Baik Kin maupun Icha masih sama-sama berdiri mematung sambil tatapannya tertuju pada SUV yang terparkir tak jauh dari tempat mereka. Mereka sama-sama tenggelam dalam keheranan, keterkejutan, sekaligus rasa tak percaya.
“Jadi … Pak Wisnu dan Ayu….”
“Huzz, gak boleh su’udzon!”
“Tapi ….”
“Belum tentu itu mobil yang dipakai Pak Wisnu.”
“Tapi mobilnya sama, dan stikernya juga sama.”
“Kita kan nggak bisa lihat siapa yang ada di mobil itu, kita cuma lihat sopirnya sekilas, dan itu jelas bukan Pak Wisnu.”
“Apa mungkin sopir Pak Wisnu yang mengantar Ayu tanpa sepengetahuan Pak Wisnu?”
“Cha, udahlah.”
“Gue penasaran … pengin menyelidiki lebih lanjut.”
Kin lembut menutup mulut Icha dengan jemarinya, lalu menarik tangan Icha, dan mereka pun bergerak menjauhi tempat tersebut, melangkah menuju lift, naik ke lantai lima. Icha menurut. Tetapi raut wajahnya masih memperlihatkan rasa penasaran yang luar biasa.
Bangunan megah yang sangat sepi itu, sekarang tak hanya tampak bisu, namun juga muram dan arogan. Keindahan desain dan tata ruangnya, justru lebih tampak sebagai keanggunan yang penuh dengan kamuflase. Icha mendadak merasakan gerah, justru saat hawa sejuk menguar dari AC di ruang BEM yang sangat dingin.
“Mana nih yang lain, kok nggak kelihatan batang hidungnya?” tanya Anton, ketua BEM, dengan nada suara kurang enak didengar. “Serius nggak sih, undangan kan jam 10, sekarang udah mau jam sebelas, dan baru beberapa ekor yang hadir.”
“Ih gak sopan,” celetuk Vera, seorang pengurus BEM lainnya, “masak manusia kamu bilang ekor?”
“Hanya manusia yang komitmen terhadap janji, Non!”
“Mana Zaki?”
Kinanti membuka HPnya, dan melihat sebuah pesan masuk.
Ternyata dari Zaki. Dia pamit mendadak dan mengirim SMS ke HP Kin[1]. Katanya dia harus mengantar ibunya ke dokter. SMS itu semakin menenggelamkan Kin ke telaga kemuraman yang dalam.
“Zakit izin, Mamanya sakit, harus diantar ke dokter.”
“Halah, alasan!” ketus Anton. “Lagipula, ngapain dia izinnya ke Lo, Kin. Kan gue ketuanya. Kalau Lo pacar Zaki, tetap nggak etis jika pamitnya ke Lo.”
Kepala Kin yang sudah mulai pening semakin terasa pening.
“Aku nggak pacaran sama Zaki.”
“Halah, mana percaya! Gosip udah beredar di mana-mana.”
“Ton, Lo kalau cemburu sama Zaki jangan diumbar di sini, dong!” sentak Vera lagi.
“Ih, siapa cemburu?”
“Sudahlah, kita mulai saja rapatnya,” ujar Kin. “Seadanya orang.”
Hampir sepanjang rapat Anton tampak bad mood. Apalagi, Tika pun tidak datang, katanya ada urusan penting yang tidak bisa ditinggalkan. Demikian juga Tracy dan Liza, keduanya berhalangan hadir. Hanya ada Anton, Kin, Icha dan beberapa pengurus BEM Fakultas lainnnya. Rapat pun berjalan kurang efektif. Hanya membahas garis besar acara seminar yang akan mereka selenggarakan beberapa waktu yang akan datang. Tak sampai satu setengah jam, Anton mengakhiri rapatnya.
“Pokoknya kalau undangan rapat selanjutnya hanya kita saja yang hadir, acara kita batalin aja!” ujar Anton, suntuk. Tanpa banyak bicara, dia pun keluar ruangan, disusul yang lainnya. Sementara Kin dan Icha tertinggal di belakang.
“Kin, menurutmu, memang benar ada hubungan spesial antara Ayu dengan Pak Wisnu?” Sambil keluar ruangan BEM, Icha merangkul Kin dan berbisik tepat di telinga sobatnya itu. Sepertinya, pikiran gadis itu masih belum bisa bergeser dari kejadian tadi pagi.
“Kalaupun ada, apa urusan kita?”
“Hm… jadi kau yakin, ada hubungan?”
“Aku nggak tahu, Cha. Sama seperti kamu.”
“Kita harus menyelidikinya.”
“Apa manfaatnya?”
“Ini demi kehormatan kampus.”
“Kita hanya mahasiswa di sini.”
“Sst… Kin, dengar … ada suara orang bertengkar!”
Mereka terdiam. Telinga mereka tersedot untuk mengikut percakapan yang tampaknya terjadi tak jauh dari mereka. Sebuah ruang yang berada di dekat mereka.
….
“Jadi mau Papa sebenarnya apa? Mau mengusirku dari rumah??? Menebar isu murahan bahwa aku hanya anak pungut, gelandangan dari rumah panti asuhan yang kemudian Papa angkat jadi anak??? Itu kan, yang selama ini Papa sampaikan ke orang-orang?”
