atau usai perkuliahan. Mencipta ruang tersendiri di sudut hatiku. Selama ini aku tak mudah tertarik dengan lawan jenis. Bagiku, cinta itu anugerah yang akan datang dengan sendirinya, sesuai yang dikehendaki Tuhan.

Namun, pertemuan demi pertemuan itu seperti sulaman benang yang hendak menemukan polanya. Semakin sering kami bertemu, pola itu semakin terbentuk. Bukan rasa yang ditunjukkan dengan cari muka atau mencuri kesempatan. Tapi rasa yang dia jaga dalam kesopanan dan batas kewajaran. Aku berusaha mati-matian menyembunyikannya, bahwa tatapan mataku adalah tatapan biasa antara dosen dan mahasiswanya. Tapi tatapannya setiap kali aku mengajarnya? Bisakah kutafsirkan apa adanya? Bahwa ada ruang yang sama di sudut hatinya.

“Eh, ibu ketemu di sini ya?” ujarnya saat kami bertemu di kantin kampus.
“Hei, mau makan? Sini aja!” tawarku biasa, sama seperti yang kulakukan pada mahasiswa lainnya. Aku memang termasuk orang yang cepat akrab dan tidak jaga jarak dengan mahasiswa. Aku senang diskusi.

Tak perlu dua kali, dia langsung duduk di kursi depanku.
“Pesan apa kutraktir deh. Kasihan anak kos pasti kurang gizi,” aku tertawa. Dia ikut tertawa dan melambaikan tangan memanggil penjaga kantin.
“Makasih ya, Bu,”
“Jangan panggil ‘Bu’ ya, kita seumuran,” sahutku sambil melanjutkan makan.
Dia mengerutkan kening, minta penjelasan.
“Beneran, panggilan itu cukup di kelas kita saja, demi kesamarataan dengan mahasiswa lainnya,” saya tertawa lagi.

“Baik, Bu… Eh, Mbak…” jawabnya kikuk lalu ikut tertawa. Apalagi setelah mencocokkan ternyata tahun lahir kami sama.
Sambil menunggu menunya datang dan aku menghabiskan makananku, kami berbincang tentang skripsi yang tengah dikerjakannya. Di sela-sela itu tanpa kuminta dia bercerita kendalanya mengapa tak segera menyelesaikan studi seperti teman-temannya. Ternyata dia pernah cuti satu semester untuk bekerja menyambung hidupnya.

“Saya harus memenuhi kebutuhan hidup saya sendiri. Sekarang alhamdulillah karena tulisan saya sudah banyak, orang percaya menjadikan saya editor atau freelance proyek penerbitannya. Jadilah saya sedikit-sedikit punya biaya hidup,” terangnya.
Aku mengangguk-angguk. Bangga. Kagum. Atau entah apa namanya.
“Bagus itu, kalau sudah lulus, semua kesempatan akan lebih mudah kamu dapatkan,” tambahku, sedatar mungkin. Menyembunyikan debar yang lembut mengalun.

“Ibu eh, Mbak hebat ya… masih muda sudah jadi dosen,” dia nampak hendak berbasa-basi.
“Ah, biasa, dosen juga manusia, “ aku sedikit tertawa.

Akhir semester ketiga belasnya, tepat dengan selesainya mata kuliahku yang diambilnya, dia juga menyelesaikan skripsinya. Mataku berbinar saat mendapati surat tugas untuk menguji skripsi itu. Untuk pertama kalinya aku menguji skripsi dan skripsinya yang harus aku uji. Menjelang hari itu pun aku harus menebalkan telinga atas pembicaraan dosen lainnya tentangnya. Mahasiswa yang telat lulusnya. Mahasiswa yang bla bla bla… yang kemudian jika kesan negatif itu kutangkap, ada yang berdenyut di ujung hatiku. Bisa membela apa dosen muda yang baru mengajarnya satu semester.

Maka di ruang ujian skripsi itu dia membuktikan kecerdasannya tentang sastra. Dia mempertahankan tulisannya yang meskipun tidak sempurna, tapi sangat layak untuk mendapatkan nilai istimewa.
“Selamat ya,” kataku formal usai ujian.

“Terima kasih,” sahutnya dengan tatap tepat di manik mataku. Dia seperti ingin menyampaikan sesuatu. Jantungku berdetak lebih cepat. Aku buru-buru menunduk, membereskan berkas sekretaris ujian. Langkahku kemudian gegas menyusul ketiga dosen lainnya yang telah keluar ruangan.

