Hujan

1
79

Parjo melenguh menatap sawah warisan kedua orangtuanya yang terletak di daerah Gedongan, Colomadu itu. Tanah di persawahan yang merana itu sudah mulai merekah, retak di sana-sini. Tanda bahwa sudah beberapa hari ini air tak lagi mengaliri.

Sumber irigasi dari waduk Cengklik yang biasa menjadi tumpuan hidup areal persawahan di sekitarnya sudah mulai surut. Air tak lagi bisa mengalir hingga ke persawahan yang letaknya jauh, seperti sawah warisan milik Parjo itu. Hanya tinggal hujan saja harapan satu-satunya bagi sawahnya.

Lelaki paruh baya itu mendongak menatap langit. Sudah beberapa minggu ini sebenarnya mendung sudah mau bertandang ke bumi kota nasi liwet ini. Sayangnya tak pernah bertahan lama hingga melahirkan rintiknya. Selalu saja kalah oleh angin yang jail, karena berkali-kali mengusir mendung yang telah menggantung. Atau mungkin juga kalah oleh pesawat terbang yang lalu lalang di perlintasan langit kota Solo.

Waktu kecil, Parjo pernah diberitahu mendiang bapaknya, semendung apapun cuaca, kalau ada pesawat terbang lewat berarti tidak akan terjadi hujan. Parjo pun mematri pelajaran satu itu kuat-kuat di dalam hati. Ia kebingungan kini, haruskah merutuki angin ataukah pesawat yang terbang tinggi. Keduanya sama-sama tak masuk akal untuk dirutuki.

Perlahan ia berjalan di tengah pematang yang telah kerontang. Beberapa tanaman padinya mulai menampakkan gejala kekeringan. Padahal tinggal satu bulan. Hanya tinggal satu bulan lagi dan bulir-bulir yang sudah tumbuh itu akan makin padat berisi. Dan ia akan bisa segera menjual hasilnya ke koperasi, lantas membeli keperluan sehari-hari yang selama ini hanya bisa terpenuhi dengan tunggakan hutang di sana-sini. Isterinya sendiri sudah mengeluhkan tunggakan SPP anak semata wayang mereka berkali-kali.

Parjo terduduk menatap nanar ke arah bulir-bulir padi yang menggantung lesu. Teringat ia akan percakapannya dengan tetangga rumahnya, Wawan. Wawan juga mengelola tanah persawahan warisan orangtunya. Tapi ia sedikit lebih beruntung dibandingkan Parjo, sawahnya jauh lebih dekat ke Waduk Cengklik dibandingkan sawah Parjo. Jadi untuk satu bulan ke depan Wawan masih bisa mengandalkan aliran irigasi dari waduk itu dan menanti panen tiba.

“Pergi saja kamu ke Mbah Jimin!” saran Wawan waktu itu.
“Buat apa?” balas Parjo. Setahu dia, Mbah Jimin itu dukun terkenal di daerah Colomadu. Konon, ia dengar, sudah cukup banyak yang berhasil mendapatkan apa yang diinginkan setelah mendatangi Mbah Jimin. Tapi yang dia inginkan saat ini adalah hujan ….

“Ya minta aji-aji, atau apa gitu, jampi-jampi kek. Biar sawahmu bisa bertahan sampai satu bulan ke depan. Sayang kan, sudah mulai berbulir begitu! Kamu coba dulu saja ke sana. Siapa tahu nanti bisa berhasil, bisa panen raya!” Wawan kembali mencoba meyakinkan.

Namun Parjo sama sekali tak yakin waktu itu. Mendung sudah beberapa kali bertandang walau selalu saja gagal hujan. Tapi saat itu Parjo masih punya sedikit harapan. Setidaknya, setelah lebih dari enam bulan musim panas yang panjang, mendung sudah mau datang.

Namun kini keyakinan itu sedikit demi sedikit mulai melarikan diri. Hujan tak kunjung turun meski mendung tiba berkali-kali. Sawah Parjo semakin kering dan kering saja. Meski sebenarnya masih ada beberapa hektar sawah lain di sekitarnya yang mengalami nasib serupa, namun rupanya ia merasa menjadi satu-satunya orang yang paling malang sedunia. Ia nelangsa memikirkan nasib keluarganya. Ia merana memikirkan pembayaran hutang-hutangnya.

Akhirnya, ia pun mengambil keputusan itu, pergi ke tempat Mbah Jimin. Meski nurani merutuki, meski mata hati menghalangi, namun ia tetap saja pergi. Ia menemui pria tua itu dan mendapatkan saran yang sangat aneh. Kata Mbah Jimin ia harus menanam air hujan di tengah-tengah sawahnya.

