Kinanti masih berpikir keras tentang teka-teki seputar Ayu ketika sosok Tika tiba-tiba datang menemuinya di ruang Badan Eksekutif Mahasiswa pagi itu.
“Ehem!” suara deheman itu menggantikan salam dari Tika. Lamunan Kin buyar oleh suara yang cukup keras itu.
“Sepertinya, topik tentang Ayu, Clarissa, Tracy, Angel dan Liza selalu menjadi kisah yang seru, sehingga kamu begitu bersemangat men-support mereka. Mengorbankan waktumu yang sebenarnya mahal karena kamu mahasiswa teladan yang supersibuk. Aktivis BEM, asisten dosen, duta kampus, mahasiswa teladan. Sepenting apa sih mereka bagimu?”
Kin menatap raut wajah di depannya itu. Raut wajah yang dingin. Pilihan kata ‘kamu’ yang digunakan Tika terasa kurang santun, tetapi sekilas serasa ingin memutus formalitas. Kin tidak berkeberatan dipanggil ‘kamu’, di saat teman-teman Tika satu angkatannya, yang berjarak 2 tingkat, dengan hormat memanggilnya ‘kaka’.
“Tetapi, mengapa hanya mereka yang kamu anggap penting? Mengapa aku tidak? Apakah masalah yang menimpaku kamu anggap enteng belaka?” kini sorot mata yang tadinya dingin berubah tegas. Gadis itu berjalan pelan, menyeret kursi, lalu duduk di depan meja Kin.
“Eh, Tika… kamu kenapa? Nggak kuliah?”
Ruang BEM pagi itu sangat sepi. Maklum saja, ini jam-jam kuliah. Mungkin hanya Kin yang pagi itu tidak ada jadwal kuliah. Sebagian besar mahasiswa angkatannya mengulang mata kuliah yang diampu Profesor Barata itu, termasuk Zaky dan Icha. Sebenarnya mereka juga lulus, tetapi nilai B jelas tidak membuat mereka puas, sehingga mereka pun mengulang. Syukur-syukur bisa naik. Di Unmaja, jika ada mahasiswa mengulang, sistem yang diterapkan adalah nilai terbaik yang diambil sebagai hasil akhir. Kin dulu berhasil mendapatkan nilai A, dan bahkan menjadi mahasiswa kesayangan sang profesor.
Kuliah Profesor Barata ini harusnya diikuti pula mahasiswa semester satu. Maka, kehadiran Tika membuat Kin merasa heran. Berani sekali dia membolos mata kuliah dosen yang terkenal sangat disiplin itu, tanpa alasan yang dianggap masuk akal.
“Nggak, aku mau ketemu kamu, Kin.”
Kin menelan ludah, gadis ini tidak memanggilnya ‘Kak’.
“Sorry ya Kin, aku panggil kamu tanpa embel-embel kakak. Aku lihat biodatamu, kita lahir di tahun yang sama.”
“Oh, ya?”
“Aku dua tahun kuliah di tempat lain, trus gak kerasan. Lalu pindah kesini. Padahal aku kuliah di kampus negeri lho.”
“Eh, aku baru tahu, kamu nggak pernah cerita selama ini?”
“Aku kuliah di Bandung, tahu nggak, apa jurusannya?”
Kin menggeleng.
“Teknik mesin. Aku sendirian cewek, di antara seratusan mahasiswa.”
“Wih!”
“Makanya aku nggak betah, dan pindah ke sini.”
Kampus negeri di Bandung, teknik mesin. Pantas Tika tampak sangat menonjol dari segi akademis. Sebagai asisten Profesor Barata, tentu Kin tahu bagaimana kondisi akademis para mahasiswa yang ikut kelas sang profesor.
“Padahal sebentar lagi kamu akan lulus dan jadi sarjana teknik, ya? Apa nggak sayang, tuh?” tanya Kin lagi.
“Aku … aku kudu cerita apa, ya? Ah ntar juga kamu tahu, alasan mengapa aku meninggalkan kuliahku yang sangat maskulin itu. Tapi, kurasa kamu sudah bisa menebak juga apa alasanku kabur dari kampusku yang dulu, kan?”
