Simfoni Bunga Rumput 21

0
96

Separuh berlari Kin diikuti Tika memasuki rumah sakit milik pemerintah itu. Menyusuri lorong-lorong panjang, sampai akhirnya sampai di ruang tempat Mas Danu dirawat. Sebuah ruang kelas satu, yang seluruh biaya pengobatannya akan diganti oleh asuransi yang dibayar Unmaja selaku pemberi kerja Mas Danu. Di ruang tersebut, selain Mas Danu, ada juga sosok pria sebaya Mas Danu yang sejak tadi menjaga kakaknya. Bang Edo, tetangga mereka.

“Bang Edo nggak kerja?” tanya Kin.

“Kebetulan gue pas ambil cuti, Kin. Tadinya mau ngecat rumah. Tapi, kondisi genting begini. Tadi ada Bang Jupri juga, cuma Bang Jupri izin ke bengkel.”

“Maaf ya, Bang, sudah merepotkan Bang Edo dan teman-teman yang lain. Tadi jalan macet banget, jadi sampai sini udah agak siang,” kata Kin.

“Nggak papa, Kin … sebagai tetangga, kita memang kudu saling bantu membantu, kan? Dulu pas gue operasi di rumah sakit, juga abangmu Danu yang ngurusin semuanya kok. Hitung-hitung balas budi.”

Bukannya girang melihat kedatangan adik semata wayangnya, Danu malah tampak jengkel. “Siapa preman-preman itu?” tanya mas Danu, dengan muka masam. Kondisi lelaki yang sebentar lagi berusia 30 tahun itu tampak mengenaskan. Kepalanya dibalut akibat bocor dipukul benda tumpul. Wajahnya lebam-lebam, sementara tangan kanannya disangga oleh bidak, fraktur, dan harus dioperasi. Bang Edo yang mengantar Mas Danu mengatakan pada Kinanthi, bahwa mas Danu sempat masuk IGD sekitar dua jam, lalu dipindahkan ke bangsal sambil menunggu jadwal masuk ruang operasi.

“Mereka mencari kamu, untung kamu tidak ada di rumah. Mereka bilang, gara-gara kamu, teman mereka dipenjara.”

“Teman mereka? Maksudnya apakah ….”

Robert! Yang barusan ditangkap polisi adalah Robert. Jadi mas Danu dikeroyok oleh para anggota gerombolan pengedar narkoba itu, alias teman-teman Robert? Dan, yang sebenarnya menjadi sasaran adalah… dirinya. Kin menggigit, tak tega melihat kondisi sang kakak, sekaligus terterpa sebaris was-was. Rasa nyeri dari tubuh sang kakak, seperti berpindah ke tubuhnya.

“Siapa mereka?” tanya Mas Danu lagi.

“Robert. Itu teman-teman Robert, yang mengeroyok Mas.”

“Hm … yang pernah kau ceritakan tempo hari itu? Teman Liza?”

“Iya, Mas.”

“Tenang, tadi anaknya Bu Anah sempat memotret dan memvideo beberapa pelaku sebelum mereka kabur,” terang Bang Edo. “Kita bisa mengusut semua ini, melaporkan ke polisi.”

“Tidak usah! Nggak usah memperpanjang perkara,” ujar Bang Danu, dengan suara lemah. “Kin, sejak dulu kan aku sudah bilang,” ujar mas Danu lagi sambil terus menahan sakit, “kamu nggak usah neko-neko tinggal di Jakarta ini. Banyak orang-orang yang lebih kejam dari binatang. Tugas kamu cuma belajar, cepat lulus dan segera cari beasiswa untuk program magister dan doktor, kalau perlu ke luar negeri. Tapi kamu memang rese. Aktif disana-sini, gaul sama orang yang nggak jelas … begini ini jadinya.”

Kin tertunduk.

