Gulali

15
1079

Dia berdiri di samping gerbang menghadapkan wajahnya ke jalanan. Rambut panjangnya sudah lebih rapi. Kuembuskan napas demi menghalau gugup yang menyergap. Bertemu setelah sekian tahun membuat jarak di antara kami terbentang luas. Bagaimanapun juga aku harus melangkah mendekatinya.

“Sejak kapan merokok?”

Dia terkejut mendengar suaraku tepat di sampingnya.

“Lelaki biasanya merokok.” Tangannya terayun menuju bibir. Sebelum batang rokok itu menyentuh bibir, tanganku cekatan menepisnya. Abu panas mengenai tangannya.

“Benda ini bisa merusak parumu!” seruku.

Dia balik berseru, “Jadi, kau takut aku sakit?! Kenapa tidak bilang bahwa agama melarang perbuatan mu-mubadzir? Hah, apa itu?!”

Tak kuindahkan kata-kata sindiran itu. Aku melangkah menuju halaman sekolah. Adam berlari kecil menghampiri kami. Belum sempat kuucap sapaan, mata Adam berbinar ceria. Mulutnya menganga takjub. Kutoleh ke samping, gulali berbentuk kupu-kupu telah berpindah ke tangan mungilnya. Gulali.

***

Aku mengenal gulali pertama kali saat kelas empat sekolah dasar. Teman-teman sebaya dan kakak kelas mengerumuni tukang gulali di depan sekolah. Badanku yang mungil tak bisa melongok seperti mereka. Berkali aku berusaha menyingkap kerumunan, tapi nihil. Dengan menekuk wajah, aku menyingkir. Air mataku hampir jatuh saat sebuah gulali berbentuk kupu-kupu terulur padaku.

“Nggak mau!” Hatiku semakin dongkol mengetahui si pemilik gulali. Pagi tadi dia menumpahkan nasi gorengku.

“Ya sudah, kumakan sendiri.”

“Sini!” Kurebut gulali dari tangannya. Senyumnya yang mengembang kubalas dengan melotot padanya.

Apapun yang kupakai dan kumakan, dia selalu minta. Semua benda ingin kembaran. Sebenarnya bukan hal baru untuk berbagi dengannya. Bahkan sejak masih di rahim ibu, kami pun berbagi plasenta. Namun semua telah berbeda. Kami berbeda. Walau kata orang-orang, wajah kami bagai pinang dibelah dua, tapi memakai baju kembaran dengannya adalah hal memalukan. Aku perempuan. Dia lelaki. Sayangnya ibu berpendapat lain. Daripada pusing mendengar keributan kami, ibu memilih membelikan kami barang-barang yang sama persis. Cukup sudah tenaganya terkuras mencari sesuap nasi untuk kami.

“Mau lagi? Tapi ada imbalannya.” Aku meliriknya sekilas. “Boneka barbiemu.”

Apa?! Dia lagi-lagi meminta bonekaku?

“Enggak! Ini kubalikin!” Kusorongkan gulali secara kasar padanya. Aku suka rasa gulali itu, tapi menukarnya dengan barbie? Tidak akan!

Semakin hari aku bertambah jengkel padanya. Perhatian orang-orang di sekitarku lebih banyak tertumpu padanya. Dia lebih pintar dariku. Dia lebih cekatan dariku. Dia lebih memahami perintah ibu ketika di dapur. Dia lebih … cantik dariku. Kerabat dan tetangga kami menyatakan hal itu berulang kali.

***

Permen gulali yang manis dengan warna-warni terang tak selamanya memberi pengaruh bahagia. Kali ini rasa gulaliku hambar bahkan menuju pahit.

Dia memintaku menyimpankan gulali miliknya. Kami melewati tanah lapang yang memisahkan gedung SMP dengan area persawahan ketika serombongan kakak kelas menghalangi jalan. Dadaku berdebar keras. Kupegang lengannya dengan kuat. Kakak-kakak kelas ini terkenal bandel di sekolah.

“Woi, Banci! Sini main sama kami!” si Badan Besar beranjak dari duduknya. Kami ketakutan. Aku mencari perlindungan di balik punggungnya. Lalu satu per satu mereka mendekati kami.

