Simfoni Bunga Rumput 25

0
77

Zaki menyetir Pajeronya dengan kecepatan sangat tinggi. Suasana cukup mendukung. Tak seperti biasanya, jalan tol Jakarta Cikampek tak terlalu ramai, sehingga Zaki seakan-akan seorang pembalap yang sedang menyetir di sebuah sirkuit balap. Untungnya, karena mobil Zaki adalah jenis SUV yang memiliki kestabilan sangat baik, meskipun berjalan di atas kecepatan 120 km/jam. Namun, melihat spedometer menunjukkan angka 150, Icha yang duduk di samping Zaki mau tak mau berteriak ngeri.

“Zak, sabar, Zak!”

“Polisi, awas polisi.”

“Untung deh kamu, Zak, jalan agak sepi.”

Zaki diam saja, tak mempedulikan ocehan Icha. Namun, ketika Icha kemudian berusaha menavigasi laju kendaraannya, Zaki spontan mengikuti apa yang Icha sampaikan.

Sementara, di jok belakang, Kin tampak sangat tegang. Saking tegangnya, dia bahkan tak sadar, bahwa di sampingnya, Tika pun sebenarnya sama-sama sangat gelisah dan tegang. Suatu hal yang jarang sekali terjadi pada gadis itu. Beberapa kali, Tika bahkan mengelap keringat yang mengucur dari keningnya. Padahal kondisi dalam mobil sangat dingin karena AC.

“Kin, kakakmu ini benar-benar dalam bahaya besar,” bisik Tika, sambil menepuk bahu Kin. “Dan entah mengapa, aku merasa sangat khawatir.”

“Sebenarnya… apa yang terjadi dengan Mas Danu? Sampai sekarang, aku belum mengerti, ini sebenarnya ada apa? Mengapa Pak Wisnu ….”

“Kau terlalu lugu, Kin. Tak tahu desas-desus yang kian santer di kampus. Padahal kamu sudah mahasiswa semester akhir yang sebentar lagi lulus. Ya, mungkin karena sirkel kamu memang orang-orang lurus, nggak seperti aku,” Tika tertawa kecut.

“Eh, gimana, gimana?” Icha menoleh ke belakang. “Gue juga asli, nggak ngerti apa-apa. Gue juga sama-sama sirkel orang lurus, lho. Memangnya ada apa sih, dengan Pak Wisnu?”

“Halah, bilang aja kalian itu kudet,” celetuk Zaki. Pria muda itu tampak begitu serius. Namun, begitu jalan menjadi lebih padat karena ada beberapa bus dan truk berada di depan mereka, Zaki menurunkan kecepatan kendaraannya. “Kalian nggak tahu ya, kalau Pak Wisnu itu … aslinya sangat flamboyan, banyak pacarnya. Tapi, apa betul Ayu adalah salah satu pacarnya, gue kurang tahu juga.”

“Bukan hanya itu …,” tusuk Tika, dingin. “Pak Wisnu adalah, mucikari prostitusi kelas kakap di Jakarta. Spesialiasinya adalah penyedia ayam kampus alias mahasiswi-mahasiswi yang mau menjajakan diri sebagai ….”

“Tik, serius?” Kinanti tersentak. Tak sadar, jemarinya mencengkeram lengan Tika.

“Clarissa udah speak up banyak sama aku, kok. Siapa sebenarnya bokapnya. Kenyataan itu yang bikin Clarissa hancur dan menjadi gila. Tapi, untuk menutupi kenyataan itu, Pak Wisnu bikin cerita bohong, bahwa Clarissa cuma anak pungut. Pak Wisnu malu punya anak psikopat dan selalu bikin masalah seperit Clarissa. Padahal, sebenarnya dia sendiri yang menghancurkan Clarissa. Trus, dikuatkan juga dengan hasil penyelusuran aku dengan kakak kelas yang terancam DO.”

“Kakak kelas?”

“Kamu tahu Kak Bram?”

“Bramansyah, senior kita?”

“Dia juga sakit hati kepada Pak Wisnu. Pihak kampus memutuskan men-DO Kak Bram. Lalu Kak Bram mencoba banding sampai ke Pak Wisnu. Sebenarnya Kak Bram itu cukup dekat dengan Pak Wisnu. Bahkan… sorry to say, Kak Bram sempat menjadi asisten pribadi Pak Wisnu. Kak Bram mundur setelah tahu bisnis haram Pak Wisnu itu, tetapi dia berjanji, akan menyimpan rahasia itu. Sampai akhirnya terjadi peristiwa DO ini. Kak Bram memang salah langkah. Dia mengancam akan membuka rahasia Pak Wisnu, dan itu bikin Pak Wisnu marah besar.”

Zaki mengerem mendadak, membuat para penumpang hampir saja terlontar ke depan, jika saja tak ada sabuk pengaman yang mereka kenakan.

“Berengsek truk itu, menyalip mendadak tanpa aturan!” teriak Zaki, jengkel. Aksi gila truk berwarna merah menyala dengan gambar kalajengking raksasa di bagian belakang itu ternyata tak berhenti, setelah ugal-ugalan menyalip Pajero Zaki, dengan zigzag truk itu menyalip beberapa mobil yang lain.

