Ratih memandangi Arlin, seniornya di kampus sekaligus kakak tingkatnya. Aktivitas Arlin yang sedang menghafal ayat-ayat suci Al-Qur’an tak luput dari pengamatannya. Suaranya merdu syahdu mengisi kamar kecil tempat mereka indekos. Sesekali suaranya berhenti, berganti isak tangis.
Kak Arlin -begitu Ratih memanggilnya- selalu terlihat begitu meresapi setiap ayat suci yang dibacanya. Ratih juga seringkali terbangun di tengah malam karena mendengar suara tangis kakak tingkatnya itu. Wanita berhijab lebar itu selalu melewati malam hingga pagi dengan bermunajat pada Allah.
Ratih, seperti teman-temannya yang lain sangat mengagumi Kak Arlin. Sejak pertama menjadi mahasiswa dan sekamar dengan wanita berhijab itu, dia selalu ingin menjadi sepertinya. Arlin yang baik hati. Arlin yang selalu mendapat nilai terbaik. Arlin yang ulet bekerja paruh waktu untuk membiayainya kuliahnya sendiri. Akhlaknya yang baik dan wajahnya yang cantik adalah padanan sempurna dari wanita solehah yang patut diteladani.
Tak hanya oleh wanita, Arlin juga disukai para ikhwan. Beberapa lelaki sudah meminta ta’aruf, bahkan mengkhitbahnya, tetapi wanita cantik itu selalu menolak.
Arlin menghentikan bacaannya saat menyadari dirinya diperhatikan. Dia menatap Ratih sambil tersenyum. Saat menyadari mata teman sekamarnya itu berkaca-kaca, Arlin menutup mushaf yang dipegangnya.
Dengan lembut dihampiri teman sekamarnya itu. “Ada apa, Dek?”
Ratih tak menjawab pertanyaan itu. Dia justru langsung menghambur ke pelukan Arlin dan menangis tersedu.
Arlin menarik napas panjang. Dia balas memeluk dan mengusap punggung gadis yang berusia tiga tahun di bawahnya itu.
Butuh waktu sekitar sepuluh menit sampai akhirnya Ratih tenang dan menghentikan tangisnya. Arlin mengambil air putih dan menyodorkannya kepada Ratih.
“Katakan, ada apa.” Arlin duduk di hadapan Ratih, terus mengusap lembut tangan adik kelasnya itu, seakan berusaha memberikan kekuatan.
“Kak, aku kotor, aku sangat kotor,” isak Ratih kembali terdengar.
“Bersihkan dengan istighfar,” ucap Arlin lembut.
“Aku pendosa,” lirih suara Ratih terdengar.
“Maka bertobat,” ucap Arlin lagi.
“Kak, hari ini aku bertemu lagi dengan Arman. Ketika dia melihatku, matanya seperti meremehkan. Dia menatap jilbab dan pakaian dengan pandangan mencela. Bahkan dia sempat berkata ‘pakaian tidak akan menutupi dosa’.” Ratih berbicara sambil terus terisak.
Arlin menarik napas panjang. Ratih beberapa kali menceritakan kisahnya bersama Arman -mantan pacarnya-. Ratih sejak awal masuk kuliah ingin sekali berhijab, tetapi selalu ragu. Gadis yang tahun ini genap berusia sembilan belas tahun itu selalu menganggap dirinya tak pantas. Bahkan, hingga kini dia mulai belajar menutup aurat, hatinya tetap meragu.
Kisah masa lalunya bersama Arman adalah alasan terbesar yang membuat dia ragu. Ratih kerap bercerita ketika berpacaran banyak hal berdosa yang dia lakukan bersama Arman. Hingga puncaknya, Arman meminta pengorbanan berupa kesucian. Ratih menolak. Hingga akhirnya, lelaki itu memutuskan hubungan mereka.
Berhari-hari setelah itu, Ratih merasa limbung. Dia kemudian memilih kuliah di kota Yogyakarta, jauh dari kota asalnya, demi menjauh dari Arman.
“Pakaian yang kamu kenakan adalah pakaian taat, tidak ada hubungannya dengan dosa masa lalu.” Arlin menggenggam erat tangan adik tingkatnya itu.