“Lari. Cepat lari,” ujarnya dengan lirih, “Pulang ke rumah.” Suaranya tak mampu menyembunyikan rasa takut. Dia menggenggam jemariku, menyerahkan gulali. Kurasakan tangannya gemetaran. Aku menggeleng. Bahkan untuk bergeser dari tempatku saja tak ada nyali.

Si Badan Besar tiba-tiba menendang perutnya! Dia tersungkur! Aku terbelalak menatapnya mencium tanah. Sorot matanya memerintahkan supaya aku lekas pergi. Sorot itu baru kutemui saat ini setelah tiga belas tahun hidup bersama! Kuambil langkah seribu meninggalkan mereka. Air mata meleleh tak dapat kutahan.

Aku berlari menuju parit sawah. Lari secepat mungkin! Sayup-sayup kudengar teriakannya bercampur dengan caci maki gerombolan kakak kelas.

“Sini, Cantik! Kau benar-benar seksi!” Gelak tawa terdengar riuh. Aku tak berani menoleh ke belakang. Namun rasa penasaran menekanku untuk menoleh. Dia … bocah-bocah bandel itu menyeretnya ke rumah kosong!

Tiba di rumah, aku tak mampu mengucapkan sepatah katapun saat ibu menanyakannya. Di kamar, aku diam-diam menangis dengan menatap dua gulali yang tinggal separo. Malam itu dia tidak pulang. Setidaknya hingga aku tertidur masih dalam balutan seragam sekolah.

Pagi saat ke kamar mandi kudapati sandalnya di depan pintu. Dia sudah pulang. Tatkala dia keluar, aku segera masuk lalu memeriksa seragamnya. Dia telah merendamnya di ember. Airnya keruh bercampur lumpur. Kuraih bajunya, ada bekas darah yang masih menempel. Dua kancing bajunya hilang. Celananya robek. Air mataku kembali meleleh. Apa yang terjadi kemarin?

***

Gulali berikutnya kembali terasa manis. Teramat manis hingga membuat air mataku jatuh tak tertahankan. Sore itu aku berkunjung ke pasar malam di kota, diajak teman-teman. Mereka ingin merayakan ulang tahunku. Disela-sela rutinitas membantu ibu mencuci pakaian pelanggan penatu, tentu saja ke pasar malam menjadi hiburan besar.

Langit belum benar-benar gelap. Namun lampu-lampu pasar malam sudah dinyalakan. Aku memesan tiket bianglala untuk rombongan kami. Antrean loket bianglala mengular.

Menginjak bangku SMU, aku jarang bersama dia. Semenjak tragedi pulang sekolah di lapangan itu, dia menjadi tertutup. Aku pun segan menyapa, takut melukai perasaannya. Bahkan kini dia lebih sering berada di luar rumah. Apalagi sejak Pakde memarahinya habis-habisan saat lebaran tahun lalu memergoki dia mencoba memakai kerudungku. Rumah kami semakin sepi kehilangan tawanya. Setahun sudah dia tidak tampak di sekolah.

“Ini untuk bayar uang bulanan sekolah,” celetuk seorang lelaki yang sangat kukenal suaranya. Aku mendongak, memastikan bahwa itu suara dia. Bukan. Di depanku menjulang tinggi sosok badut teletubis.

“Ambillah!” kata Si Badut. “Sisanya berikan pada Ibu.” Si Badut berbicara padaku! Waktu seolah terhenti. Dunia mendadak sunyi. Otakku terjeda mengolah pemikiran.

“Maju, dong!” seru orang-orang di belakangku. Gulungan uang kertas dari Si Badut kugenggam erat. Kuputuskan keluar dari antrean. Antara percaya tak percaya kulangkahkan kaki menyusul si Badut ke sisi loket.

Bulan ini ibu kehilangan beberapa pelanggan tetap cuci baju. Pemasukan berkurang. Uang untuk membayar kontrakan rumah belum terkumpul.

“Tunggu!” Dia berhenti melangkah.

Dia berbalik ke arahku, mengambil sesuatu dari saku baju badutnya, “Selamat ulang tahun.”

Gulali berbentuk kupu-kupu. Kutatap wajahnya, menerka apakah dia tersenyum di balik kostum badut itu. Entah aku harus bahagia atau histeris. Setidaknya aku tahu keadaannya baik-baik saja. Dan … Ibu tak perlu cemas diusir dari kontrakan.

Aku ingin memeluknya sekaligus menghujani ribuan pertanyaan. Namun kalah cepat dengan serbuan bocah-bocah mungil yang meminta foto dengannya.