“Lanjutin, Tik!” pinta Kinanti, setelah suasana menjadi lebih terkendali.

“Pak Wisnu melalui pengacaranya, balas mengancam Kak Bram. Nah, di situlah Kak Bram mulai merasa tertekan. Lalu, dia mencari pengacara untuk membantunya. Dan pengacara itu adalah ….”

“Mas Danu?” tebak Kinanti.

“Lho, kok kamu tahu?”

Kinanti menghela napas panjang, lemas. Beberapa waktu yang lalu, Mas Danu memang sempat bertanya-tanya soal Bramantyo.

“Untuk membantu memperkuat bukti-bukti, Kak Bram mengajak aku dan teman-teman lain untuk menyelidiki lebih mendalam bisnis Pak Wisnu. Mengerikan, karena ternyata terhubung dengan Robert, mantan pacar ….”

“Liza?” cepat Icha memotong. Suaranya bergetar. “Ada kaitan antara bisnis Pak Wisnu dengan ….”

“Tidak secara langsung. Pak Wisnu tidak ikut jejaring narkoba itu. Tetapi, dia sama-sama menggunakan gank Drakula sebagai bekingannya.”

“Drakula, apalagi itu?” Zaki menggeleng-gelengkan kepala.

“Itu semacam gank para preman, tapi kata Kak Bram, ada keterlibatan beberapa oknum purnawirawan militer, ah you know-lah praktik-praktik bisnis pengamanan kayak gini.”

“Liza hingga sekarang masih menghilang.” Icha menghela napas panjang.

“Sebenarnya, Liza ada di tempat yang aman, Kak.”

“Lho, kok kamu tahu, Tik?”

“Maafkan kelancangan saya dan teman-teman. Setelah kasus Kak Bram diancam oleh Pak Wisnu, bersama Mas Danu dan kawan-kawan, kami sebenarnya melakukan investigasi mendalam. Itulah yang membuat Mas Danu dihajar oleh kawanan itu dan masuk rumah sakit.”

“Jadi, bukan soal Narkoba?”

“Tak secara langsung. Tadi kan aku bilang, bahwa mereka sama-sama dibekingi oleh Gank Drakula.”

“Kenapa selama ini Mas Danu nggak pernah cerita apapun kepadaku soal ini?” Kin menggeleng-gelengkan kepala. “Ternyata, persoalannya begini gawat.”

“Nanti, kalau bertemu beliau, kamu bisa mengonfirmasi kebenaran ceritaku, Kin.”

“Oke….”

“Kin, asal tahu aja, aku harus jujur … baru pertama kali ini aku jatuh cinta sama cowok. Dan cowok itu adalah … Mas Danu.”

Kin tersentak, meski sebenarnya telah menduga-duga. Yang membuat Kin gelisah, justru saat melihat wajah Icha yang terpantul di cermin atas kendaraan, tampak suram. Icha cemburu mendengar pengakuan Tika?

* * *

Jam delapan malam lebih lima menit, mereka sampai di pelataran Warung Kopi Pak Jali, yang ternyata cukup ramai.

“Sst, itu mobil box Mas Yudho, bukan?” Icha menunjuk ke sebuah mobil box dengan ciri-ciri persis yang diceritakan Kinanti.

Kin sendiri sedang fokus mengamati truk yang parkir di samping mobil box itu. Sebuah truk bercat merah, dengan gambar kalajengking raksasa. Tetapi, sebenarnya bukan kalajengking itu yang menyedot pikirannya, melainkan gambar di samping kalajengking itu. Drakula. Drakula sedang menggigit kalajengking.

Drakula. Gank Drakula! Dan mobil box Mas Yudho! Darah Kin berdesir.

Cepat-cepat mereka masuk ke dalam warung kopi. Warung tampak ramai, ada puluhan pengunjung sedang menikmati kopi, atau setidaknya menikmati makan malam dan camilan yang disediakan di warung yang terkenal enak namun murah meriah itu. Harga kopi di warung itu hampir sepertiga dari harga di kafe-kafe, tetapi tentu memiliki rasa khas yang tak kalah lezat.

Kin pun bergegas menuju kasir. “Bang Jali ada?”

“Sedang menjamu tamu khusus, Mbak. Ada di dalam. Mbak ingin bertemu dengan beliau?” tanya kasir, seorang perempuan setengah baya berhijab merah.

“Apakah tamunya bernama Mas Yudho dan Mas Danu?”

“Hm … saya tidak tahu namanya. Tapi memang dua orang laki-laki, dari Wonogiri katanya.”

“Benar mereka. Katakan, saya Kinanti, adik Mas Danu. Ingin bertemu beliau-beliau, ada urusan sangat penting.”

“Sebentar ya, Mbak.” Si kasir menoleh ke arah seorang remaja berseragam pramuniaga. “Arif, coba sampaikan ke Bang Jali, ada yang mau ketemu.”

“Baik, Teh Ratna.”

Arif masuk ke dalam, tak sampai 5 menit, dia sudah kembali. “Mangga, Teh, silakan masuk ke dalam.”