“Bu Aira!” panggilnya saat aku di koridor.
Aku menghentikan langkah, memutar badan. Sementara ketiga rekanku terus berjalan.
“Ya?”
“Saya ingin bicara,”
“Soal revisi skripsi?” aku berusaha mencairkan kekikukannya.
“Bukan, eh, iya…”

Aku tersenyum. “Kerjakan saja dulu seperti saran dari semua penguji, setelah itu kita bisa bertemu,” jawab saya profesional.
Tatap matanya meredup. “Baik, Bu.”

Sungguh, jika tidak dalam posisi seperti ini, aku akan lebih banyak memberinya peluang. Perbincangan kami sebelumnya di saat formal ataupun tidak, telah mampu mencipta selaksa kesan. Dia pria yang menyimpan kebaikan dan merahasiakan kecerdasan. Langkah kakiku meninggalkannya begitu berat. Bahkan saat di tikungan koridor, ekor mataku masih menangkap sosoknya tetap berdiri melihat ke arahku. Maafkan aku, Irfan.

Senja itu, di rinai gerimis bulan Januari, sosoknya hadir mengetuk pintu kontrakanku.
“Saya datang sebagai teman, bukan sebagai mahasiswa,” ujarnya tegas. Nada suara yang berbeda dari sebelumnya. Aku lebih membuka diri.
“Ok. Kalau begitu kita boleh ber-aku kamu, “ gurauku disambutnya dengan senyum.
“Selamat ya atas wisudanya, apa rencana ke depan?” tanyaku setelah mempersilakannya duduk di kursi teras.

Dia tertawa, lalu mengeluarkan tumpukan buku dari dalam tasnya.
“Mengembalikan ini dulu, sangat membantu skripsiku,” ujarnya. “Terima kasih sekali… Aira.”
Aku tersentak. Dia memanggil namaku tanpa embel-embel. Namun mengapa aku justru menyukainya. Kami sekarang setara, tak ada hubungan dosen-mahasiswa yang akhir-akhir ini sangat menyiksaku.

“Aku akan pergi dari kota ini,” ujarnya. Lagi-lagi membuatku terhenyak.
“Diterima kerja di mana?” tanyaku.
“Bukan. Aku dapat tawaran menulis biografi seseorang, dan aku harus bersama beliau beberapa bulan untuk menggali banyak informasi.”
“Wow, hebat!” aku memujinya. “Beliau di mana?”
Dia tidak segera menjawab. Sejenak kami diam. Hujan menderas, teras basah.
“Belanda,” Aku langsung memutar badan, tatap kami bertemu.
“Karena itu aku ingin jujur padamu,” suaranya nampak serius.
“Tolong jangan dipotong, aku hanya ingin menyampaikan perasaanku, tak peduli bagaimana pun penerimaanmu,” matanya belati. Tepat menghunjam dan membuatku terdiam dalam degup jantung yang berpacu.

“Setidaknya dengan mengatakannya aku lega, dan bisa konsentrasi menulis di Belanda sana.”
Aku menunduk, menekuri motif lantai keramik yang sepertinya sama sekali tak menarik.

“Aira, aku mengagumimu sejak pertama kali bertemu di kelas itu. Namun, aku harus tahu diri karena statusku mahasiswamu. Kau tak tahu, betapa aku hampir gila mencari segala informasi tentangmu tapi tetap harus menjaga nama baikmu. Kau tak tahu, aku bahkan mencari segala cara agar aku bisa berinteraksi denganmu dengan kewajaran sebagai mahasiswa dan dosennya. Dan kau tak tahu betapa energi menulis skripsiku sangat besar agar status mahasiswa yang membelengguku ini berakhir. Kau tak tahu…”

Nafasnya terengah seperti melepaskan beban berat yang menghimpitnya.
Aku terdiam. Kau juga tak tahu apa yang kurasakan, Irfan.
“Kau tak tahu bahwa segala tentangmu itu adalah… idealismeku tentang pasangan hidup,” lanjutnya.
Ah, aku seperti terhempas ke dasar jurang kesadaran. Aku juga butuh patner untuk menjalani sisa hidup. Aku seorang perempuan yang juga punya perasaan. Sementara di luar sana teman-teman seusiaku telah bertemu belahan jiwanya, membesarkan malaikat-malaikat kecil buah cinta mereka. Fitrah manusia itu tetap bersemayam di jiwa.

Mungkin egoku yang masih terlalu tinggi hingga yang keluar dari bibirku justru ucapan sederhana,
“Sudah?”
“Ya. Dan kau?” dia tetap menatapku.
“Tadi kau bilang tak peduli bagaimana penerimaanku, kan?”
Dia menghela nafas.