***

Gulali berikutnya kembali pahit.

Di tengah kondisi keuangan ibu yang kembang kempis, aku berhasil menyelesaikan kuliah. Mengambil kelas karyawan. Sehari-hari aku membantu usaha penatu milik ibu. Hingga suatu hari salah satu pelanggan ibu mengenalkanku dengan anaknya. Kami berencana menikah sebulan setelah perkenalan itu.

Acara pernikahan kami berlangsung sederhana. Hanya mengundang sanak saudara. Suasana keakraban menyambut keluarga besan mendadak sunyi. Dia di ambang pintu menenteng tas kertas warna warni. Rambut sebahunya dikuncir, wajahnya lebih bersih dari terakhir bertemu dulu. Aku terpaku di ruang tamu.

“Walinya tidak jadi penghulu, ya?” Pak Penghulu menyadarkanku. Kasak kusuk terdengar di ruang tamu. Dia duduk di depan penghulu, berhadapan dengan calon suamiku. Tangannya terulur, tapi menggantung beberapa detik. Dia menatap calon suamiku, wajahnya memucat. Pandanganku beralih ke calon suami. Mereka mematung.

Begitu selesai akad nikah, dia menghampiriku, menyerahkan tas kertas. Lalu buru-buru memasukkan tangannya ke kantong saku celana. Mataku sempat menangkap warna cat kuku yang masih menempel. Mungkin dia tergesa membersihkannya sebelum ke sini.

“Kau mencintainya?” tanyanya. Aku mengangguk. Kubuka sedikit tas kertas, aneka gulali terlihat cantik di dalamnya. Dia tidak berkata-kata, beranjak pergi bahkan sebelum menyalami ibu maupun kerabat lainnya.

Dia tak pernah datang ke rumahku.

“Aku tidak ridho dia menginjak rumah ini.” Aku sadar kenapa kalimat tajam itu terlontar dari suamiku.

Dia berbeda, dia menjijikkan, dia patut mendapatkan perlakukan seperti itu. Tetap saja hatiku sakit menyadari orang-orang menyudutkannya. Ibuku malu mengakui dia sebagai anaknya. Keluarga besar dikomandani Pakde telah mencoret namanya dari daftar tamu acara-acara kami.

Selang tiga tahun kemudian, dia datang padaku. Sebungkus gulali berbentuk kupu-kupu tergantung di setang motorku. Tak kujumpai sosoknya di ruang pengadilan. Hari ini permohonan perceraianku dikabulkan. Aku tahu dia bersembunyi di antara pepohonan halaman gedung pengadilan, atau di balik bangku-bangku, atau … di manapun itu, aku tahu dia ada untukku.

***

Pagi ini dia menjemput Adam. Mengenakan kemeja lengan pendek dan celana selutut. Kumis dan cambangnya dibiarkan tumbuh.

“Assalamualaikum, Adam. Sudah hapal PR dari gurumu?” Dia menyapa ramah. Ada yang berbeda. Suaranya … terdengar lebih maskulin.

“Hapalan apa?” selidikku.

“Kemarin pas menjemputnya di sekolah, aku tak sengaja mendengar pesan gurunya. Hapalan … laa yukallifullaahu nafsan illaa wus ‘ahaa.” Dia menurunkan tas besar dari pundak.

Sebelum sempat kulontarkan pertanyaan, dia berkta, “Adam butuh contoh bagaimana menjadi seorang lelaki sesungguhnya. Tidak keberatan kalau aku tinggal di sini, ‘kan?”

Aku tak sanggup menyahutnya. Tenggorokanku terasa kering. Sosok di depanku kembali menjelma menjadi kembaranku yang tangkas menyelesaikan masalah. Dia tetap pintar.

“Waktu akad nikahku, kenapa wajahmu pucat berjumpa dengannya?” kulontarkan pertanyaan yang sudah lama mengganggu.

“Lupakan saja.”

“Aku butuh penjelasan.”

“Kau akan menangis.”

“Air mataku sudah habis untuknya.”

“Dia … langgananku di salon. Memijat kepalanya dan perbuatan menjijikkan lainnya.” Dia menatapku.

“Kau tidak memperingatkanku?” Seberapa besar usahaku menahan air mata, tetap saja cairan itu bergulir di pipi. Bukan untuk mantan suami, tapi untuk dia.

