Pendar-Pendar Cahaya

4
360

Cahaya. Aku selalu melihat cahaya di wajahnya. Bersih dan terang. Apalagi jika dia tersenyum. Ah, aku semakin jatuh hati.

Kali ini pun aku melihatnya Kembali. Berjalan gagah dengan kemeja kotak-kotak yang lengannya sedikit digulung. Dan wajah redup tenang itu seakan berpijar di antara sisiran rambutnya yang rapi. Lihat, senyumnya mengembang. Orang-orang di sekitarnya menyambutnya akrab. Tangan-tangan itu saling bertaut untuk kemudian menimbulkan nyala yang lebih terang. Aku silau!

“Ndra!”

Ups, anganku putus, seseorang memanggilku. Joni menyodorkan segelas es jeruk yang langsung kusambar. Ekor mataku masih menangkap di kemeja kotak-kotak mengambil air wudhu di ujung sana. Pfffh… kenapa aku selalu memperhatikannya.

“Gimana pentas kita bulan depan, Ndra? Schedule latihannya sudah dibuat?” suara berat Joni. Dia ikut duduk nggloso di beranda kantin, tepat di sebelahku.

Aku diam. Kubuat bulatan-bulatan asap rokok yang perlahan kuhembuskan ke udara. Bangunan fukultas ini kacau, masa’ membuat mushola di samping kantin yang tak pernah sepi. Pantas saja jika si wajah cahaya itu cuma melintas sebentar di depanku, mengambil air wudhu, kemudian berlalu untuk mencari tempat yang agak tenang agar komunikasi dengan Tuhannya tidak terganggu.

“Kalau nggak segera disusun, persiapan kita mepet lho, Ndra!”

Ah, suara Joni lagi. Aku hanya mendengus kesal. Aku sebenarnya capek mengurusi pementasan teaterku yang sudah ke berapa. Tapi bagaimana lagi, aku ketua kelompok teater sekaligus sutradaranya.

“Beres, besok jadi!” jawabku asal. Kembali kuteguk es jerukku. Joni hanya geleng-geleng kepala.

*****

Semula aku tak tertarik dengan sosoknya. Seperti mahasiswa yang mempunyai secretariat UKM di lantai satu kebanyakan, komunitas aneh aku menyebutnya. Yang cewek menutup diri rapat-rapat, sedangkan cowoknya nampak alim dengan penampilan sederhana. Membosankan. Mereka hanya membicarakan hidup dan mati, seolah hidup hanya menunggu mati dan ada hidup setelah mati. Aku tahu semua teori itu, tapi bagaimana kemudian memaknai hidup agar lebih hidup, itu yang aku cari selama ini. Dan teater adalah jalanku. Bermain drama dan sandiwara sekehendakku. Semauku, karena akulah sang sutradara. Aku bebas memainkan jalan cerita, aku bebas mengatur alur, aku bebas mengganti pemain. Bebas! Bebas! Bebas!

Nah, aku melihatnya lagi. Sosok yang awalnya kubenci karena gadis yang kucintai ternyata jatuh hati padanya. Apa lebihnya dariku? Rambutnya yang tersisir rapi sedang rambutku gondrong terurai? Penampilannya yang necis sedang aku ber-jeans belel yang kadang sobek di dengkul? Atau karena yang keluar dari mulutnya adalah kata-kata Mutiara sedang yang kukeluarkan hanya asap rokok dan makian?

Shinta, Shinta…. Cowok macam dia bukan tipemu. Sampai akhirnya kutahu kalau kau menyukainya karena cahaya itu. Yaaa, cahaya yang kemudian juga membuatku jatuh hati. Cahaya yang bersinar seolah menarikku dalam indahnya.

“Mas Hendra!” wajah cahaya itu mendekat. Memanggilku dengan suara merdunya. Aku gelagapan. Aku pernah menikmati suara merdu itu ketika dia membaca Al Qur’an di acara halalbihala fakultas. Aku semakin terpesona.

“Assalamu’alaikum!” dia mengucap salam. Aku tercekat, bingung mau menjawab apa. Tangannya yang menggantung kubiarkan saja. Tidak, dia tidak marah. Pijar cahayanya membesar seiring dengan senyumnya yang makin lebar.