Tika duduk berhadap-hadapan dengan Kin. Benar, tanpa harus bercerita alasan sebenarnya pun, Kin sudah bisa menebaknya. Kata Tracy, Tika mengaku punya kelainan … dia seorang … ah, rasanya terlalu berat untuk diungkapkan.
“Kamu sama sekali nggak ada potongan sebagai mahasiswa teknik mesin, lho?”
“Juga potongan sebagai gadis lesbi?” tembak Tika.
Kin gelagapan. “Serius, Tik… kamu terlihat feminim lho, kamu anggun … kamu .…”
“Nggak usah menghiburku.” Gadis itu tersenyum kecut. “Aku kesini sebenarnya justru mau menggugatmu.”
“Eh, aku salah apa sama kamu?”
“Terus terang saja, aku merasa telah kau abaikan. Aku sama-sama anggota kelompokmu, tetapi kenapa aku tak pernah kamu ajak bicara? Kamu malah seperti menghindariku. Tahu nggak, itu bikin aku sakit hati, tahu! Kamu takut padaku karena aku nggak normal?”
“Tik, maksudmu….”
“Aku ingin menuntut keadilan!”
“What?”
“Mungkin aneh. Aku sendiri sebenarnya enggan untuk melontarkan hal ini. Tetapi aku tak tahan… aku sadar bahwa aku sebenarnya butuh bicara dengan orang lain. Dan orang itu adalah kamu. Aku telah salah dengan memberi kepercayaan kepada Tracy, si mulut ember itu.”
“Kau punya masalah apa?” tanya Kin akhirnya, lembut. Pura-pura tak tahu apa yang terjadi pada gadis itu.
Tika tertawa sinis. “Aku sebenarnya nggak yakin bahwa kamu tidak tahu tidak tahu apa-apa tentang aku. Aku tahu, Tracy telah bicara panjang lebar sama kamu. Ia pasti telah bercerita tentang siapa aku sebenarnya. Dia memang ember!”
Kin terdiam. Berpikir. Namun tak lama karena Tika tiba-tiba menyorongkan wajahnya, mendekat ke arah Kin.
“Katakan, jika ada seorang ayah yang bersikeras memiliki anak laki-laki tetapi tidak kesampaian dan sebagai pelampiasannya, ia mendidik anak perempuannya untuk menjadi seperti dambaannya, maka siapa sebenarnya yang salah? Ayah tersebut, atau anak perempuan itu?”
Kin tergagap. “Maksudmu?”
Ia tertawa pahit. “Anak perempuan yang malang. Jika ia tahu, bahwa apa yang terpaksa ia lakukan itu, akan membuat tersingkir dari peradaban kaum yang normal, tentu ia akan melempar semua mobil-mobilannya untuk ia ganti dengan boneka barbie. Ia akan bakar semua celana panjang dan kaos oblongnya dan meminta sang mama untuk mengisi almari dengan rok atau gaun ala Cinderella. Tetapi sayangnya, si anak malang itu tidak mengerti apa-apa. Ketika waktu beranjak dan ia mulai dewasa, maka ia mendapati bahwa kehidupan sungguh telah memperlakukannya dengan tidak adil. Tetapi itu sudah sebuah kesadaran yang sangat terlambat. Ia tak mungkin memutar sejarah hanya untuk memperbaiki masa silamnya, bukan?”
“Anak perempuan itu adalah….”
“Tak usah menebak-nebak,” tukas Tika. “Tracy tentu sudah nyerocos padamu. Dia adalah aku!”
“Tik… oke, kamu benar. Tracy sudah bercerita. Tapi aku belum sepenuhnya percaya, sampai kamu bicara sendiri kali ini.”
“Dan kamu kemudian menganjurkan dia untuk menjauhiku, kan? Kamu juga meminta teman-teman yang lain untuk menghindariku?”
“Kamu salah sangka!”
“Apa kamu kira seorang lesbi bisa sembarang jatuh cinta dengan sesama perempuan?”
