Mas Danu benar-benar serius. Dia bahkan tampak sangat bersemangat, atau justru kesetanan, mengemasi barang-barang yang ada di rumah kontrakan mereka. Dua kopor besar berisi pakaian, beberapa kardus buku-buku dan dokumen, serta beberapa tas berisi aneka perlengkapan. Rumah kontrakan yang semua terasa agak sempit, sekarang menjadi lebih longgar. Sebuah mobil box, milik seorang kerabat dari Wonogiri, akan mengangkut barang-barang tersebut menuju Yogyakarta. Beberapa tetangga membantu Mas Danu memasukkan barang-barang tersebut ke mobil yang terparkir di mulut gang.
Kin termangu sambil bersandar di dinding ruang tamu. Kin tak percaya, bahwa secepat itu Mas Danu pergi meninggalkan Jakarta. Bukankah baru seminggu yang lalu dia mengucapkan rencana kepindahannya? Bahkan, Mas Danu juga baru sekitar 3 hari ini masuk kerja setelah beberapa waktu cuti karena sakit.
“Mas, memangnya proses kepindahanmu sudah beres?” tanya Kin akhirnya.
“Aku baru mengajukan surat pindah kemarin, jadi memang masih belum resmi pindah. Aku bahkan masih punya jadwal ngajar di pascasarjana, cuma kata Pak Barata, mau dicoba diatur agar ngumpul di akhir pekan. Sementara ini aku akan bolak-balik Yogyakarta – Jakarta. Ini mumpung mobil box Mas Yudho sedang ada di Jakarta, nganter barang dagangan dan pulangnya kosong, sekalian aja barang-barang ini aku bawa ke Yogya,” ujar Mas Danu.
“Mas masih sakit lho, apa kuat naik mobil box?”
“Lho, aku nggak di boxnya, memangnya aku ini barang dagangan. Jok depan cukup nyaman. Full AC, bersih. Mas Yudho sendirian kok. Aku bisa duduk di sampingnya. Nanti kalau Mas Yudho ngantuk, aku bisa gantiin nyopir. Lagipula, aku sudah mulai baikan sekarang. Udah agak bugar. Kuatlah, perjalanan jauh.”
“Trus, nasibku gimana, Mas? Aku kan sendirian di sini. Ntar kalau anak buahnya Robert ngacau lagi gimana?”
“Kamu segera saja cari indekos yang dekat kampus. Lebih praktis, meski mungkin agak mahal. Jangan khawatir, Mas bertanggung jawab membayari semua kebutuhanmu. Meski nggak sebesar gaji di Unmaja, di kampus baru, gajiku lumayan juga. Ya maklum, UMR Yogya dan Jakarta kan jauh bedanya. Bulan depan kontrakan ini kan akan habis masa sewanya.”
“Sebenarnya … Icha menawariku tinggal di rumahnya.”
Mas Danu terdiam sesaat. Lalu menggeleng. Tegas. “Jangan!”
“Kenapa? Gratis, lho. Malah Icha ntar jadi punya teman belajar, teman nongkrong, teman diskusi. Kasihan, dia kesepian di rumah.”
“Jangan memanjakan diri dengan kemewahan, karena kemewahan akan membuat kita rapuh, dan kemudian kehilangan idealisme. Kemewahan adalah jerat sangat kuat, yang ketika menimpa seseorang, dia akan rela melakukan apapun untuk bisa terus bersamanya. Banyak orang hebat yang akhirnya hancur karena hal ini. Contohnya … dia….”
“Dia itu … siapa?”
“Seseorang!”
“Hmmm….”
“Kita harus sadar diri, kita itu siapa. Icha itu siapa. Kalaupun saat ini kalian bersahabat baik, pada satu titik, kalian akan saling menyadari bahwa kalian punya dunia yang berbeda, bahkan kontras, berkebalikan.”
“Lho, katanya kita harus percaya diri dan bersikap egaliter. Icha kan juga nggak pernah menyombongkan diri kok. Dia selalu ….”