“Kemarin aku dinasihati panjang lebar sama Bapak dan Ibu pas di kampung, aku harus menjaga kamu baik-baik. Tetapi kapan sih, kamu mau nurut sama aku?”

“Kin minta maaf, mas ….”

“Maaf sih maaf…, tapi mulai sekarang, kamu nggak boleh rese lagi. Ini Jakarta … Jakarta itu ganas. Sedang kamu cewek. Coba kalau preman itu ketemu kamu, mungkin kamu sudah diperkosa.”

“Mas, ngomongnya kok jadi kasar…,” protes Kin.

“Habis, kamu dihalusin juga nggak mempan!”

Hampir setengah jam mas Danu menceramahi Kin dan tidak diberi kesempatan, dan memang tidak mencari kesempatan untuk menyela. Sampai Tika yang sejak tadi mematung mendadak memotong pembicaraan.

“Maaf, Pak Danu, saya kira Kinanthi tidak salah. Dia sudah melakukan yang benar. Jakarta memang keras, tetapi tidak harus dibiarkan terus bengkok, terlebih jika kita memiliki kesempatan untuk memperbaiki.”

Danu menoleh ke Tika. Tetapi tampaknya dia sudah kehabisan tenaga untuk membalas. Pria itu pun terdiam, bersandar ke bagian belakang bed yang disetel sekitar 45 derajat.

“Anda dosen ilmu hukum, kita semua belajar hukum, kita tentu tahu, bahwa hukum harus ditegakkan. Ketika preman-preman itu mencoba merusak sistem hukum dengan membuat kekacauan, yang kita lakukan bukan diam saja. Tetapi melawan,” lanjut Tika.

“Ketika mereka menggunakan kekerasan, dan kita adalah orang lemah, kita tak bisa melakukan apa-apa,” bisik Mas Danu. Tampak pasrah.

“Kita bisa melakukan banyak hal, salah satunya melaporkan kejadian ini kepada yang berwajib!” Tika masih bersikeras. “Tadi Bang ini ….” Tika menoleh ke Bang Edo.

“Edo, nama saya Edo, Neng.”

“Baik, Bang Edo. Saya Tika.”

“Salam kenal, Neng Tika.”

“Tadi Bang Edo kan sempat bilang, bahwa ada yang telah memotret dan memvideo para pelaku penganiayaan. Kita bisa mulai dari situ.”

“Dan apakah kamu yakin, bahwa keadilan akan didapatkan?” Danu menghela napas panjang.

“Jika itu tidak bisa kita lakukan, bubarkan saja fakultas hukum di seluruh Indonesia, bahkan dunia.”

Danu membisu. Kin menepuk bahu Tika. “Tik, sudahlah … biarkan Mas Danu beristirahat dulu. Yuk, kita keluar bentar, cari minum di kantin, aku haus sekali. Maaf Bang Edo, kami tinggal dulu sebentar, ya….”

Tika tak menjawab. Namun dia menurut ketika Kin membawanya keluar. Hanya saja, saat mereka berada di kantin, Tika kembali meledak. “Aku kecewa banget sama pemikiran Pak Danu. Aku kira, dia seorang ahli hukum yang hebat. Ternyata ….”

“Sst, kamu tahu, Mas Danu babak belur dan sangat kesakitan. Kondisi psikologisnya sedang sangat tertekan. Wajar saja tidak bisa berpikir logis.”

“Aku pernah begitu, Kin. Saat SMA, aku dikeroyok anak-anak STM, aku hampir remuk dan harus operasi karena beberapa tulangku patah. Tapi aku nggak nyerah, setelah sembuh, aku kejar mereka sampai masuk bui.”

“Serius, Tik?” Kin menatap Tika yang tampak feminim dan ayu. Dari penampilannya yang smart dan sangat ‘cewek’, siapa sangka bahwa dia …?

“Aku dulu kecowok-cowokan, Kin,” bisik Tika, sambil meminum jusnya. “Banyak yang mengira aku cowok. Aku sendiri pun sering mengidentifikasi diri sebagai cowok. Aku hanya pakai rok kalau sekolah, karena harus berseragam.”