“Kau mencintainya. Apa yang bisa kulakukan di hadapan wanita jatuh cinta?”

***

Gulali termanis akhirnya kucecap juga. Kami kembali menikmati gulali berdua.

“Tak semua lelaki sebejat bapaknya Adam, Elvi.” Aku tersentak mendengarnya menyebut Elvi. Nama yang sekian lama tidak kudengar.

“Kapan kau kenalkan Ani-mu, Roma?”

Kami tergelak. Gelak tawa yang puluhan tahun hilang di antara kami. Dulu, bila ibu marah, maka nama kami diganti menjadi Elvi dan Roma. Nama itu tidak lagi disebut ketika suatu malam Bapak pulang dalam keadaan mabuk, esoknya mati. Bapak penggemar berat Elvi Sukaesih dan Rhoma Irama dengan lagu mereka, Gulali.

“Aku beruntung memiliki saudara sepertimu. Banyak sekali pengorbanan yang telah kau lakukan untukku.” Mataku kembali memanas. Rasanya ucapan terima kasih saja tak cukup untuknya. Perjuangannya menjadi lelaki kembali tentu butuh usaha keras. Demi Adam, katanya.

“Itu belum cukup dibandingkan apa yang kau berikan padaku.” Lagi-lagi aku terkejut. Apa yang sudah kulakukan?

“Kau menggendongku sambil berteriak meminta tolong sepanjang jalan. Aku mendengar suaramu tapi tak punya tenaga membuka mulut. Kenapa tak kau biarkan aku mati saat itu?”

Peristiwa itu kembali berputar di kepalaku. Aku sudah menghapusnya dari semua lembaran memori. Bahkan telah kuganti sesuai keinginan.

“Bukannya lari seperti perintahku, kau malah berbalik. Berusaha menarik tanganku. Lalu mereka memaksamu melihat semua kengerian itu. Aku … berharap saat itu mati akan lebih baik. Malamnya kau tak berhenti menangis, memelukku. Bagaimana bisa aku membalas semua kebaikanmu?”

“Kau tak pulang semalaman. Paginya baru kulihat sandalmu.” Kumainkan lidi penyangga gulali.

“Terimalah kenyataan itu. Kau berlari ke puskesmas, menggendongku, berteriak seperti orang gila. Lalu semalaman menungguiku. Paginya kau baru pulang ke rumah, merendam baju-bajuku.”

Aku tak sanggup mendengarnya lagi. Kubiarkan tangannya memeluk pundakku. Aku tersedu di dadanya. Dia tetap saudaraku. Selamanya.

“Laa yukallifullaahu nafsan illaa wus’ahaa. Lahaa ma kasabat wa ‘alaihaa maktasabat.”

Adam mendekati kami. Sisa gulali belepotan di mulutnya.

“Sini hapalan sama Pakde,” ujarku dengan suara bergetar.[]


15 COMMENTS

    • Maa Syaa Allah, gemuruh di dada membaca ini dengan seksama dan sesekali mengernyitkan dahi, sebab berusaha mencerna alurnya. Selebihnya speclees karena kagum dg cerita nya

  1. Cerita yang amat menyentuh. Awalnya gak paham siapa Adam, lalu bertanya2 siapakah nama tokoh aku dan dia, yang hingga akhir cerita tetap dirahasiakan kecuali panggilan Elvi dan Roma. Perlu dua kali membaca untuk memahami cerita secara utuh. Good job buat penulisnya. Keren.

  2. Setengah baca, kurang ngerti. Lari lagi keatas sampai setengah belum ngerti juga. Dibaca lagi akhirnya tenggorokanku tercekat. Nyesek…
    Masya Allah Tabarokalloh Teh 💛💛

  3. MasyaAllah.. bagus sekali, bagaimana bisa membuat konflik begitu dalam dan sangat menyentuh seperti ini.. keren menetes air mata 😭

  4. Berapa kali baca cerpen ini ya? lupa. yang jelas berkali-kali. Dan selalu penuh haru membacanya. Buaguss sekali

  5. Membaca percakapan nya agak mikir, krn bingung. Tapi di akhir menjadi paham siapa aku, dia, suami si aku, dan Adam.

    Merasakan dari percakapan (kalimat dalam tanda kutip) yg dibuat, alur kisah nya mengalir cepat.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here