Simfoni Bunga Rumput 22

3
145

Setelah dirawat beberapa hari di rumah sakit, Mas Danu akhirnya diizinkan untuk pulang, meski belum boleh beraktivitas. Tangan kirinya yang mengalami patah tulang telah dioperasi, sementara beberapa jahitan dalam tubuhnya masih menyisakan nyeri. Untuk menjaga keamanan, para tetangga dikoordinir Bang Edo dan Bang Jupri bergiliran berjaga. Pintu menuju gang mereka diportal dan hanya boleh dimasuki warga saja. Kepolisian sektor setempat juga sementara menugaskan beberapa aparatnya untuk mengamati kondisi secara berkala.

Seminggu berlalu, tak ada kejadian yang mencurigakan ataupun membahayakan.

“Mas, aku ke kampus ya,” ujar Kinanti, di hari ke delapan setelah Mas Danu pulang dari Rumah Sakit. Sebenarnya, mereka memang sedang liburan semester gasal, sehingga tidak ada kegiatan pembelajaran di kampus. Kin memutuskan untuk total merawat kakak semata wayangnya itu. Namun, barusan Zaky menelepon, bahwa Anton mengajak mereka rapat untuk membahas rencana seminar yang akan diselenggarakan BEM Fakultas bulan depan.

Mas Danu, sejak kejadian itu, masih sering mengunci mulut dan sepertinya malas berkomunikasi dengan Kin. Barangkali kejadian pengeroyokan itu menciptakan trauma yang cukup mendalam. Beberapa kali Kin terbangun di malam hari karena mendengar Mas Danu berteriak-teriak, mengigau saat tidur. Apakah Mas Danu butuh pendampingan Psikolog?

Jalan hidup pria itu tampaknya memang lempang-lempang saja. Sejak kecil selalu berprestasi, menjadi bintang di kelas, bahkan sekolahnya. Kuliah di jurusan hukum terbaik di negeri ini, lulus hampir summa cum laude, lalu diterima sebagai dosen di Unmaja. Mendapat beasiswa S2 sekaligus S3 di Australia yang juga dia tempuh dengan ekstracepat. Usia 31 tahun, sudah menjadi doktor hukum andalan kampus Unmaja. Setahu Kin, Mas Danu jarang, atau bahkan tidak pernah berorganisasi. Teman-teman dekatnya pun sangat sedikit, bahkan rasa-rasanya, Mas Danu tak pernah memiliki teman dekat, seperti Kin dengan Icha misalnya. Hidupnya habis untuk belajar, belajar, dan belajar. Maka, bisa dibayangkan, peristiwa yang sangat menekan hidupnya kemarin itu, pasti telah menciptakan luka psikologis yang dalam.

“Mas, cuma bentar, bakda dhuhur insyaAllah aku pulang, makan siang udah aku siapin di meja, ya. Obat-obatnya aku siapin atau gimana?”

“Aku bisa siapin sendiri.” Jawab Mas Danu, getas.

“Kalau repot, ntar aku bilangin Mpok ….”

“Aku bisa sendiri. Kamu pergi saja. Hati-hati.”

“Maafin aku ya Mas, tapi Anton dan Zaky ….”

“Pergilah!”

Kin meraih jaket dan tasnya, tapi kunci kontak tidak dia sentuh. Dia tidak membawa motornya. Icha akan menjemputnya. Katanya sekitar 10 menit lagi dia akan sampai di jalan besar dekat rumah.

“Kin ….”

“Ya Mas?”

“Kamu akan ketemu Tika?”

Tika? Dia mahasiswa baru, belum masuk kepengurusan BEM Fakultas, meski sangat berpotensi untuk masuk jajaran kepengurusan tahun depan mengingat potensinya yang sangat menonjol. Tapi memang dia direkrut menjadi salah satu panitia acara seminar, sehingga akan datang di rapat bersama Tracy dan Liza. Anton setuju dengan usulan Kin memasukkan nama-nama adik tingkat binaannya itu di kepanitian. Kalau elo yang rekomendasiin, aku sih percaya, kalaupun mereka error, gue yakin elo bisa ngebenerin, kata Anton beberapa waktu yang lalu.

“Kok tahu aku mau ketemu Tika?” Kin mengerutkan kening. Danu hampir tak pernah membicarakan perempuan, kecuali atasan atau koleganya. Terlebih Tika. Tetapi, memang saat dirawat di rumah sakit kemarin, beberapa kali Tika datang ke rumah sakit. Mereka sering terlibat percakapan yang cukup serius. Diskusi ini dan itu.

