Djalan Braga, Bandoeng, awal Djanuari 1927
Di depan bioscoop daerah Majestic, sekalian mojang Prijangan berkoempoel sembari menoenggoe pemoeteran film Loetoeng Kasaroeng. “Ajoeh nonton bioscoop! Sediaken doeit, doea goelden sahadja.”
“Saja tidak ada doeit, bagaimana?”
“Tak apa. Anda bisa menonton dari balik lajar. Tapi Anda haroes sabar, sebab harus membatja toelisan yang terbalik.”
Eh, siapa sih yang sedang bercakap-cakap di atas? Kok bahasanya kayak bahasa tempo doeloe. Hehe, saya hanya sedang mencoba membawa Sobat Filmi kepada nuansa awal tahun 1900-an. Saat film masih menjadi barang yang sangat ekspensif. Hanya kalangan tertentu saja, yang jelas kalangan atas—para meneer dan mevrouw—yang mampu menikmatinya. Uniknya, sesuatu yang ekspensif itu, ternyata hanya berupa gambar bergerak tanpa warna, alias hitam putih, dan tanpa suara! Ha?!
Ya, itulah film tempo doeloe. Dalam bukunya, “Penyambung Lidah Rakyat”, Bung Karno pernah bercerita, bahwa saat beliau bersekolah di HBS Surabaya, beliau sering datang ke bioskop untuk menonton film. Dan, karena beliau tidak memiliki uang untuk membeli tiket, yang seharga dua gulden untuk kelas satu, maka beliau terpaksa nonton gratisan, di belakang layar dan harus membaca teks dengan tulisan terbalik.
Kok begitu? Ya, zaman itu, film memang tanpa suara, bisu alias gagu. Percakapan dilakukan dengan tulisan yang terpampang di bawah layar. Nah, untuk menyiasati agar tak terlampau kosong, seringkali bersamaan dengan film, diputar musik sebagai latar, namun menurut Mas Dhani Indigo dalam sebuah artikelnya di kapanlagi.com, antara musik dan gambar seringkali nggak nyambung. O, ya… film saat itu juga sudah berwarna lho, namun warnanya hanya dua, hitam sama putih. Terbayang ya, betapa ‘seru’ nonton bioskop saat itu?
1895 in Paris…
Kalau Sobat Filmi sedang asyik menonton dahsyatnya film “Mencuri Raden Shaleh” atau “Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini” di Twenty One misalnya, pernahkah Sobat semua memikirkan, kapan manusia di muka bumi ini mulai bisa menonton rangkaian gambar bergerak alias sinema atawa film? Jangan kaget, ya? Ternyata tonggak perfilman dunia dimulai pada 28 Desember 1895. Saat itu, Lumiere bersaudara yaitu Louis dan Auguste mempertunjukan cinematograph untuk pertama kalinya kepada masyarakat di Grand Cafe di Boulevard des Capucines, Paris. Judul filmnya “Workers Leaving the Lumiere Factory.” Hingga saat ini, hari itu dianggap menjadi hari di mana sebuah sinema itu pertama kali diputar.
Nah, sedangkan masa sebelum itu, dianggap sebagai masa ‘prasejarah’ dalam dunia perfilman. Meskipun kamera pertama bernama obscura ditemukan para 1250, toh sebelum pemutaran film tahun 1895, keinginan untuk mendapatkan gambar bergerak masih sekedar menjadi obsesi masyarakat Eropa.
Baca juga: Chatting dengan Lawan Jenis
Loetoeng Kesaroeng
Setelah peristiwa 28 Desember 1895, dunia perfilman berkembang cukup pesat. Beberapa tempat menjadi pusat perfilman, seperti Paris itu sendiri, juga Hollywood di Amerika Serikat. Di Indonesia sendiri (yang saat itu bernama Hindia Belanda), geliat perfilman dimulai dengan dibangunnya bioskop pertama kali, yakni di Batavia, 5 Desember 1905. Saat itu, bioskop juga dikenal dengan nama gambar idoep. Sinema lokal yang pertama digarap adalah film berjudul Loetoeng Kesaroeng yang diproduksi oleh NV Java Film Company. Film itu diputar di Bioscoop Majestic, Jalan Braga, Bandung, 31 Desember 1926 hingga 6 Januari 1927. Meskipun sutradara film ini, L. Heuveldorp dan kameraman G. Krugers adalah orang Belanda, namun para pemain dari film ini adalah kaum pribumi, antara lain Martoana, Oemar dan anak-anak Bupati Bandung, Wiranatakusumah V, yang juga ikut mendukung film tersebut.
Jangan bayangkan film itu seperti film-film sekarang, di mana setting digambarkan dengan warna-warni yang indah, dengan soundtrack yang menawan. Yaks, sebagaimana film-film sebelumnya yang diimpor dari luar negeri, Loetoeng Kasaroeng ini bisu dan hitam putih. Namun begitu, antusiasme masyarakat Sunda terhadap film ini sangat bagus. Soalnya, film LK ini memang film yang diangkat dari cerita rakyat yang sangat ngetop di tanah Sunda.
Coba deh, baca iklan film ini yang dimuat di SK Kaoem Moeda:
“Pada kita diwartaken bahwa besok malam film `Loetoeng Kasaroeng` jang sudah lama di toenggoe2 oleh pendoedoek di Bandoeng, aken moelai dimainken dalam Elita dan Oriental Bioscoop dan Feestterrein Elita” (Iklan di SK Kaoem Moeda, 30 Desember 1926).