“Bengong aja!”

Pyaaaar! Aku cuma berkhayal. Gelembung-gelembung anganku pecah oleh sentuuhan tangan Joni di pundakku. Si wajah cahaya itu tak pernah menyapaku. Dia hanya melintas di depanku untuk mengambil air wudhu dan kemudian berlalu. Oh, betapa kini aku menjadi Hendra yang aneh.

*****

Constantin Stanislavsky mengatakan, pemain itu ibarat tanah liat di tangan sutradara. Dan aku sutradara itu sekarang. Bagaimana akan kubentuk tanah liat itu jika pementasan ”Merah Bolong Putih Doblong Hitam” nantinya adalah eksplorasi gerak tubuh. Drama minimalisasi Bahasa dialog yang pertama kali kukerjakan. Mungkin teater Melarat milik Jerzy Grotowsky sukses mementaskan drama itu. Tapi teaterku adalah teater fakultas yang hanya punya impian untuk juga jadi besar macam teater Kecil-nya Arifin C. Noer, teater bengkelnya W.S. Rendra, atau teater Populer milik Teguh Karya. Impian yang indah untuk pemimpi-pemimpi macam aku.

Tapi saat ini, imajinasiku tercabik-cabik oleh bayang-bayang cahaya itu. Tanah liat yang harusnya kubentuk menjadi sebuah karya yang indah kubiarkan tetap menjadi seonggok tanah. Ketika Joni memaki aku atas sikapku yang nyleneh, aku hanya bisa berteriak,

“Lalu apa aku salah? Ketika benar-benar tidak ada inspirasi yang datang selain cahaya? Ketika pikiran hanya mau berkelana dan enggan menyapa sebuah drama?”

Joni hanya mampu mendengus, meninju lenganku dan kemudian berlalu sembari berkata di hadapan teman-teman anggota teater lainnya,

“Ganti! Ganti saja sutradara kita ini!”

Samar aku tersenyum. Mungkin itu lebih baik daripada teater kita tak menghasilkan apa-apa sampai hari H

*****

“Assalamu’alaikum!” suara itu. Suara itu yang dulu bersama rekan-rekannya membawakan sholawatan, mendapatkan applaus lebih meriah dari seluruh mahasiswa fakultas ini daripada “Bulan Bujursangkar” yang kupentaskan. Suara itu yang kemudian mendendangkan lagu-lagu accapella memuji Tuhannya lebih indah dari cerita cinta picisan yang kudengar.

“Mas Hendra, sholat yuk!”

Aku ingin. Sungguh! Aku ingin dia menyapaku. Sekadar menyapa. Tidakkah dia melihatku di sini? Oh, bukan melihat tapi melirik. Melirik sesosok kumuh dengan asap rokok mengepul dan tubuh bersandar lesu di beranda kantin samping mushola. Atau aku tak pantas menyembah Tuhannya?

Tapi anganku hanya sebatas angan. Dia hanya melintas di depanku, mengambil air wudhu dan segera berlalu.

“Wajah cahaya, kenapa kau tak menyapaku?” suaraku hanya sampai di kerongkongan. Aku ingin berkata,

“Aku menemukan damai di wajahmu. Aku melihat tenang yang sekian lama kurindu. Ajari aku…. Ajari aku bagaimana mengenal Tuhanku!”

*****

Seperti biasa, aku melihatnya siang ini. Kali ini aku tak akan diam. Aku akan bertanya padanya,

“Mengapa kau tak menyapaku?” atau

“Mengapa kau tak mengajakku sholat? Aku juga muslim, lihat!” lalu aku akan menunjukkan KTP atau kartu mahasiswaku. Aku juga akan mengatakan,

“Aku iri, tahu! Aku iri dengan cahaya yang ada di wajahmu. Harusnya aku juga punya itu, dan bukan hanya melihat pendarnya tanpa memilikinya!”

