Aku Malu – Cerita Anak

0
1034

Kalian pernah juara kelas? Dipanggil ke depan saat penerimaan rapor, lalu diberi tepukan meriah oleh semua yang hadir. Itu aku. Sejak kelas 1 aku sering mengalaminya. Tapi itu dulu. Saat aku masih menjadi siswa SD Negeri di salah satu sudut kota tempat tinggalku.

Sekarang? Hari penerimaan rapor adalah hal yang paling kubenci.

Oh ya, kita belum berkenalan. Namaku Putri, 11 tahun, kelas 5 SD. Ayahku seorang kuli bangunan, kadang juga menarik becak, atau tukang angkut belanjaan di pasar.

Ibu bekerja di rumah, ibu rumah tangga. Tapi juga tidak selalu, kadang ibu mencuci atau menyetrika baju ke rumah-rumah orang yang memanggil ibu. Ibu punya beberapa langganan. Di sela-sela itu, ibu membuat aneka kue untuk diletakkan di warung-warung sekitaran kami tinggal.

Seperti yang kukatakan tadi, sekarang, hari penerimaan rapor adalah hal yang paling kubenci. Aku malu. Kalian mau tahu kenapa?

***

Sekarang, aku sekolah di SD Harapan Bangsa. Ini adalah semester kedua aku di sini. Sekolah di sini sangat berbeda dengan sekolah yang lama. Sekolahnya sangat luas, bagus, bersih. Teman-teman di sini juga berbeda. Mereka ke sekolah diantar mobil. Beda dengan aku, kadang di antar ayah, lebih sering jalan kaki. Daripada diantar ayah, aku memang lebih suka jalan kaki. Aku malu. Beberapa orang temanku terlihat berbisik-bisik saat aku turun dari becak ayah. Pasti mereka menggosipkan aku, anak seorang penarik becak tapi kok bersekolah di sini.

Kami di usir dari kontrakan lama karena sudah dua bulan tidak bisa bayar. Kehidupan sekarang benar-benar sulit, begitu kaya ayah dan ibu. Lalu seorang kenalan ayah, tiba-tiba datang menawarkan tempat tinggal pada kami. Ada rumahnya yang sudah tidak lagi dihuni, sudah lama ditinggalkan dan tidak ada yang merawat. Karena di sini ayah tidak harus mengeluarkan uang kontrakan, kami akhirnya pindah ke sini. Sampai saat ini aku selalu mengatakan pada ayah dan ibu, teman ayah itu adalah orang paling baik di atas dunia. Dia sering memberiku uang jajan kalau berkunjung.

Masih berkat bantuan teman ayah juga, akhirnya aku bersekolah di sekolah mewah ini. Awalnya ayah tidak mau. Ayah mau aku sekolah di negeri saja, biaya sekolah lebih murah. Tapi dia memaksa, meyakinkan ayah kalau kami tidak akan bayar sekolah di sana. Katanya, karena nilai raporku yang selalu rangking satu sejak kelas satu, pihak sekolah memberikanku beasiswa. Tapi kemudian, dari cerita ayah, aku tahu kalau sekolah mewah itu masih miliknya. Entah bagaimana ceritanya ayah bisa berteman dengan orang itu.

***

Enam bulan yang lalu, tepat di hari Sabtu, adalah hari penerimaan rapor semester 1. Rapor pertamaku di sekolah baru.

Saat ibu melangkahkan kaki memasuki aula sekolah, untuk menjemput raporku, semua orang saling berbisik. Tapi aku bisa mendengar dengan jelas. Membuat mukaku memerah. Aku malu. Mereka berbisik-bisik melihat penampilan ibu.