“Pergilah ke Belanda dan selesaikan pekerjaanmu dengan baik. Aku menunggu,” hanya kalimat itu yang kuucapkan.

Namun itu cukup mampu membuat matanya berbinar dan senyumnya melebar. Lalu ditembuslah rinai hujan senja itu dengan bahagia yang memancar. Dia berhenti sejenak di samping pagar, tak peduli bajunya yang basah. Ditatapnya aku sekali lagi dengan pesan penuh yang bisa kutangkap. Aku membalas senyumnya.
Itulah pertemuan terakhirku dengannya. Sembilan bulan yang lalu.

Kuresapi aroma petrichor senja ini. Hujan pertama di bulan September kembali mengingatkanku, peristiwa pertemuan pertama kami. Di kelas itu.
Barusan dia berkirim pesan telah kembali ke tanah air hari ini. Aku orang pertama yang akan ditemuinya setelah orang tuanya. Kulirik setumpuk berkas di meja samping jendela kamarku. Beasiswa studi S3-ku di Belanda telah disetujui, sepekan lagi aku harus berangkat.

Dia tak kuberi tahu. Bahkan ketika dia mengabarkan dapat beasiswa S2 di sana dan harus tinggal lebih lama, aku hanya mengatakan; yakinlah dengan apa yang kauperjuangkan. Tuhan akan memberi jalan yang terbaik.

PROFIL PENULIS

Rianna Wati, lahir di Wonogiri 5 November 1980, saat ini tinggal di Surakarta bersama keluarga kecilnya. Aktivitas menulis dilakukannya sejak SMA dan bergabung dengan Forum Lingkar Pena (FLP) sejak kuliah di Fakultas Sastra UNS. Saat ini menjadi staf pengajar di Prodi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UNS. Gelar S2 diraihnya dari prodi Ilmu Sastra UGM dan saat ini sedang menyelesaikan program doktoralnya di Kajian Budaya UNS

Buku-buku fiksi yang pernah terbit diantaranya Elegi Cinta di Karimunjawa, Jatuh Cinta Pada Bunga, Ramai-Ramai Masuk Surga, Biar Cinta Bicara, Cinta adalah Luka, Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf, Arvayuna, Romansa, Petrichor, Salju Sungai Seine, Simfoni Hati dan beberapa buku kolaborasi hasil penelitian dan pengabdian masyarakat. Bisa dihubungi di email: riannawati@staff.uns.ac.id, FB Rianna Wati, Twitter @riannawati dan IG Rianna Wati.


Previous articleHafiz Kecil
Next article4 Buku Cerita Anak Terbaru Indiva
Rianna Wati
Rianna Wati, lahir di Wonogiri 5 November 1980, saat ini tinggal di Surakarta bersama keluarga kecilnya. Aktivitas menulis dilakukannya sejak SMA dan bergabung dengan Forum Lingkar Pena (FLP) sejak kuliah di Fakultas Sastra UNS. Saat ini menjadi staf pengajar di Prodi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UNS. Gelar S2 diraihnya dari prodi Ilmu Sastra UGM dan saat ini sedang menyelesaikan program doktoralnya di Kajian Budaya UNSBuku-buku fiksi yang pernah terbit diantaranya Elegi Cinta di Karimunjawa, Jatuh Cinta Pada Bunga, Ramai-Ramai Masuk Surga, Biar Cinta Bicara, Cinta adalah Luka, Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf, Arvayuna, Romansa, Petrichor, Salju Sungai Seine, Simfoni Hati dan beberapa buku kolaborasi hasil penelitian dan pengabdian masyarakat. Bisa dihubungi di email: riannawati@staff.uns.ac.id, FB Rianna Wati, Twitter @riannawati dan IG Rianna Wati.

14 COMMENTS

  1. Huaa 😍 semoga mereka berjodoh..😘 Suka cara berinteraksi mereka, mba rianna tambah lagi ceritanya, apalagi yg tentang pernikahan.. Tulisannya romantis2😊

  2. sastra itu bagi saya adalah curahan imajinasi penulis yang tidak terjadi dalam kehidupan nyata dan setelah saya membaca cerpen ini saya teringat dengan imajinasi saya dahulu yang sama persis seperti apa yang diceritakan dalam cerpen ini namun saya tidak mampu untuk menuliskannya. Terimakasih kepada penulis yang telah menulis cerpen ini, semoga diberi keistiqomahaan dalam menulis dan memberi manfaat.

  3. Fiksi romansa yang ringan menggunakan diksi baru yang sebelumnya belum pernah saya dengar, lucu juga melihat sifat karakter yang tsundere

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here