“Kemarin aku baca kertas-kertas di mejamu. Dia masuk jadi panitia seminar to?”

“Iya.”

“Salam ya ….”

Salam ya… hal sepele dan sederhana, kecuali jika diucapkan seorang Danu.

Apakah Mas Danu menaruh perhatian pada … tapi, aduh, Tika kan punya kelainan … kenapa nggak Icha aja hayo. Icha bisa patah hati kalau tahu Mas Danu naksir Tika. Gawat, gawat!

* * *

Icha tersenyum manis saat Kin datang. Seperti biasa, Icha tampak ceria dengan jilbab motif biru muda, kemeja hitam dan rok jeans. Meski berjilbab syar’i, Icha selalu tampak penuh gaya. Sebenarnya Icha menarik. Dan sangat baik. Nothing to lose. Kalau Kin jadi cowok, tak ragu lagi, pasti Icha akan dia pilih jadi calon istri. Tetapi mengapa Mas Danu justru tertarik dengan ….

“Lo mau gantian nyetir, Kin? Katanya kamu udah bisa nyetir. Dilancarin dong.”

“Ah, jangan sekarang, Cha. Ini Jakarta, bukan Wonogiri. Nggak berani pegang setir, apalagi mobil bagus kayak mobilmu. Kegores dikit aja aku kudu mengosongkan isi dompet untuk biaya bengkel.”

“Ih alasan aja. Ayo masuk!”

Kin membuka pintu sebelah kiri bagian depan mobil Icha. Aroma harum yang khas, sekaligus dingin AC mobil menyambutnya, menciptakan rasa nyaman yang menawan. Musik instrumentalia yang lembut mengalun, sedikit membuatnya baper. Dia rebahkan kepala di sandaran jok empuk mobil itu. Pelan-pelan mobil berjalan meninggalkan pemukiman sederhana kontrakan Kin dan Mas Danu.

“Kabar Mas Danu gimana, Kin? Dah baikan?”

“Lumayan. Tapi Mas Danu makin pendiam dan nyebelin. Eh, nggak … ding. Sepertinya, dia masih sangat trauma dengan kejadian pengeroyokan itu.”

“Trauma? Masak sampai trauma?”

“Mas Danu sering mengigau, teriak-teriak tengah malam. Perlu nggak ya, dibawa ke psikolog?”

“Gue kira kakakmu itu bakoh, kayak gunung batu.”

“Ih, ya enggaklah. Kakakku manusia biasa. Bisa juga trauma.”

“Kalau menurutku, sementara sering-sering kamu dampingi aja dulu, Kin.”

“Iya, ini sejak kejadian kemarin, aku baru bergeser meninggalkan Mas Danu ke kampus. Karena rapat ini aja, sih. Kalau nggak penting amat, aku ya tetap di rumah.”

“Oya, Lo tahu nggak sih Kin, eh gue belum cerita kan ya, gue memang nggak cerita, karena Lo sedang repot merawat Mas Danu….”

“Apaan sih?”

“Liza ….” Wajah Icha berubah sedih.

“Ada apa dengan Liza?”

“Eh, enggak ah. Kamu sedang repot, nggak boleh ditambah repot. Sudah terlalu banyak efek buruk yang kamu dapatkan gara-gara bocah itu.”

“Cerita dong, Cha. Jangan bikin aku penasaran.”

“Sudah tiga hari dia menghilang.”

What?

“Mungkin kabur ke rumah eyangnya di Jawa Timur. Beberapa waktu yang lalu, Liza cerita ke gue, kalau sementara pengin ninggalin Jakarta. Trus dia bilang soal rumah Eyangnya di Jawa Timur. Papa Liza memang asli Magetan, Jawa Timur. Tapi, kok nggak ngabarin, ya. Ini Om Fredy, Papa Liza, sedang mencoba menyusul ke sana.”

“Udah dilaporkan ke polisi?”

“Belum, nanti aja kalau nggak ada kabar.”

“Udah tiga hari lho.”

“Baru ketahuan kemarin. Om Fredy baru pulang dari Sidney, lalu dikasih tahu Budhe Minah, pembantu di rumah Liza, bahwa sudah beberapa hari Liza nggak pulang. Biasanya, kalau nggak pulang kan dia nginep di rumah gue, atau kemarin-kemarin sempat di rumah Elo kan? Tapi kali ini, di rumah gue enggak, di rumah Elo juga nggak.”

Kin menghela napas panjang. Mengapa problematika ini semakin lama justru semakin terasa rumit. “Semoga Liza baik-baik saja.”