“Aku tahu, Icha baik, menarik, shalihah … tetapi Icha tetap anak orang kaya yang terbiasa dengan kemudahan dan kemapanan. Aku takut jika kau tenggelam dalam kebiasaan hidup enak, hidup nyaman, bergelimang fasilitas, lantas kau lupa di mana bumi berpijak.”
“Itu yang bikin Mas selalu menghindar kalau aku bilang Icha naksir kamu?”
“Dia menarik, tapi bukan tipeku.”
“Ya udah deh, kalau Mas nggak setuju, aku mau cari indekos saja di dekat Unmaja. Kemarin ada kok, kamar kos kosong, nggak terlalu mahal juga. Malah ada kamar mandi dalam, ber-AC. Sebenarnya itu udah dibayar kakak kelasku untuk setahun, teman satu tim di riset mahasiswa, tapi entah kenapa dia nggak cocok. Lalu dia bilang, aku cukup ganti separuhnya aja.”
“Di daerah mana?”
“Barat kampus. Kos Edelweis.”
“Hm, kos yang bagus. Jelas mahal. Tapi kalau cuma bayar separuh, ya lumayan murah jadinya.”
“Udah klir soal kos nih ya, tinggal nanti aku telpon Kak Sherly aja. Tapi … yang aku heran, kenapa sih, mas sangat terburu-buru pindah kerja?”
“Bentar lagi, kampus baru tempatku bekerja akan ada proyek besar, jadi sudah banyak tugas menumpuk yang kudu aku selesaikan. Besok siang aku akan bertemu dengan dekan kampus baruku.”
“Apa pengunduran diri Mas Danu resmi diterima?”
“Terserah mau diterima atau tidak, yang jelas aku sudah tidak sudi lagi menjadi bagian dari pencitraan cecunguk busuk itu.”
“What … cecunguk?”
Wajah Mas Danu berubah muram. “Sudahlah, nanti kan kamu akan tahu, apa alasanku pergi dari Unmaja.”
Pria muda itu duduk di atas kursi, mencecap kopinya yang masih tersisa seperempat gelas.
“Mas, kemarin … sekitar semingguan yang lalu, pas aku barusan rapat di kampus, aku mendengar Pak Wisnu bertengkar dengan anaknya, Clarissa. Lalu ….”
“Sudahlah, aku nggak mau mendengar lagi nama itu disebut di depanku. Semua rasa hormatku sudah hancur lebur dan tak menyisakan satu keping pun.”
“Eh tapi kenapa ….”
“Asalamu’alaikum!”
Sesosok tubuh tinggi besar, bercelana jeans, kaos oblong, topi pet, dan sandal jepit, masuk ke rumah kontrakan mereka dan memutus obrolan itu. Mas Yudho. Beliau berusia sekitar awal 50an tahun. Masih satu kakek dengan orangtua Kinanti di Wonogiri. Kinanti dan Danu menjawab salam itu serempak.
“Piye Danu, ayo ndang budal, selak kewengen.” Bahasa Jawanya medok, artinya gimana Danu, ayo segera berangkat, nanti terlalu malam. “Nanti jam delapan malam aku ada janji ketemu Mas Jali di dekat exit tol Cikampek. Kamu ingat Mas Jali, kan?”
“Tetangga desa kita di Wonogiri yang sukses bikin warung kopi di Cikampek?”
“Ya. Dia ngundang kita minum kopi sekaligus makan malam di sana. Sudah lama aku bercerita tentang kamu, doktor pertama di desa kita yang sukses menjadi ahli hukum di Jakarta. Mas Jali pengin ketemu kamu.”
“Nggih, Mas.” Danu bangkit. Dihampirinya Kinanti.
“Kin, jaga diri baik-baik ya. Aku percaya kamu sudah cukup kuat, dewasa dan mandiri untuk hidup sendiri di Jakarta yang keras ini. Segera selesaikan skripsimu, biar segera terbang ke luar negeri untuk meraih gelar mastermu.”
Kinanti terisak. Sekeras, setegas dan secerewet apapun, Mas Danu tetap seorang kakak yang baik. Kin menghambur ke pelukan Mas Danu, menumpahkan air matanya. Seumur hidup, baru kali ini Kin memeluk abangnya, si arca tegar yang seringkali menampilkan diri sebagai sosok tak punya perasaan itu.