“Tetapi aku sudah banyak melakukan hal berdosa, Kak. Arman bahkan mengatakan aku munafik. Aku mungkin memang tak pantas berpakaian seperti ini. Aku pendosa.” Ratih terus menangis.
“Allah Maha Pengampun. Jangan berkata seperti itu,” bujuk Arlin sambil kembali memeluk adik tingkatnya itu
Ratih melepaskan pelukan. “Lihatlah diri Kakak! Sejak dahulu, pergaulan dan pakaian Kakak terjaga. Semua orang di kampus selalu membicarakan Kakak sebagai sosok yang solehah, wanita yang sempurna. Kakak tidak akan mengerti apa yang aku rasakan.” Ratih membalikkan tubuhnya dan terisak dibalik bantal.
Arlin memejamkan matanya mendengar kata-kata Ratih. Tubuhnya bergetar. Ketika membuka mata, dia merasakan kepalanya sangat berat. Dia bahkan butuh berpegang ke dinding untuk dapat berjalan kembali ke kursinya. Ingatan menariknya kembali ke masa beberapa tahun silam.
“Anak durhaka! Jangan pernah kembali ke rumah ini lagi!”
“Pembunuh!”
Umpatan-umpatan itu kembali bergaung di telinganya. Arlin berusaha menutup telinganya dengan kedua tangannya, akan tetapi kini di depan matanya terpampang jelas gambaran masa lalunya.
Bayangan di matanya sangat jelas, bagaikan dia menonton sebuah film. Arlin melihat seorang gadis belasan tahun berwajah cantik dan berkulit putih berpakaian seksi sedang mengisap narkoba. Gadis itu tak peduli tangisan pilu ibunya, saat uang untuk berobat dicurinya. Dia juga tak peduli tamparan ayah dan kakaknya ketika satu persatu barang di rumah dia jual. Gadis itu adalah Arlin di masa lalu.
Arlin menutup matanya erat. Berusaha mengenyahkan semua bayangan tersebut. Kepalanya terasa semakin berat.
Namun, bayangan ibunya terbujur kaku menyelusup ke dalam ruang di pikirannya. Bujukan ibunya agar dia bertobat, tak pernah dihiraukan. Bahkan semakin hari, dia semakin liar. Demi mendapatkan barang haram itu, Arlin rela melakukan apa saja.
Ibunya tak mampu menahan beban pikiran atas kelakuan anak perempuannya. Perlahan tetapi pasti, kesehatan wanita tua itu menurun. Hingga puncaknya, saat surat rumah dicuri dan digadai, wanita tua itu kalah oleh serangan jantung.
“Pembunuh!”
“Anak durhaka!”
“Pergi!”
Teriakan-teriakan itu menggema ketika Arlin ingin melihat ibunya untuk terakhir kali. Jasad yang terbujur kaku itu tak bisa dia sentuh. Melihat jasad dari kejauhan seakan menampar alam sadarnya. Setelah sekian lama pikirannya terjerat barang haram, Arlin tersadar. Dia bagai bangun dari tidur panjang.
Saat itu, dia berlari sejauh mungkin, meraung memohon ampun. Meraung meminta ibunya kembali dan memaafkannya.
Pikiran sehatnya memandu untuk menjauh dari tempatnya tinggal saat itu. Berbekal pakaian seadanya dan lembaran ijazah yang diam-diam diambilnya dari rumah, Arlin pergi.
Ditempuh perjalanan jauh. Dilalui hari-hari berat karena sakau, sendirian. Dia ingin sembuh. Dia ingin tobat. Dia ingin ibunya mau memaafkannya. Hal itu yang membuatnya kuat dan semakin kuat. Wanita itu terus berusaha membersihkan dirinya.
Arlin menata hidupnya dari awal kembali. Dicarinya pekerjaan apa saja, yang terpenting halal. Dia pun mendaftar kuliah, demi mewujudkan harapan ibunya dahulu.
“Bukan, bukan kamu yang pendosa, Ratih. Akulah yang pendosa,” lirih Arlin sebelum akhirnya ambruk ke lantai.