“Rissa … jangan salah paham. Papa ….”
“Gue memang berengsek, urakan, tak tahu aturan. Gue pasien rumah sakit jiwa. Gue gila! Ya mungkin begitu. Tapi, jangan pernah mengingkari kenyataan, bahwa gue adalah anak Papa. Ayo, cek DNA kalau Papa nggak yakin.”
“Papa nggak pernah ingkar bahwa kamu adalah anak Papa. Hanya saja ….”
“Bohong! Papa bilang kepada Kak Kin, kepada orang-orang, kepada khalayak, bahwa Clarissa hanya anak pungut, kan? Papa tahu, itu jahat. Sangat jahat!”
Suara tangis keras.
“Sudahlah, Rissa. Pulang sana. Kamu nggak usah mengacau di sini. Kalau nggak mau pulang sendiri, biar Papa antar.”
“Papa sudah menghancurkan Mama, sekarang mau menghancurkan gue pula. Sebenarnya mau Papa apa sih? Kalau memang Papa ingin tampil sebagai orang dengan citra melambung tinggi, udah, bunuh aja kami berdua, yang Papa anggap sebagai sampah yang mengotori karir Papa.”
“Rissa, tutup mulutmu! Ayo pulang! Dan kamu harus segera kembali Wonosobo untuk melanjutkan perawatanmu.”
“Perawatan, atau penjara? Papa memang raja tega, tega-teganya menyiksa anaknya sendiri lahir batin.”
“Rissa, kamu tidak mengerti ….”
“Papa brengsek!”
“Pulang!”
“Tidak! Gue mau ceritakan kepada semua orang di kampus ini, siapa sebenarnya Wisnu Darmadi, sosok yang dianggap sebagai orang suci, yang ternyata hanya iblis bertopeng malaikat.”
….
Ketika terdengar suara langkah kaki, Icha sontak menarik Kin untuk bersembunyi di balik pilar. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba dari lift keluar tiga pria bertubuh kekar. Mereka bergegas menuju ruang sumber keributan, yang tak lain adalah ruang Pak Wisnu. Tak lama, tiga laki-laki itu keluar dari ruangan Pak Wisnu dengan menyeret dan membekap mulut Clarissa. Clarissa tampak ingin berontak dan berteriak, tetapi tubuhnya kalah kuat dibandingkan para penyekapnya.
Kin dan Icha saling menggenggam tangan, dan hanya berani bergerak setelah ketiga laki-laki dan Clarissa sudah tak tampak. Selembar kertas yang tertinggal di lantai menarik perhatian mereka. Icha memungutnya. Ada tulisan tangan yang tampaknya dibuat sangat tergesa-gesa.
HELP!
0812xxxxxxxx
Sebuah nomor HP.
Icha menatap Kin. Kin merain kertas itu dan memasukkan ke saku bajunya. “Kita akan coba telusur.”
“Berani?”
“Cha, kita turun lewat tangga belakang aja. Khawatir Pak Wisnu dan orang-orang itu melihat kita dan kita mendapat masalah.”
Icha mengangkat jempol, lalu mereka berbalik, menuju tangga darurat di belakang gedung.
* * *
Mas Danu masih tampak muram. Namun, setelah Kin menyodorkan sepiring nasi, sayur dan lauk, pria muda itu pelan meraihnya dan menyendok beberapa kali.
“Kin, tampaknya aku akan mengambil sebuah keputusan yang agak berat.”
“Apa itu?”
“Mas mau mengundurkan diri dari Unmaja.”
“Lho?” Kin terbelalak. “Bukankah sebentar lagi Mas Danu akan diangkat jadi Kaprodi?”
“Mas sudah mengajukan lamaran ke sebuah kampus di Yogyakarta. Dekannya kakak kelasku pas S3 kemarin. Beliau sangat mendukung kepindahanku ke sana. Kampus Islam, tapi nggak kalah bagus jurusan hukumnya. Sudah ada sinyal positif. Mungkin aku harus pindah segera ke sana.”
“Tapi, kuliahku gimana?”
“Udah hampir selesai, kan? Ya selesaikan aja skripsimu. Tapi kalau nanti ada hambatan dengan skripsimu, ya kamu nyusul aku aja pindah ke Yogya.”
“Kok tiba-tiba sih?”
“Ada suatu hal, yang membuat Mas merasa mantap untuk segera pergi dari Unmaja.”
“Apakah itu?”
“Aku nggak bisa cerita sekarang.”
Kin semakin termangu. Jadi, yang membuat Danu selama ini tampak sangat murung sebenarnya bukan sekadar kejadian pengeroyokan itu, tetapi juga karena faktor X itu. Faktor yang membuat dalam sekejap pria itu membuat keputusan yang sangat mengagetkan.
Apakah ada hubungan dengan rangkaian kejadian yang dia alami bersama Icha?
BERSAMBUNG
[1] Setting novel ini adalah sekitar pertengan tahun 2000-an, HP saat itu hanya ada fitur SMS, telepon dan beberapa fitur lainnya yang sangat sederhana.
Baru baca bab ini. Menarik, seru, dan menegangkan!
Makasih sudah membaca Simfoni Bunga Rumput
Semakin menegangkan. Banyak pertanyaan yang muncul di pikiran?:)