Oh gila! Aku benar-benar gila memikirkannya. Aku masih terpaku di sini, tak mampu berkata apa-apa. Aku hanya mengamatinya yang mulai khusyuk melakukan gerakan sholatnya. Akan kutunggu.

Aku berharap dia akan keluar dari mushola. Lalu dia terkejut mendapati aku yang memperhatikannya. Ya, memperhatikan dengan binar mata harapan bahwa aku ingin seperti dia.

“Mas Hendra, ada apa?” atau

“Ayo Mas sini, kita ngobrol yuk!”

Buk! Kupukul kepalaku sendiri agar balon khayalan itu pecah. Bodohnya aku, dia tak mengenalku.

*****

Yeah! Pentasku sukses. Dengan sisa-sisa tenaga dan idealisme cita-cita akhirnya selesai juga drama itu. Applaus masih saja menggema di arena Taman Budaya. Joni tersenyum puas di sudut ruang. Kubalas dengan kepulan asap rokok ke udara. Sekali lagi kubuktikan bahwa aku masih layak jadi sutradara.

“Mas Hendra!” suara itu. Aku menoleh. Si wajah cahaya tersenyum ramah mendekatiku. Darahku berdesir.

Oh, tidak! Jangan-jangan ini cuma anganku seperti hari-hari yang lalu. Mengapa tiba-tiba saja dia hadir sedang ruang khayalku saat ini bukan untuknya, tapi untuk pementasan teaterku. Rasa sakit kala lenganku kucubit menyadarkanku, aku ada di alam nyata.

“Saya Arif,” tangannya terulur. Kusambut. Hei, lihat, aku menjabat tangan si wajah cahaya justru saat aku tak mengharapkannya.

“Saya dengar pentas kali ini Mas Hendra sutradaranya. Saya ingin belajar banyak tentang teater dari Mas Hendra. Saya ingin membuat alternatif teater islami. Bisakah Mas Hendra membantu saya untuk….”

Tak kudengar lagi kelanjutan ucapannya. Hatiku jeri. Betapa Tuhan telah memberi lebih dari sekadar yang kuinginkan. Aku malu.

*****

Kubasahi rambut gondrongku. Denting gelas dan piring dari kantin sebelah tak kuhiraukan.

“Jamaah ya, Mas,” ucapnya.

Aku mengangguk mantap. Arif lalu mengambil cahaya di wajahnya dan menempelkannya ke wajahku. Aku seperti terbang.

*****

Pijarkan selalu cahaya itu, Saudaraku!


Previous articleJanji Panji
Next articleSimfoni Bunga Rumput 13
Rianna Wati
Rianna Wati, lahir di Wonogiri 5 November 1980, saat ini tinggal di Surakarta bersama keluarga kecilnya. Aktivitas menulis dilakukannya sejak SMA dan bergabung dengan Forum Lingkar Pena (FLP) sejak kuliah di Fakultas Sastra UNS. Saat ini menjadi staf pengajar di Prodi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UNS. Gelar S2 diraihnya dari prodi Ilmu Sastra UGM dan saat ini sedang menyelesaikan program doktoralnya di Kajian Budaya UNSBuku-buku fiksi yang pernah terbit diantaranya Elegi Cinta di Karimunjawa, Jatuh Cinta Pada Bunga, Ramai-Ramai Masuk Surga, Biar Cinta Bicara, Cinta adalah Luka, Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf, Arvayuna, Romansa, Petrichor, Salju Sungai Seine, Simfoni Hati dan beberapa buku kolaborasi hasil penelitian dan pengabdian masyarakat. Bisa dihubungi di email: riannawati@staff.uns.ac.id, FB Rianna Wati, Twitter @riannawati dan IG Rianna Wati.

4 COMMENTS

  1. Ulasan:
    Ceritanya bagus. Menggunakan diksi-diksi yang menyenangkan dan mudah ditangkap. Namun, untuk mendapatkan pemaknaan ceritanya, harus dibaca secara keseluruhan terlebih dahulu agak bisa mengerti maksud asli dari ceritanya. Ringan banget ceritanya tapi sangat menggugah hati, ikut menyejukkan mengenai makna pencarian Tuhan dalam kehidupan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here