“Ya, kamu udah pernah cerita.”

“Baru setelah aku menyadari bahwa aku berbeda dengan yang lain, aku mencoba mengubah diri. Yah, seperti yang kamu lihat saat ini.” Tika tertunduk.

“Lanjutkan ceritamu tadi, Tik.”

“Saat itu, ada anak SD diganggu cowok-cowok berengsek itu, di-bully, dipalak. Aku mencoba membela anak SD itu, tapi anak-anak STM itu justru mengeroyokku.”

“Wah … serius? Terus?”

“Ya gitu deh, aku benjut. Aku sebenarnya belajar bela diri sejak kecil. Tapi, melawan sepuluh cowok, dengan tenaga yang benar-benar maskulin, apa dayaku? Aku tentu saja babak belur. Untung nggak jadi bubur. Tiga bulan, malah hampir empat bulan, aku nggak masuk sekolah karena bodiku harus direparasi,” Tika tertawa lepas. Kin ikut senyum mendengar diksi Tika yang agak ajaib. “Tapi aku nggak nyerah. Setelah sembuh, aku kejar mereka. Aku kumpulkan bukti-bukti. Dan mereka akhirnya bisa diseret ke bui, seperti ceritaku tadi. Tapi, memang sih, mereka dibui bukan sekadar karena penganiayaan yang mereka lakukan kepadaku. Mereka melanjutkan kejahatan mereka memalak anak-anak. Saat itu, aku adukan mereka ke polisi.”

Kinanthi termenung.

“Jadi, aku terus terang agak schook melihat Pak Danu, kakakmu itu, yang doktor hukum, ikonnya Fakultas Hukum, dosen teladan dan advokat … hm, aku sudah sering searching profil Pak Danu, karena aslinya aku cukup ngefans dengan beliau, yang belum tiga puluh tapi sudah doktor, justru terlihat ngelokro seperti itu.”

“Jadi, apa yang saran kamu, Tik?”

“Lawan, dong! Jika preman-preman itu tidak dihentikan, mereka akan terus melakukan kekerasan.”

“Bagaimana cara melawan mereka?”

“Aku akan memberi tahu kamu caranya. Dan bukan hanya memberi tahu, aku akan membantumu menyeret preman-preman itu.”

“Tik … jangan nekad!”

“Kin, aku sebenarnya kenal Robert. Dulu Robert pernah berurusan denganku saat masih kuliah. Dia kakak kelas jauhku saat masih kuliah di Bandung. Cuma dia di-DO karena kasus Narkoba. Dan aku punya teman-teman yang akan membantumu menyelesaikan masalah ini.”

“Siapa?”

“Orang-orang yang kamu pandang sebelah mata dan hanya kriminal belaka.”

“Maksud kamu?”

“Kak Andra dan teman-temannya.”

Kinanti benar-benar terpana. “Kenapa dengan mereka?”

“Mereka sudah biasa berurusan dengan preman. Kak Andra punya jaringan para advokat hebat. Yang benar-benar mau membela orang-orang lemah seperti kita.”

“Benarkah?”

“Aku nggak bergurau dalam hal ini. Kak Andra dan teman-temannya pernah mendampingi orang satu kompleks yang direbut tanahnya oleh pengembang, dan selain menghadapi pengembang jahat dan para advokat rakus, mereka juga berhadapan dengan para preman bayaran.”

“Tik … aku pikir ….”

“Dan … kamu jangan berpikir bahwa masalah ini udah selesai. Mereka nggak akan berhenti sebelum menemukan sebab utama dari tertangkapnya Robert.”

“Aku?”

“Kamu, dan Liza tentunya. Kalian dalam bahaya.”

Kepala Kinanthi berdenyut-denyut kencang.

BERSAMBUNG KE BAGIAN 22


LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here