“Sudah, sudah. Jangan cengeng! Aku cuma seminggu di Yogya. Nanti masih kembali ke Jakarta. Urusanku di Unmaja belum selesai.” Mas Danu mengusap-usap jilbab Kin.
“Hati-hati ya Mas Danu, Mas Yudho, jangan ngebut!”
Kedua pria itu melangkah keluar, diikuti oleh beberapa tetangga. Kin juga ikut bersama mereka, namun langkahnya terasa limbung. Mendadak badannya terasa sangat ringan, seakan-akan berat badannya berkurang separuh.
Mobil box itu pun pelan meninggalkan tempat itu.
Tanpa mereka sadari, sebuah mobil double cabin berwarna hitam menguntit mobil box itu. Entah mengapa, melihat mobil hitam itu, sebuah perasaan aneh menjalari benak Kin.
* * *
Hingga mobil box itu menjauh dari mulut gang dan hilang di balik tikungan, diikuti mobil double cabin itu, Kin masih berdiri termangu, bersandar pada tiang listrik. Sore ini, perasaannya begitu tak menentu. Berbagai jenis emosi campur aduk, berkelit kelindan di dalam benaknya. Sedih, bingung, cemas, penasaran … bahkan juga rasa takut.
“Thiiiiin!” suara klakson panjang mengejutkannya. Sebuah mobil mendekat. Pajero putih. Meski jarang dipakai, melihat beberapa kekhasan di mobil itu, Kin bisa menebak siapa yang datang.
Zaki? Untuk apa dia ke sini?
Mobil itu berhenti di dekatnya. Pintu tengah terbuka. Icha dan Tika keluar. Wajahnya tampak tergesa-gesa.
“Kin, Kin … ada kabar buruk!” ujar Icha, gugup.
“Kabar apa?”
“Pak Danu kemana?”
“Mas Danu … udah berangkat.”
“Benarkah beliau pulang ke Wonogiri?” Tika terlihat lebih tenang, meski matanya tampak bersinar waspada.
“Iya.”
“Aduh, bahaya … bahaya banget … Zak, turun Zak!” Icha makin terlihat panik.
Zaki turun dari mobil.
“Zak, Pak Danu benar ke Wonogiri.”
“Ya Allah, jadi benar? Kita harus segera kejar beliau. Ayo segera susul beliau. Kin, ayo masuk mobilku!”
“Eh, ini apa-apaan sih?” Kin kebingungan. “Ada apa?”
“Ntar kita kasih tahu, ini sangat penting, menyangkut keselamatan Pak Danu!”
“Tapi ….”
“Ayo segera masuk mobilku!”
“Aku belum mengunci rumah.”
“Segera kunci rumahmu, bawa perlengkapanmu seperlunya, dan mari kita segera kejar Pak Danu! Cepaaat…! Jangan sampai terlambat.”
“Tapi ….”
“Kin,” ujar Tika, “barusan kami mendapat kabar dari Clarissa, dia meneleponku. Saat itu aku sedang bersama Kak Zaki dan Kak Icha. Katanya … Clarissa mendengar bahwa seseorang telah memerintahkan agar Pak Danu dihabisi, ditabrak mobilnya hingga kecelakaan di jalan. Dibunuh!”
“Apaaa?”
Tubuh Kin gemetar. Kepalanya berdenyut kencang. Hampir saja dia ambruk, namun dia bisa dengan cepat menguasai diri. Segera dia berlari menuju rumahnya. Meraih tas ransel, mengisi dengan perlengkapan sekedarnya, lalu mengunci rumah kontrakan tersebut dan menghambur kembali ke mobil Zaki. Beberapa pertanyaan bernada keheranan dari para tetangganya tidak dia layani.
Sejenak kemudian, pajero putih itu meluncur kencang, meninggalkan mulut gang tersebut.
* * *
“Kenapa nomor Pak Danu tidak bisa dihubungi?” Tika meremas Hp-nya dengan geram. Saking kalutnya Kin, sampai dia tidak menyadari, darimana Tika mendapatkan nomor telepon kakaknya itu. Mas Danu sangat pelit berbagi informasi privasi, lebih senang berkomunikasi menggunakan email.
