Ayah dan Pukul 3 Pagi

0
139

Begitulah ayah. Tidak pernah bosan untuk menyuruhku bangun pukul tiga pagi. Semenjak aku menginjak kelas akhir Sekolah Menengah Atas (SMA), ayah melakukan itu. Aku sering merasa ayah lebih kejam daripada seorang kusir delman yang mencambuk kudanya, memaksa untuk berjalan padahal si kuda sudah kelelahan.

Biasanya ketika ayah membangunkanku pukul tiga pagi, ayah pasti menyertai alasan-alasan mengapa harus bangun di pagi buta. Bahkan tak jarang ayah mengutip ucapan para pemuka agama. Dan itu kembali terjadi hari ini.

“Bangun pagi itu wujud daripada prihatin, kamu akan menghargai sebuah perjuangan. Lagi pula belajar pagi itu enak karena pikiran masih fresh, apalagi habis sembayang!” ucapnya.

“Hidup itu harus terarah, bukan terserah menuruti diri yang bermalas-malasan. Ayo bangun! Semangat, ini juga demi masa depan!” Ucapan itu diikuti oleh suara ketukan pintu. Suara yang terus terdengar, tak henti-henti. Ayah baru menghentikan tangannya mengetuk pintu jika aku sudah membuka pintu kamar.

“Bangun pagi itu membuka pintu rezeki! Tapi kalau sudah bangun ya jangan tidur lagi. Bangun, ibadah, belajar. Jangan tidur lagi! Pagi hari otak masih jernih untuk berpikir!” kata ayah setelah aku membuka pintu kamar.

Aku merutuk. Ingin aku membalas kata-kata ayah dengan argumenku—ini kerap kulakukan. Namun, kali ini aku lebih memilih mengalah dan memasang wajah marah. Aku langsung ke kamar mandi. Dinginnya air yang mengenai wajahku seketika membuat bulu kudukku berdiri. Aku kembali ke kamar dan menutup kembali pintunya. Sedikit membanting aku dalam menutup pintu.

Setelah dari kamar mandi, aku lumayan kerap menuju kasur dan melesat dalam dunia mimpi. Ayah akan marah jika hal itu kulakukan. Meski pintu sudah tertutup—supaya ayah tidak tahu—ayah punya cara tersendiri untuk tahu apa yang sedang kulakukan. Ia bakal memanggil-manggilku beberapa menit setelah aku dari kamar mandi. Jika responku seperti orang mengigau, sudah pasti ayah tahu kalau aku malah tidur, bukan ibadah atau belajar. Ayah langsung marah. Pernah juga, ayah menyuruhku untuk membuka pintu kamarku, supaya ia bisa tahu apa yang kulakukan—biasanya ayah duduk di ruang keluarga, yang mana ketika pandangannya di arahkan ke depan adalah menuju ke dalam kamarku.

Tak ada tanggapan dari ayah saat aku sedikit membanting pintu kamar. Ayah paham kalau aku melakukan apa yang ia perintahkan dengan terpaksa. Yang sampai detik ini aku tidak habis pikir adalah, mengapa ayah tidak berpikir, bukankah sesuatu hal yang dilakukan dengan terpaksa itu tidak baik? Dalam hal ini aku yang yang terpaksa menuruti ayah.

Aku pernah sampaikan itu kepada ibu. Aku katakan juga kepadanya keberatan-keberatanku bangun di pagi yang buta. Seharian aku sekolah. Aku hanya memiliki waktu istirahat yang menurutku sebentar, pukul delapan aku sudah harus belajar—lagi-lagi ayah yang menentukan harus belajar pukul delapan. Aku disuruh ayah belajar, minimal dua jam lamanya. Sebab menurutnya sekolah tanpa belajar adalah seperti berbelanja sayuran di pasar dan sesampainya di rumah sayuran yang dibeli tidak diolah. Belajar menurut ayah adalah mengolah sayuran, supaya bisa enak dinikmati hasilnya. Supaya mendapat nilai yang bagus.

Ucapan keberatan-keberatanku ke ibu sampai di telinga ayah. Ayah mengatakan jika alasannya tidak kuat bangun pagi karena fisik sudah terlalu lelah tidak bisa menjadi alasan. Ayah menambahkan, itu karena belum terbiasa, maka perlu ada paksaan. Ya, maksudku mau jam berapapun aku tidur, ayah tidak pernah bisa memahami, bahwa seharusnya aku bangunnya mundur ketika tidurku terlalu malam karena menyelesaikan pekerjaan dari sekolah.

“Kalau di sekolah mengantuk, bisa cuci muka,” ucap ayah dengan enteng. Sangat enteng, sungguh sama sekali tanpa beban mengucapkan kalimat itu.

Karena prinsip ayah yang demikian, terkadang aku menjadi malas belajar—atau aku sengaja belajar dua jam bahkan kurang supaya ketika aku bangun tidak terlalu lemas dan ngantuk. Buku hanya sekadar kubuka ketika waktunya belajar. Sejatinya aku tidak melakukan apa-apa. Aku melihat youtube atau hiburan apapun di hp yang kuletakkan di atas buku—untungnya ayah tidak menanyakan terkait ini.