Bagaimana caranya? Pertanyaan Parjo itu tidak dijawab oleh sang dukun yang katanya sakti. Parjo disuruh memikirkan caranya sendiri. Dan untuk saran yang sangat singkat itu, Parjo mesti berhutang pada Wawan dua ratus ribu untuk membayar sang dukun.

Maka sambil merasa was-was karena takut terlalu lama memikirkan cara menanam air hujan di tengah sawahnya, dan menyebabkan padi-padinya mati kekeringan, Parjo pun segera mengambil langkah.
Bergegas ia pergi keliling desa dan meminta tolong pada orang-orang yang dikenalnya. Tolong simpankan air hujan untuk saya. Kata Parjo seraya menyorongkan botol plastik bekas yang sudah kosong pada orang-orang itu.

“Buat apa, Jo?” tanya salah seorang yang dimintai tolong. “Hujan kan belum turun.” Katanya lagi.
“Saya tahu, tapi begitu hujan mulai turun, saya harus sebisa mungkin memiliki simpanan air hujan itu!” Parjo bersikeras.
“Sebanyak apa? Sebotol penuh ini?” orang itu mengangkat botol plastik pemberian Parjo.
“Ya nggak harus penuh, Kang. Pokoknya terisi air hujan!”

Parjo merasa optimis ia akan memperoleh banyak simpanan air hujan untuk ditanam di tengah sawahnya, sebab ia sudah meminta tolong beberapa orang untuk melakukan hal yang serupa. Ia juga sudah menaruh mangkuk-mangkuk dan wadah-wadah dolanan anaknya untuk menadah air hujan di sekitar rumahnya.
Dengan begini, air hujan yang kutanam di tengah sawahku akan cukup banyak, sehingga hujan akan segera turun! kata Parjo dalam hati, meski setengah akalnya memberontak dengan pemikiran yang aneh ini.

Hari pun berlalu. Satu, dua, tiga, hingga beberapa hari telah lewat. Memang hujan sempat bertandang, namun sekadar rintik ringan yang hanya cukup untuk membuat bau tanah menjadi basah.

Parjo tak kehilangan semangat, dikumpulkannya beberapa botol yang sudah disebarnya, juga mangkuk-mangkuk dan wadah dolanan yang hanya terisi sedikit air saja. Ia menaruhnya menjadi satu di sebuah gelas kaca, terisi sekitar setengahnya.
Dengan hati berbunga, pergilah ia ke sawah warisan orangtunya. Ditanamnya gelas berisi air hujan yang hanya setengah itu ke dalam tanah di tengah-tengah sawahnya. Lantas ia mendongak menatap langit, senyumnya makin merekah melihat mendung hitam menggantung di sana. Bahkan seharian itu tidak ada pesawat terbang yang lewat, tidak pula angin. Hanya hawa dingin yang perlahan-lahan menyergap. Parjo semakin yakin bahwa saran dari Mbah Dukun benar-benar manjur.

Akhirnya, ketika malam merayap datang, apa yang ditunggu Parjo pun bertandang. Hujan deras turun bagai diguyurkan langsung dari langit. Parjo bersorak tak karuan. Anak dan isterinya sampai kebingungan.
“Mbah Jimin memang sakti! Mbah Jimin memang sakti!!” teriak Parjo pada keluarganya.

Hujan malam itu memang benar-benar mengobati kerontang yang terjadi. Parjo pun bergegas-gegas mengisi botol plastik kosongnya dengan air hujan malam itu, hendak ia tanam kembali ke tengah sawahnya esok hari.
Semenjak itu, hampir tiap malam hujan selalu turun. Dan kabar tentang Parjo yang menanam air hujan di tengah sawah hingga menyebabkan hujan turun deras itupun tersebar luas.

Namun tak semua orang lantas percaya begitu saja.
“Owalaaah, lha Kang Parjo itu kok ya goblok banget to ya?” Ujar Mail, tetangganya, setelah mendengar kabar tentang ulah Parjo itu. “Lha itu kan sama saja dengan nunggu hujan tiba, tho?! Kok pake menanam air hujan di tengah sawah segala. Mbok ya mikir, kalau mau nanam air hujan kan butuh air hujan itu sendiri, lha sama saja dengan nunggu hujan tiba baru dapat airnya, kan?! Dipinteri dukun kok ra mudeng!!”


1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here