“Dulah, Aku tidak mau tahu, kerbau itu harus ada!” teriak Jurangan Kohar.
Dulah menunduk. Tak keluar sepatah kata pun darinya.
“Dulah, tuli kau ya?” semprot laki-laki 40 tahunan itu.
Dulah pucat pasi. Ia tahu betul tabiat tuannya.
“Hei!” telunjuk Kohar hampir menyentuh kening Dulah. “Sejak kapan kau bisu begini?”
“Su–su–sudah berkali-kali kubilang, Gan, ka–ka–kalau …”
“Aku tidak peduli!” potong Juragan Kohar. “Pokoknya kerbauku harus paling besar!”
Seperti kesetanan Jurangan Kohar meraih kerah baju Dulah. “Paham?” Mata Kohar membelalak sempurna.
Dulah merasa perlu mengangguk untuk melepaskan tangan Jurangan Kohar dari kerahnya.
Pagi itu juga Dulah mendatangi Amir, penjual kerbau yang dibelinya kemarin. Dulah tak enak hati. Bagaimana pun, penjual kerbau itu adalah sahabatnya sendiri. Ia harus mengembalikan kerbau seberat satu pikul yang ia beli karena daftar teranyar di masjid kompleks, Juragan Anam mengisi kolom kurban dengan Kerbau 400 kilogram!
“Ya sudahlah, Lah,” akhirnya Amir mengalah setelah mendengar panjang lebar keluhan Dulah. “Kerbaunya bawa sini. Untung uangnya belum aku apa-apain,” kata Amir sambil mengeluarkan amplop tebal dari saku kemejanya.
Oh, leganya Dulah.
Siang harinya, selesai mengantarkan kembali kerbau kepada Amir, Dulah membelokkan motor bututnya ke kediaman Pak Nanan, penjual kerbau tempat Juragan Anam membeli hewan kurbannya.
Ancaman Jurangan Kohar terus membayanginya. Ia tak mau upah dan uang makannya dipotong hingga keluarganya harus kelaparan dan putri semata wayangnya kembali menjadi korban perundungan di pesantren karena menunggak SPP.
Dulu, Dulah pernah didamprat habis-habisan Jurangan Kohar ketika ia gagal meminang Aisah, bunga desa seberang. Musababnya: Dulah kalah cepat dari anak buah Jurangan Anam dalam mencari kepala kerbau jantan sebagai alas lamaran.
Sejak itu, Jurangan Kohar tak lagi memanggil Dulah paman. Baginya Dulah tak lebih dari babu.
Mulanya Dulah syok. Ia tak mengira, patah hati bisa menghilangan adab seseorang.
Dulah terus dihina jika melakukan kesalahan sekecil apa pun. Namun apa hendak dikata, utang budi tak dapat ditawar lagi. Ayahnya Jurangan Kohar membayar semua biaya operasi penyakit hidrosefalus putrinya hingga selamat dari kematian. Dulah pun memakan buah simalakama setiap hari: menuruti Dulah ataupun membantahnya, tidak satu pun membawa kebaikan untuk ia dan keluarga.
Azan Magrib berkumandang ketika Dulah tiba di rumah Pak Nanan. Di bawah temaram lampu teras, seekor kerbau besar yang ia perkirakan berbobot 400 kilogram berada tak jauh darinya. Dulah mengusap matanya yang berbinar. Apa yang ia cari kini ada di hadapannya.
Laki-laki enam puluh tahun itu berdeham setelah mendengarkan maksud kedatangan Dulah. ”Sebenarnya, kerbau itulah yang akan dibeli oleh Jurangan Anam.”
Dulah lunglai serta-merta.
“Tapi …”
“Tapi apa, Pak?” Dulah melihat ada harapan.
“Prinsip saya, siapa cepat dia dapat.”
“Memangnya kerbau itu belum dibayar Juragan Anam, Pak?”
Pak Nanan menggeleng cepat sehingga janggutnya yang lebat ikut bergerak. “Baru uang muka. Itu pun hanya 30 juta.”
Wajah Dulah semringah. ia merasa lega sekali mendengar ucapan dari Pak Nanan.
“Memangnya, berapa harganya, Pak?” Dulah penasaran.
“Seratus dua puluh, angkut!” kata Pak Nanan sambil mengelus jengotnya.
Dulah menelan ludah mendengarnya. Uang sebanyak itu belum pernah ia melihatnya.
Tapi, ia tak punya pilihan. Ia menghibur diri dengan membatin, “Pasti Jurangan Kohar tidak keberatan mengeluarkan sebanyak itu. Toh ini mempertaruhkan harga dirinya.”
“Saya bayar lima puluh juta dulu ya, Pak,” bujuk Dulah sambil mengeluarkan uang yang baru ia terima dari Amir dari dalam jaketnya.