“Sabar, Tik, sabar… calm down. Aku yakin, kamu masih bisa sembuh, jika….”
“Jika apa? Aku mencoba jatuh cinta pada lelaki, mendekati mereka, pacaran sama mereka… tetapi apa hasilnya? Aku justru semakin benci kepada mereka. Aku memang sakit! Aku lesbi! Huh!”
“Kamu mengobati sakitmu dengan cara yang salah.”
“Kamu menghakimiku?” tuduh Tika. “Sama seperti yang dilakukan semua orang. Mereka menjadikanku pesakitan, tanpa mau memahami mengapa aku bisa seperti ini, dan apa usaha yang telah aku lakukan agar tidak menjadi seperti ini.”
Tika menelungkupkan wajah di atas meja di depannya.
“Tidak sepenuhnya benar.”
“Kau sama saja dengan orang-orang yang tahu siapa aku sebenarnya. Selalu memberondong dengan peluru bernama norma. Tetapi itu salahku sendiri. Semestinya, aku yang tidak terlalu memperdulikan segenap tetek bengek peluru bernama norma dengan membuat aku kebal terhadap hantamannya. Semestinya aku lebih PD dengan diriku, lantas dengan segenap kesadaran penuh menampakkan kelesbianku dan berharap bisa mencintai seorang gadis yang juga mencintaiku, seperti apa yang dilakukan oleh beberapa teman-teman lesbiku. Tetapi, aku tidak bisa! Aku terlalu goblok dengan menjadikan norma sebagai batasan. Dan buktinya, Tracy menolak mentah-mentah menjadi pacarku.”
Kin menggigit bibir. Mencoba tetap bersikap tenang, meski sejatinya dia sudah mulai panik dan bingung. Harus bersikap semacam apa menghadapi kondisi semacam ini?
“Tik, apa yang tengah coba kamu pegang, yakni norma itu, tidak salah! Hanya saja, kau mungkin belum akrab dan sepenuhnya yakin dengan norma yang ingin kamu coba pegang itu. Buktinya kau melarikan diri dengan mencoba dekat dengan satu lelaki ke lelaki lainnya. Kau mencairkan salju dengan memasukkan potongan-potongan es ke nyala api yang sedang membara. Salju itu akan mencair, tetapi kemudian berubah menjadi uap. Sama saja.”
“O, ya?” dengus gadis itu. “Lalu, apa yang mesti aku lakukan? Ini semua bukan kesalahanku, kan?”
“Semua orang akan diuji oleh Allah SWT. Biasanya, ujian datang dari titik terlemahnya. Ujianmu saat ini adalah orientasi seksualmu yang tidak normal, Tik. Ketika kamu menganggap bahwa ini sebuah kesalahan, itu sudah tepat. Sekarang, sejauh mana tekadmu untuk bisa sabar menjalani ujian itu dan berhasil lulus dengan sempurna.”
“Aku tak tahu harus bagaimana lagi, Kin. Serius, aku sangat bingung!”
“Aku punya teman seorang psikolog. Aku berjanji, akan mendampingimu berobat, hingga kau sembuh… dan bisa kembali menjadi normal,” ujar Kin seraya menatap Tika, suaranya melembut. Selama ini dia memang salah. Apa yang dituduhkan Tika benar. Dia memang takut dan menjauh. Tetapi, kini Kin telah mulai menyadarinya, dan berusaha untuk mengoreksi sikapnya.
“Psikolog, hm … aku sudah beberapa kali mencoba mendatangi psikolog, dan kamu tahu, apa saran mereka?”
Kin menggeleng.
“Aku disuruh menerima keadaanku. Bagi mereka LGBT bukanlah sebuah dosa. Itu normal saja.”
Kin menghela napas panjang. “Tak semua psikolog begitu. Aku akan mengajakmu ke psikolog yang aku yakin akan mampu membimbingmu ke jalan yang kamu yakini kebenarannya itu.”
“Kin, aku tak yakin bahwa aku akan sembuh. Tetapi, yang jelas, aku yakin kamu serius dengan ucapanmu.”