“Tadi baterai telepon Mas Danu drop, belum di-charge. Memang charger-nya sedang rusak.”[1]
“Hmmm … jadi makin sulit dan rumit. Bagaimana dengan orang yang bersama Mas Danu itu?”
Lagi-lagi Kin juga tidak terlalu perhatian pada kata “mas” yang dipakai Tika saat menyebut nama dosennya itu.
“Maksudmu, Mas Yudho? Dia juga tak pernah perhatian dengan HP-nya yang selalu low bat. Lebih sering dimatikan, dihidupkan kalau mau telepon atau SMS aja.”
“Kacau, kacau!”
“Sebenarnya, apa yang terjadi? Aku benar-benar penasaran. Kenapa ada yang mau membunuh Mas Danu? Mengapa kalian tahu, dan mengapa kalian bertiga bisa berbarengan begini?”
“Gini, Kin…,” ujar Icha, yang duduk di jok depan, samping sopir. Kin memang menolak duduk di depan. Dia khawatir tak bisa menjaga hatinya. “Tadi pagi kan kami ke kampus, ngurusin KRS. Ternyata ada Anton, dia marah-marah, lalu memanggil seluruh anak BEM dan panitia seminar yang hari ini ngampus. Nah, kami bertiga akhirnya ngumpul setelah acara, bahas kejadian kemarin itu. Saat itu, Tika iseng-iseng nelepon nomor HP yang ditulis Clarisa di atas secarik kertas itu.”
“Setelah aku coba telepon beberapa kali, ternyata nyambung,” timpal Tika. “Suara Clarisa terdengar sangat histeris saat mendengar sapaanku. Dia bilang dia disekap di sebuah rumah. Dia nggak boleh kemana-mana. Rumah dikunci. Tapi, papanya dan beberapa anak buahnya sering datang ke rumah itu.”
“Papanya? Pak Wisnu?”
“Siapa lagi?”
“Terus?”
“Nah, mendadak Clarisa menanyakan kamu, Kin. Lalu menanyakan kabar Pak Danu. Kata Clarissa, pak Danu dalam bahaya, karena pagi tadi Pak Wisnu memerintahkan anak buahnya untuk membunuh Pak Danu.”
“Membunuh?”
“Ya, Clarissa mendengar jelas perbincangan itu, karena dilakukan di rumah tempat dia disekap,” kata Tika lagi.
“Lalu, gue ajak Tika dan Zaki ke rumahmu, untuk mengecek kondisi Pak Danu. Di perjalanan ke sini, Clarissa telpon lagi. Katanya, dia mendengar Papanya menelpon anak buahnya. Anak buahnya itu ternyata memata-matai rumahmu, dan melihat Pak Danu pergi dengan mobil box.”
Mobil double cabin itukah? Dada Kinanti berdesir.
“Lalu, Pak Wisnu menyuruh anak buahnya menguntit mobil box itu, dan melalukan eksekusi, bersama sebuah truk yang telah diberi tugas untuk … bersama-sama menghabisi Pak Danu di perjalanan.”
Kepala Kin berdenyut kencang.
“Zak!” katanya, dengan gemetar. “Kamu tahu warung kopi Pak Jali di daerah Cikampek?”
“Iya, tahu. Terkenal banget kan, tempat itu.”
“Itu langganan Mas Yudho dan orang-orang kampung kami di Wonogiri kalau melakukan perjalanan ke Jakarta. Tadi Mas Yudho bilang, bahwa mereka akan berada di sana jam delapan. Jadi, mari kita jalan menuju ke sana, lewat tol Jakarta Cikampek.”
“Good, ide bagus, Kin!” Icha mengacungkan jempolnya. “Kamu memang hebat, dalam keadaan panik masih bisa berpikir jernih.”
Zaki menaikkan kecepatan mobil yang dikendarainnya. Pajero putih itu meluncur cepat, masuk jalan tol, dan meluncur ke arah timur.
BERSAMBUNG
[1] Kembali mengingatkan pembaca, bahwa setting waktu novel ini adalah pertengahan tahun 2000-an