Pak Nanan mengernyitkan dahi.
“Pagi-pagi besok, saya akan membawa sisanya, Pak,” Dulah meyakinkan.
Pak Nanan tidak menjawab, tapi tetap ia terima amplop itu.
***
“Dulah,” seru Juragan Kohar begitu melihat sang paman membuka pagar rumahnya.
“Tugasmu merawat kerbau ini,” katanya seraya mengikat tali yang melilit kerbau babon di pekarangannya ke pohon trembesi tua di sudut. “Pastikan kerbau kita tiba duluan di pekarangan masjid sebelum salat hari raya tiga hari lagi nanti itu ya.”
Dullah menelan liur. Dari mana Juragan Anam mendapatkan kerbaun babon itu?
“O ya, sudah Amir kembalikan uang kerbauku?”
Perasaannya kacau.
***
Bakda subuh, ketika takbiran menyambut hari raya dikumandangkan untuk kali pertama, akhirnya Pak Nanan mengembalikan lima puluh juta itu kepada Dulah. Itu pun setelah Juragan Anam akhirnya melunasi pembayaran kerbaunya.
Meskipun begitu, kabar bahwa kerbau Jurangan Kohar yang paling besar santer merebak. Ya, meskipun hanya unggul dua puluh kilogram dari kerbaunya Juragan Anam, orang-orang tetap takjub dengan kerbau yang sejak dua hari sebelumnya leluasa mereka saksikan dari pagar rumah sang juragan yang sengaja dibiarkan terbuka begitu saja.
Juragan Kohar makin jemawa ketika namanya diumumkan pertama sekali dalam daftar pengurban beberapa saat sebelum salat Iduladha akan digelar. Tentu saja itu karena hewan kurbannyalah yang paling besar.
Begitu khatib menyelesaikan khotbah, orang-orang pun berkerumun di halaman masjid. Bukan, bukan untuk melihat prosesi kurban. Melainkan untuk memastikan bahwa kerbau Juragan Kohar benar-benar lebih besar dari kerbau Juragan Anam.
“Pak Soleh,” kata Jurangan Anam begitu menyadari ada sesuatu yang tidak beres, yang membuat orang-orang bergremengan membicarakan kerbau yang tidak ada di pekarangan masjid. “kenapa dari tadi hanya kerbauku yang paling besar di sini?”
Lirikan matanya lalu berpindah dari petugas kurban itu ke Juragan Kohar yang berdiri dengn muka kusut di seberang. “Hei Kohar!’ kali ini Juragan Anam terang-terangan mengajak saingannya itu berkonfrontasi. “Kerbaumu yang katanya paling besar itu mana?” Seperti sengaja membakar suasana, Juragan Anam melanjutkan, “O ya, dari tadi tidak kulihat batang hidung kacungmu itu, heh?”
Suasana makin riuh.
“Coba cek lagi,” ia nyengir. “Jangan-jangan, karena sering kauhina, pamanmu itu malah melarikan kurbanmu,” lalu ia tertawa.
Beberapa orang ikut tertawa. Tapi lebih banyak yang menahan diri, sekaligus menunggu balasan Juragan Kohar.
Ternyata tak seperti harapan. Juragan Kohar malah meninggalkan pekarangan masjid seraya meneriakkan nama Dullah.
Kali ini, bagai dikomando, orang-orang menyorakinya.
Juragan Kohar makin panas, makin terbakar.
“Mas, kerbaunya mati,” lapor istrinya dengan napas tersengal-sengal begitu melihat sang suami masuk pagar dengan wajah kusut.
Jurangan Kohar langsung lari menuju kandang kerbaunya di pekarangan.
Seekor kerbau babon tergolek. Mulutnya berbuih.
“Dulaaaaahh!” Jurangan Kohar menendang kandang kerbau hingga roboh.
“Kata tetanggannya,” suara istrinya tertahan. “Subuh-subuh tadi, dia bergerak ke desa sebelah,” lanjutnya, dengan suara tertahan.
Sepuluh kilometer dari desa, setelah mengubur botol potas kosong ke dalam tanah,
Dulah berlalu dengan perasaan yang dilega-legakan. Di tangan kirinya, sekantung buah jeruk akan diberikan pada putrinya yang telah menunggunya di pesantren. Ia tak ingin makan buah simalakama selamanya.(*)
Desy Arisandi lahir dan besar di Musirawas, Sumatra Selatan. Tahun 2018 ia memenangkan Sayembara Novel Anak Kemendikbud. Cerpen-cerpennya tersebar di Republika, Jawa Pos, Sabili, Berita Pagi, dll. Saat ini ia mengabdi sebagai guru bahasa Indonesia di Musirawas.