Baca juga: Cerita Humor Lucu
Film “Berbicara”
Atma de Vischer, yang dibuat tahun 1931, mengakhiri masa film ‘bisu’ di Indonesia. Selanjutnya, film-film serupa pun bermunculan, yang ternyata cukup menarik perhatian penonton, karena film yang ‘berbicara’ memang lebih mudah dipahami dan tentu saja lebih menghibur. Tema dari film-film yang dibuat pun lebih beraneka ragam. Beberapa judul yang diproduksi antara lain Bunga Roos dari Tjikembang, Indonesia Malaise, Sampek Eng Tay, Si Pitoeng, Raonah, Siloeman Babi kawin dengan Siloeman Monjet, Anaknya Siloeman Oeler, Anaknya Siluman Tikoes, Lima Siloeman Tikoes dan lain-lain. Bahasa yang dipakai kebanyakan adalah Melayu campuran. Pemain-pemainnya kebanyakan dari kaum tiong hoa, namun ada juga pemain pribumi Roekiah dan Rd. Mochtar yang melegenda lewat film Terang Boelan (Het Eilan Der Droomen) produksi ANIF yang disutradarai Albert Balink.
Baca juga: Kumpulan Cerita Humor
Sinema dan Propaganda
Selain sebagai hiburan, pada perkembangannya, sinema juga digunakan sebagai ajang propaganda. Dalam sejarah perfilman, tercatat bahwa NAZI Jerman pun menjadikan film sebagai sarana menebarkan pemikiran. Leni Riefenstahl misalnya, sutradara film dokumenter masa Hitler berkuasa, berencana merilis film barunya tepat pada ulang tahunnya yang ke-100 pada 22 Agustus mendatang. Film dokumenter berdurasi 45 menit berjudul Impressions Under Water dan menggambarkan kehidupan laut di India itu dibuatnya hampir selama 50 tahun lalu, sejak 1954. Beberapa karya Riefenstahl telah menyihir jutaan pemuda Jerman untuk bergabung sebagai Pasukan Muda Hitler (Hitlerjugend). Ini sejalan dengna ucapan Hitler yang sangat terkenal, “Aku menginginkan seorang pemuda yang kejam, tangguh dan sekuat baja!” (Postdam, 1936).
Total, Riefenstahl telah membuat 3 film untuk Adolf Hitler. Yang paling terkenal berjudul Triumph of the Will, sebuah dokumentasi tentang rapat umum Nazi di Nuremberg, tahun 1934. Film ini, dipuji sebagai film propaganda terbaik yang pernah dibuat, yang menampilkan Hitler dengan sosok ”dewa” dan barisan tentara Nazi yang seolah tak ada ujung. Sebuah gambaran tentang kehebatan pasukan Nazi yang seolah-olah begitu dahsyat.
Ketika Jepang mulai menancapkan kuku kekuasaan di bumi nusantara, pasukan negeri matahari terbit ini juga menggunakan film sebagai salah satu propagandanya. Misalnya, Jepang merubah De Film Comissie menjadi Kainen Bunka Sidhoso Odohan Nippon Sodhoso, alias pusat kebudayaan dan propaganda milik pemerintah militer Jepang yang berkuasa saat itu. Sebelum itu, ketika Belanda masih berkuasa, bahkan pemerintah mengeluarkan aturan khusus tentang perfilman, yakni ordonantie film nomor 507. Aturan itu dilandasi ketakutan Belanda bahwa dengan film, jajahan mereka, Hindia Belanda, akan digoyang.
Kemudian, ketika Indonesia telah menjadi bangsa berdaulat pun, ternyata perang propaganda melalui film sangat kuat. Di akhir tahun 1950-an hingga awal 1960-an, terasa sekali aroma persaingan antara blok barat (Amerika Serikat dan sekutunya) dengan blok Timur (Uni Soviet, China dan Eropa Timur).
Baca juga: Efek Rumah Kaca
Film-Film yang Menuai Protes
Nggak seru bicara soal film jika tidak menyertakan protes-protes dari masyarakat. Jika baru-baru ini, film Perempuan Berkalung Sorban menuai protes dari sebagian kaum muslimin, salah satunya dari MUI, lembaga yang ‘dianggap’ memiliki otoritas. Meskipun kasusnya berbeda, beberapa tahun silam, film “Buruan Cium Gue” pun gagal beredar di pasaran karena keburu dikritik keras oleh kaum Muslimin. Ternyata, pada tahun 1950, hal yang sama telah terjadi pada film Antara Bumi dan Langit yang diproduksi oleh Stichting Hiburan Mataram dan PFN, disutradarai oleh Dr. Huyung yang sejatinya bernama Hinatsu Eitaro. Skenario ditangani oleh Armijn Pane. Terjadi kehebohan, sebab untuk pertama kali dalam sejarah perfilman Indonesia, ada adegan ciuman antara bintang tenar S. Bono dengan Grace! Gelombang protes pun membahana. Alhamdulillah, ternyata kontrol masyarakat kita terhadap sebuah karya masih bagus. Semoga akan terus demikian sampai akhir zaman.
Ya, karena film adalah sebuah sarana. Film yang baik, menurut sutradara Chaerul Umam, tak hanya memberikan hiburan, tetapi juga pencerahan. Masyarakat harus sangat jeli melihat perkembangan film yang kian hari kian marak. Jangan sampai kita didikte oleh film yang ternyata menyebarkan pemikiran-pemikiran yang menyesatkan. []