Ratih menjerit histeris melihat Arlin pingsan. Dia berteriak memanggil teman-temannya. Penghuni indekos berusaha menyadarkan Arlin, tetapi gagal. Akhirnya mereka memutuskan membawanya ke rumah sakit.
***
Ratih memandang ruangan serba putih tempatnya berada. Nanar dia menatap wajah cantik yang matanya masih saja terpejam. Jarum infus tertancap di tangan kiri wanita itu.
Ratih menggenggam erat tangan kanan Arlin. Dia sangat khawatir. Tak hanya dia, teman-teman kampus sejak tadi bergantian datang. Terlalu banyak yang menyayangi wanita hebat yang saat ini terbujur lemah di ranjang putih
Saat ini, Ratih dan teman-temannya baru menyadari bahwa Arlin hidup sendiri. Dia tak memiliki keluarga yang bisa dihubungi.
Ratih hampir memejamkan mata, ketika merasakan getaran pada tangan yang digenggamnya. Dia segera memencet bel yang ada di atas ranjang.
“Ratih, aku ingin salat,” lirih Arlin meminta begitu membuka mata.
“Tunggu sebentar, dokter akan memeriksa kakak dulu,” bujuk Ratih.
Arlin mengangguk. Dokter dan perawat tiba dengan cepat. Mereka dengan sigap memeriksa kondisi Arlin.
“Kondisi Nona Arlin sudah stabil. Kita akan tunggu hasil laboratorium untuk memastikan.” Dokter meninggalkan ruangan setelah selesai memeriksa.
“Ratih, aku mau salat,” pinta Arlin sekali lagi.
“Duduk di kasur saja ya, Kak?” bujuk Ratih yang dijawab dengan gelengan oleh Arlin.
“Aku rindu menghadap Allah. Biarkan aku salat seperti biasa,” lirih wanita berhijab itu memohon.
Arlin menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Kemudian dia berusaha turun dari ranjang. Ratih segera membantunya. Percuma membujuk, kakak tingkatnya itu pasti bersikeras.
Tertatih Arlin menuju kamar mandi dan berwudu. Ratih dengan gelisah menunggu. Begitu wajah pucat muncul di muka pintu, Ratih mengembuskan napas lega.
Arlin meminta Ratih menggelarkan sajadah. Dia sendiri menurunkan botol infus ke cantolan tengah. Ratih berusaha membujuk agar Arlin salat dengan duduk, tetapi wanita itu teguh dengan pendiriannya.
Arlin menatap lembut Ratih. “Kamu anggun dengan pakaian taatmu, Sayang. Jangan pedulikan yang lain, selama niatmu adalah Lillahitaala.”
Ratih duduk terpaku di kursinya. Menunggu Arlin larut dalam salatnya. Isakan kecil terdengar dalam salat tersebut, membuat Ratih menerka apa yang membuat kakak tingkatnya seperti itu.
Rakaat terakhir, Arlin bersujud lama, seperti kebiasaannya selama ini. Akan tetapi, kali ini Ratih merasa waktunya terlalu lama. Gadis itu merasa gelisah.
Diputuskan untuk menyentuh bahu wanita yang selama ini menjadi panutannya itu. Tak ada gerakan. Ratih tiba-tiba mencium bau wangi menyeruak di ruangan tersebut. Hatinya tersentak. Dia mendorong sedikit tubuh Arlin yang sedang bersujud. Tubuh itu rebah. Ratih menangis histeris, membuat perawat berlari menghampiri.
“Innalilahi wa innailaihi rojiun,” ucap dokter setelah memeriksa kondisi Arlin.
***
Bidadari surga itu sudah pergi, setelah mendapatkan hal yang paling diharapkannya, yaitu maaf dari keluarga.
“Terima kasih, kami akan menguburkan Arlin tepat di sebelah makam ibunya.” Seorang lelaki yang mengaku sebagai kakak Arlin membawa jenazah bidadari surga itu.
Ratih mengangguk. Dia menyerahkan sebuah buku bersampul hitam kepada lelaki tersebut. Ratih menemukan alamat keluarga Arlin saat membaca buku harian wanita mulia tersebut.
Bu Mita…. Kereen..
.masya Alloh…. Banyak diambil hikmahnya…
Terima kasih, Bu Ari