Untung aku tidak tergelincir ke alam mimpi setelah melaksanakan ibadah, aku menyahut ketika ayah memanggilku. Posisiku masih berada di kasur. Ayah menyuruhku untuk membeli token listrik nanti sekalian aku berangkat sekolah sebab pulsa sudah mau habis. Meski seringnya hanya memanggilku saja untuk mengetes aku tidur atau tidak, tapi terkadang ayah juga mengetesku dengan berlindung di balik alasan lain. Seperti sekarang ini, menyuruhku nanti untuk membeli token listrik. Aku tahu ia menyuruhku hanya untuk mengetesku; memastikan aku tidur atau tidak.

Kali ini aku tidak mengeluarkan argumen yang intinya bangun terlalu pagi membuatku mengantuk di sekolah atau menjadikan tubuhku sangat lelah sekali, sehingga dikhawatirkan ketika di sekolah masih dalam keadaan lemas. Aku pernah mengatakan kepada ayah tubuh yang lemas tidak akan efektif untuk berpikir. Ayah tidak pernah bisa menerima kata-kataku.

Aku membuka sebuah buku dan membatin, mau sampai kapan siksaan ini berlangsung? Jelas aku masih menganggap hal ini merupakan siksaan. Kubaca kembali materi yang diajarkan sekolah hari kemarin. Aku masih ingat sebenarnya tanpa membaca kembali. Namun, aku terus membaca, hingga kemudian kantuk menggelayutiku. Aku mencoba bertahan. Aku sudah memutuskan pagi ini tidak membuat keributan dengan ayah. Aku tidak tidur.

Aku kembali ke kamar mandi dan tiba-tiba saja tanpa ada yang menyuruh timbul sebuah pertanyaan di kepalaku, mengapa ayah begitu tega menyiksaku? Andai saja yang menyuruhku bukan ayah, aku sudah menghajarnya habis-habisan. Aku pernah berdebat dengan ayah, bahkan hingga berlanjut pada hari berikutnya. Aku meladeninya dengan bentakan. Tetap saja, ayah selalu punya seribu satu alasan, mengapa aku harus bangun pukul tiga pagi.

Apakah mungkin seorang ayah tega menyiksa anaknya? Apakah benar demikian? Pertanyaan itu seperti menegasi pertanyaanku sebelumnya, mengapa ayah begitu menyiksaku. Aku berpikir dan membenarkan bahwa ada juga orangtua yang menyiksa anaknya, entah karena apa. Namun, kemudian aku berbisik dalam hati, “Tapi rasa-rasanya ayah tidak mungkin melakukannya hanya untuk menyiksaku.”

Meski aku sudah mengatakan tidak mungkin, tetap saja rasa marah belum sepenuhnya hilang. Aku benar-benar tidak tidur pagi ini. Pukul setengah enam aku mandi. Pukul setengah tujuh ketika aku hendak berangkat ayah berucap sesuatu. Aneh, kulihat sorot matanya tampak begitu teduh. Ya, benar-benar teduh. Seperti mengisyaratkan kalau aku baru saja melakukan sesuatu hal yang besar dan berharga.

“Suatu saat kamu akan mengerti, mengapa ayah melakukan ini, ya meski ayah sudah menjelaskan alasan-alasannya. Tapi mengerti maksud ayah adalah di luar dari apa yang sudah ayah katakan,” kata ayah.

Rasa marah yang sudah hilang kembali ada. Mengapa ayah begitu sulit memahamiku? Ayah tentu tahu kalau aku ini adalah seorang pelajar, bukan orang dewasa yang dua hari tidak tidur pun kuat. Ucapan ayah justru membuatku menjadi kembali merasa disiksa atas apa yang telah ayah lakukan kepadaku.

“Mengapa ayah begitu tega menyiksaku?” Dan pertanyaan itu kembali muncul, meski aku sadar ayah tidak bermaksud begitu.

Saat aku menemukan jawaban atas pertanyaan itu pun, aku tidak merasa bahwa jawaban yang kutemukan adalah jawaban yang membuatku lega. Aku juga tidak mengerti ucapan ayah sebelum aku berangkat. Pertanyaan itu menemani hari-hariku. Pernah aku berpikir, mungkin dengan aku tidak marah saat dibangunkan ayah, pertanyaan itu tidak akan menghantui. Nyatanya tidak. Aku pernah mencoba untuk ikhlas. Tidak pernah bisa.

Pertanyaan itu tidak pernah bisa hilang. Sungguh. Hingga pada suatu hari aku menyadari akan ucapan ayah; aku akan bisa mengerti pada saatnya nanti. Dan kukira saat yang dimaksud ayah sudah tiba, meski aku menyadarinya dengan sebuah kepedihan yang tak terperi. Saat di mana aku merasa ada sesuatu yang hilang dalam pagiku. Bagaimana jika masa depanku hancur hanya karena tidak ada yang membangunkanku pukul tiga pagi? Ayah telah pergi untuk selama-lamanya.

Tiba-tiba saja aku seperti disadarkan, aku teringat dengan ucapan ayah, “Hidup itu harus terarah, jangan terserah.”

*****


LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here