Kinanti, Tika, Icha, dan Zaki masuk ke dalam. Di sebuah ruang tamu yang cukup nyaman, tampak Mas Danu duduk di sebuah sofa, sambil menyeruput kopi. Dia sedang ngobrol santai dengan seorang lelaki setengah baya bertubuh agak gemuk, kalau tidak salah dia adalah Bang Jali. Kin pernah melihat foto pria itu. Sementara, di samping mereka, seseorang tidur dengan pulas, Mas Yudho. Dekurnya terdengar sangat keras, namun Mas Danu dan Bang Jali tampak tidak terganggu.

“Ngapain kamu nyusul sampai ke sini?” tanya Mas Danu, kaget melihat Kin, lebih kaget lagi melihat sosok-sosok yang hadir bersama Kin.

“Urusannya sudah sangat gawat, Mas!” ujar Kin. “Tik, tolong kamu yang cerita.”

Cerita mengalir dari mulut Tika tanpa ada seorang pun yang menjedanya. Hampir setengah jam Tika mengurai kronologi peristiwa tersebut secara rinci.

Begitu cerita berakhir, Mas Danu menghentakkan tubuhnya di sandaran sofa. “Pak Wisnu benar-benar keparat!” geramnya, sambil mengacungkan tinju ke udara.

“Jadi, benar Mas … kalau Mas Danu memang selama ini menjadi pengacara Kak Bram?”

“Sebenarnya, awalnya aku sama sekali nggak tertarik untuk terlibat dalam perkara ini, Kin. Apalagi, hanya urusan seorang mahasiswa yang mau di-DO karena nggak lulus-lulus. Itu hal yang sangat jamak dilakukan kampus terhadap mahasiswa yang kebanyakan proyek dan nggak punya prioritas seperti Bram. Jika saja Bram bukan orang yang pernah menolongku saat pingsan di kelas, ketika aku baru awal-awal mengajar di Unmaja, aku mungkin nggak peduli. Awalnya, aku pun sekadar ingin mengadvokasi saja, namun, akhirnya aku terjebak pada persoalan yang sangat pelik. Aku jadi tahu, siapa sebenarnya Pak Wisnu. Huh! Dan aku hampir saja kehilangan nyawa.”

Kin bisa membayangkan, sedalam apa kekecewaan di hati Mas Danu. Sebelum itu, Mas Danu sangat menghormati, bahkan mungkin memuja Pak Wisnu. Seorang pria yang tampak begitu sempurna.

Sama seperti Mas Danu, Kin juga benar-benar kaget luar biasa. Sebagai mahasiswa teladan, Kin juga sering berinteraksi dengan ketua yayasan di kampusnya itu. Sejauh ini, Kin juga menaruh respek yang tinggi terhadap Pak Wisnu. Sampai kejadian ini terjadi.

Mereka semua terdiam. Membisu, tenggelam dalam pikirannya masing-masing, sampai kemudian seseorang berlari masuk ke dalam.

“Bang, Bang Jali, ada kecelakaaan!”

Arif masuk dengan tergesa-gesa.

“Truk merah yang tadi mampir ke sini, menabrak mobil box yang juga tadi sempat mampir ke sini. Kejadiannya nggak jauh dari sini. Di barat sana, sekitar 5 KM aja. Mobil boxnya hancur lebur, karena tak hanya ditabrak truk merah itu. Mobil itu diseruduk truk kurang ajar itu, dan dari depan, disenggol sebuah kontainer yang berjalan berlawanan arah. Dua orang penumpang mobil box itu meninggal seketika. Ini Bang Darma dan Bang Alif sedang melihat ke lokasi.”

“Apa???”Mas Yudho yang telah terbangun sejak Tika bercerita panjang lebar, berteriak. “Apakah yang ditabrak itu mobil box putih berpelat AD-JT?”

“Kurang tahu pelatnya, tapi sepertinya iya.”

“Berarti truk itu salah tabrak. Harusnya yang ditabrak mobil box kita, AD-TI. Memang mobilnya sangat mirip. Ya Allah, demi tuhan, aku percaya dengan cerita kalian. Kita memang jadi sasaran pembunuhan,” ujar Mas Yudho dengan suara bergetar.

“Gank Drakula, Bang Jali pernah dengar itu sih,” ujar Bang Jali. “Memang itu gank para preman yang sangat jahat dan dikenal membekingi banyak bisnis haram di ibu kota. Tapi, tenang saja. Kalian sementara di sini dulu aja. Bang Jali yang akan urusi semua ini, ya. Bang Jali punya banyak kenalan orang-orang kepolisian yang bisa dipercaya. Bang Jali juga dulu mantan preman kok, biar Bang Jali beresin urusan ini, ya!”

Bang Jali meraih ponselnya, sejurus kemudian, dia pun telah menelepon beberapa orang, entah siapa.

Kin merinding. Tak terasa, air mata bercucuran di pipinya. Ia terus saja menggigil, sampai sebuah tangan menggenggamnya. Mas Danu. Baru pernah dalam seumur hidupnya, sang kakak menggenggam erat tangannya dengan penuh kasih sayang.

BERSAMBUNG


LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here