Tika meraih tangan Kin, menggenggamnya erat. “Kin, maukah kamu jadi sahabatku? Aku tahu, kamu orang baik. Jangan takut padaku. Aku tak jatuh cinta kepadamu sebagaimana perasaanku pada Tracy. Tenanglah. Tetapi aku sepertinya bisa menyayangimu, sebagai seorang sahabat.”
Apa kamu kira seorang lesbi bisa sembarang jatuh cinta dengan sesama perempuan. Hm, masuk akal juga!
Kin meyambut uluran tangan Tika, membalas genggamannya, tak kalah erat. “Jika kamu anggap aku layak kamu jadikan sahabat, tentu aku tak akan menolak.”
“Makasih ya, Kin….”
Mereka saling bertatapan, lalu tersenyum.
“Jangan takut, aku tak akan jatuh cinta padamu, Kin … meski kamu layak dicintai. Aku nggak akan bersaing dengan Zaky untuk mendapatkanmu.”
“Huzz! Maksudnya, gimana nih? Justru katamu tadi, kamu akan berusaha akan sembuh.”
“Ya, aku akan berusaha. Tapi, kalau aku sembuh, aku pun tidak akan bersaing denganmu untuk mendapatkan Zaky.”
Tika tertawa. Tampaknya dia sudah mulai lebih rileks saat ini.
“Ah, kamu ada-ada saja.” Ingat Zaky, dada Kin berdebar.
Namun debarannya tak lama, karena HP Kin mendadak berdering.
“Hallo…, Neng Kin! Mas Danu dikeroyok preman. Tubuhnya babak belur, sekarang di rumah sakit Islam ruang….”
Innalillahi! Kin terpana.
“Mas Danu … di rumah sakit?”
“Benar, kondisinya cukup parah.”
“Saya segera kesana!” ujar Kin setengah berteriak saking paniknya. Cepat ia berdiri, menyambar tas gendongnya. Namun tangan Tika menahannya.
“Aku antar kau. Kebetulan aku bawa mobil,” ujarnya. “Biar cepat!”
“Aku juga bawa motor,” kata Kin.
Tika menunduk sedih. “Maaf, sebelum ini, aku benar-benar marah sama kamu. Jadi … ban sepeda motor kamu aku gembesin! Maaf, aku terlalu emosional. Aku marah karena aku merasa, kamu tidak adil kepadaku!”
Kin tertegun sesaat, lalu menghela napas panjang.
“Baiklah!” ujarnya akhirnya. Tak ada waktu untuk mengekspresikan kemarahan, meski hanya sekadar tampang kesal. “Aku ikut mobil kamu!”
Tika mendadak ingin bersorak, meski di sisi lain, ada seberkas rasa sakit menyergap gencar. Siapa yang tahu selain dirinya dan Tuhan yang diatas, bahwa ia tidak pernah jatuh cinta kepada gadis model bernama Tracy itu. Ia justru memendam rasa kepada gadis berkerudung yang sederhana itu, yakni Kinanti, kakak kelasnya. Ia merasa sangat cemburu karena Tracy selalu berdekatan dengan gadis idamannya itu akhir-akhir ini. Puncak kemarahannya meledak tadi pagi, saat memasuki ruang kelas dan melihat teman-temannya, Tracy, Angel dan Liza menceritakan keakrabannya dengan Kin sedemikian atraktif. Dia cemburu. Dia merasa diabaikan. Lalu, dengan emosi meledak-ledak, Tika keluar kelas, bolos kuliah, membocorkan ban motor Kin, dan melabraknya.
Tika malu dengan sikapnnya.
Kini, ia mendapat kesempatan untuk berdekatan dengan gadis itu. Namun, dia sudah berjanji, untuk tidak bermain-main hati dengan Kin. Dia tak ingin menyakiti hati Kin karena melanggar janji itu. Dia akan memendam perasaannya itu dalam-dalam.
Ya Tuhan! Bantu aku untuk sembuh …, bisik Tika, lara. Aku ingin sembuh, ya Tuhan …. Pertama, sebelum yang lain, berikan aku keyakinan bahwa aku bisa sembuh, kata Tika lagi, dalam hati.