Baju ibu sangat jelek. Ada bagian yang ditambal di bawah lengan. Sandal ibu hanya sandal jepit. Walau ibu sudah mencucinya hingga terkesan baru, tapi tetap saja itu sandal jepit. Sungguh tidak pantas dipakai untuk acara seperti saat itu. Tidak ada cincin atau gelang yang menghiasi tangan ibu. Tas? Ibu tidak membawa tas apa-apa. Ibu hanya melenggang tanpa menenteng sesuatu seperti ibu-ibu yang lainnya.

“Juara kedua, diraih oleh …. “

Suara Bu Loli diikuti oleh tepukan meriah. Lalu mempersilakan siswa yang dipanggil naik ke atas pentas ditemani oleh orang tuanya.

Saat ini Bu Loli sedang membacakan peringkat satu sampai tiga untuk kelas lima. Kelasku. Seorang ibu dengan busana gamis berwarna hijau terlihat dengan senyuman lebar melangkah ke atas pentas, menyusul anaknya yang sudah lebih dulu maju. Bajunya serasi sekali dengan jilbabnya, sebuah gelang emas melingkar manis di pergelangan tangan. Sebuah tas mungil buatan luar negeri juga tampak indah ditangannya. Ibu itu langsung memeluk anaknya ketika sudah sampai di atas pentas. Mereka tertawa bahagia.

Bagaimana kalau aku juara? Meski aku baru satu semester di sekolah ini, tapi aku sama sekali tidak kesusahan mengikuti materi pelajaran. Tentu saja, materi pelajaran di mana-mana sama saja. Kalau aku juara 1, itu berarti ibu akan segera naik ke atas pentas untuk menerima penghargaan. Kalian tahu kan apa yang ada dipikiranku? Aku pasti sangat malu.

Aku tidak akan tahan melihatnya. Ibu pasti jadi bahan ejekan, tertawaan. Tadi saja aku sudah mendengar bisikan-bisikan yang menilai penampilan ibu, pasti nanti semua mata akan tertuju pada ibu, juga padaku.

“Dan bintang kelas 5 semester ini….” Suara Bu Loli membuat jantungku seakan berhenti berdetak. Semoga bukan aku, jadi ibu tidak perlu maju.

“Jatuh kepada anak kita yang bernama ….” Bu Loli sengaja menggantung kalimatnya. Kulirik ibu, dia kelihatan tersenyum, seperti biasanya.

“Putri….!” Tepukan menggema memenuhi aula sekolah. Beberapa orang anak langsung berteriak menyebut namaku. Seluruh mata orangtua juga tertuju padaku, ingin melihat siapa anak yang telah menjadi juara itu.

Aku berlari ke luar aula. Masih kudengar saat namaku dan ibu dipanggil untuk naik ke atas pentas. Aku tidak peduli. Cukup ibu saja yang malu.

***

Dan kini, enam bulan setelah kejadian memalukan itu. Hari itu datang lagi. Hari penerimaan rapor kenaikan kelas. Aku tidak ingin kejadian semester lalu terulang lagi. Sungguh, aku tidak tahan mendengar suara bisik-bisik itu. Mereka tersenyum sambil melirik ke arah ibu. Mereka mengejek ibu. Aku sungguh malu. Semester lalu adalah pertama kalinya aku tidak bangga mendapat peringkat juara satu.

Kini, aku tidak ingin lagi menjadi juara.

***

Satu persatu orang tua murid berdatangan. Aku yakin ibu belum akan datang. Ibu harus mengerjakan cuciannya dulu. Ada tiga rumah yang akan didatangi ibu pagi ini sebelum menjemput raporku ke sekolah. Aku sudah bertekad, begitu melihat ibu masuk ke halaman sekolah, aku akan segera pulang. Biarlah ibu saja yang akan mengambil raporku.

“Ya Tuhan, buatlah sesuatu agar ibu berhalangan hadir.” Aku berdoa dalam hati.