Dan … kamu jangan berpikir bahwa masalah ini udah selesai. Mereka nggak akan berhenti sebelum menemukan sebab utama dari tertangkapnya Robert.

Ucapan Tika terngiang-ngiang di telinga Kin.

Benarkah masalah ini belum selesai?

Kepala Kin berdenyut semakin kencang. Sepanjang jalan, sepasang sahabat yang biasanya tak pernah kehabisan topik mengobrol itu hanya bisa terdiam.

* * *

Suasana kampus Unmaja sangat sepi, karena memang sedang liburan semester. Hanya ada beberapa pegawai kampus yang tetap bekerja. Iseng-iseng Icha berbelok bukan di tempat parkir untuk mahasiswa yang letaknya memang cukup jauh, tetapi tempat parkir yang biasanya ditujukan untuk para dosen atau pejabat kampus. Lokasinya berapa di depan bangunan utama, sehingga cukup dekat dengan ruang BEM yang terletak di lantai 5 bangunan utama. Jika harus parkir di tempat mahasiswa, mereka harus berjalan kaki lumayan jauh. Untungnya petugas parkir tidak mengusir mereka, karena tempat parkir memang relatif kosong. Hanya ada beberapa mobil terparkir di area yang bisa menampung sekitar 20-an mobil itu.

Begitu mereka turun dari mobil, ponsel Kin berdering. Zaky menelepon.

“Ayo Nona, ditunggu, rapat sudah mau dimulai!”

“Ya, iya … jam sembilan kan? Ini baru jam Sembilan kurang ….”

“Kurang tiga menit, Nenek!”

Kin tertawa. Omelan Zaky terasa lucu di telinganya. Dan suara itu … hm, terasa merdu. Kin baru sadar, sudah seminggu lebih tidak bertemu cowok itu. Entah mengapa, ada perasaan rindu. Gawat!

“Tumben bisa on time gitu? Biasanya juga molor.”

“Yaelah, molor kok dibudayakan. Gimana mau jadi negara maju, Nenek Bawel?”

“Oke Kakek bawel. Aku dah di parkiran depan nih, bareng Icha.”

“Baik, ditunggu, Nenek bawel!”

Sejak kapan mereka saling menyebut kakek dan nenek bawel?

Icha melirik Kin. “Zaky, ya?”

Kin mengangguk. Merasa malu pada diri sendiri, karena seolah-olah begitu menikmati debaran-debaran halus yang memenuhi rongga dadanya. “Dia bilang kita molor.”

Icha terbahak. “Itu karena dia kangen kamu, Kin! Biasanya juga jadwal jam Sembilan undangan, jam Sepuluh baru mulai.”

“Ih, jangan gitu ah.”

“Lho, semua orang di Unmaja ini tahu, kalau Tuan Zaky itu naksir nona Kinanti. Awas lho, penyakit hati. Kalau gue jadi elo, mending nikah muda aja daripada jadi fitnah.”

“Huz, huz!”

Icha kembali terbahak. Namun, tangan gadis itu mendadak mencengkeram bahu Kinanti. “Sst… Kin, lihat itu!”

“Apaan?” Kin celingukan.

“Lihat mobil itu!”

“Mobil yang mana?”

“Itu yang terparkir paling timur.”

SUV hitam!

“Yuk dekati!”

Seperti kerbau dicocok hidungnya, Kin mengikuti langkah Icha mendekati mobil SUV hitam. Semakin dekat, semakin jelas. Ada stiker Unmaja di belakang. Dan plat mobilnya … sama persis!

“Hai, Kinanti, sedang ada acara apa di kampus?”

Sebuah suara mengagetkan Kin dan Icha. Sesosok tubuh keluar dari mobil SUV itu. Sosok tubuh tinggi, tegap, langsing, dengan pakaian rapi, berjas dan berdasi. Wajahnya tampan, rambutnya tersisir rapi.

“Pp… Pak Wisnu?”

“Ada agenda di kampus ya?” pria itu mengulang pertanyaannya.”

“I… iya Pak! Ada rapat BEM.”

“Oh, sama dong, saya juga ada rapat dengan rektor. Ayo, saya duluan, ya!”

Pria itu melangkah tegap menuju bangunan utama kampus megah itu.

Kin dan Icha masih terpana menatap sosok itu. Wisnu Dharmadi, salah satu orang paling penting di Kampus Unmaja … diakah pemilik SUV hitam berstiker Unmaja itu?

BERSAMBUNG KE BAGIAN 23


3 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here