Tempat parkir sekolah sudah dipenuhi mobil-mobil mewah. Hanya satu dua yang mengendarai sepeda motor. Para wali murid sudah berkumpul di aula. Acara sebentar lagi akan dimulai. Aku panjatkan doa setiap saat agar ibu tidak datang, sehingga aku dengan gagah akan melangkah ke atas pentas, meskipun sendiri.
Kudengar di dalam aula acara sudah dimulai. Aku beranjak menuju aula sekolah, bergabung dengan teman-temanku yang lain. Dalam hati aku tetap berdoa, jangan sampai ibu datang ke sekolah.

Belum lama acara dimulai, seorang guru mendatangiku, mengajakku ke ruangan kepala sekolah. Ada apa? Mengapa aku dipanggil? Di ruangan kepala sekolah, Bu Loli, wali kelasku, sudah menunggu.

“Ada apa, Bu?” aku bertanya.

Bu Loli tidak menjawab pertanyaanku. Dia membimbing tanganku menuju tempat parkir dan menyuruhku masuk ke mobilnya.

“Ada apa, Bu?” aku kembali bertanya begitu mobil sudah berjalan.

“Tadi ayah Putri menelepon, ojek yang ditumpangi ibu mendapat kecelakaan sewaktu dalam perjalanan menuju sekolah, sekarang kita lihat ibu di rumah sakit ya? Putri tidak usah cemas, luka ibu tidak parah.”

Segerombolan air bening langsung memenuhi kelopak mataku. Tuhan yang maha pemurah telah mengabulkan doaku. Doa yang kupanjatkan dengan begitu khusuk agar ibu berhalangan datang ke sekolah. Mengapa aku begitu jahat pada ibu? Memangnya apa salah ibu? Ibu saja sangat bangga saat naik ke atas panggung begitu namaku disebut. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, aku menangis.

Aku berlari di sepanjang koridor rumah sakit menuju tempat ibu dirawat. Begitu sampai, aku langsung memeluk ibu yang sudah menunggu sambil tersenyum.

“Ibu tidak apa-apa?” tanyaku.

Ibu kembali tersenyum. “Maafkan Ibu ya, Sayang, sebenarnya ibu yang salah, tadi ibu yang menyuruh tukang ojeknya ngebut karena takut terlambat ke sekolah, Putri pasti cemas karena ibu tidak datang.”
Air mataku jatuh makin deras. Apalagi saat melihat pakaian ibu yang cantik, masih baru. Jilbab ibu juga cantik, tidak ada tambalan. Juga sepatu ibu, setahuku ibu tidak mempunyai sepatu bertumit seperti itu. Dan… lihatlah, ada cincin emas melingkar di jari ibu.

Mataku melotot. Seperti bukan ibuku.

“Kemarin ibu membuka celengan ibu, lalu membeli baju dan sepatu baru ini untuk datang mengambil rapor hari ini. Ibu sangat yakin kalau Putri masih juara satu, dan ibu sangat ingin kita berdua berdiri di atas pentas itu, tidak seperti semester lalu.”

Aku menangis makin keras. Aku peluk ibu dengan erat. Dalam hati aku berjanji, tidak akan pernah mengecewakan ibu lagi.

***


Previous articleKelas Tiga
Next articlePuisi Terserak di Layar Maya
Uda Agus
Belajar menulis secara autodidak. Saat ini bergabung dengan FLP Cabang Paliko (Payakumbuh - Lima Puluh Kota). Tulisan pertama dimuat di majalah Annida (Juli, 2001). Buku perdana kumcer Ngebet Nikah (DAR! Mizan, 2004). Tahun 2013 diundang sebagai emerging writer dalam Ubud Writers and Readers Fetival. Sejak tahun 2011 konsisten menggelar Lomba Menulis Cerpen Bersama Uda Agus (LMBUA) hingga sekarang. Berdomisili di Payakumbuh, mengelola Pustaka Dua-2 (Rumah Baca dan Diskusi Sastra) dan www.pustaka22.com. Bisa dihubungi via uda_agus27@yahoo.com atau 085274244342.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here