“Aku yakin, kamu tahu di mana Tika berada!”
Tracy terdiam sesaat mendengar ucapan tegas Kinanti barusan. Namun sepasang matanya yang berputar-putar jengah, membuat Kin semakin yakin dengan dugaannya. Tracy dan Tika telah bersekutu. Persekutuan yang membuat semua orang direpotkan, geram Kin. Jika dugaannya benar, ia akan memberi hukuman seberat-beratnya kepada mereka. Kata orang, sabar ada batasnya, kali ini dia merasakannya. Rasa dongkol telah sedemikian mengkristal, membatu, dan memecahkan keyakinan yang dulu pernah begitu lama dia pegang: bahwa sabar itu seharusnya tidak berbatas, sebab pahalanya pun tak terbatas.
“Tracy…, please! Kamu tahu, kehilangan Tika ini telah membuat semua orang panik, semua orang bingung, dan acara menjadi kacau-balau. Apa itu yang kalian mau? Keterlaluan sekali jika kalian ternyata melakukan hal ini sebagai bentuk kesengajaan,” sentak Kinanti, tajam, bahkan galak.
Icha dan Gagah yang belum bisa menangkap maksud Kinanti saling pandang, bingung. Ledakan amarah Kinanthi juga terasa baru buat mereka. Selama ini, mereka jarang sekali—atau bahkan tak pernah melihat Kin semarah itu.
“M…mak… maksud Kakak apa, sih?” tanya Tracy, gugup.
“Aku yakin, kamu menyembunyikan sesuatu. Sekarang, demi kepentingan banyak orang, kamu harus jujur. Kau pasti tahu, di mana Tika berada, kan?!”
Gagah mengerutkan kening melihat cara Kin menginterogasi Tracy. Namun dia memilih untuk tetap diam.
“Bagaimana mungkin?” Tracy menggigit bibirnya. “Aku….”
“Kata Angel, kalian selalu berdua. Tidak mungkin kan, kalau kamu nggak tahu bagaimana hilangnya Tika?”
“Aku… aku… aku benar-benar nggak sadar kalau Tika sudah nggak ada di belakang aku!”
“Belakang? Kau bohong! Kata Angel, posisi kamu selama perjalanan jurit malam bukan di depan Tika, tetapi di belakangnya. Masa kamu nggak sadar kalau Tika tiba-tiba hilang?”
“Aku….”
“Please, Tracy! Kamu harus ngomong, di mana Tika berada?”
Tracy benar-benar terlihat gugup. Namun setelah didesak oleh Kinanti, akhirnya sebuah kalimat pun terucap juga.
“Tika… ada di dekat danau!”
“Apa?” tanya Gagah, kaget. “Danau?”
Panitia benar-benar telah dikecoh. Mereka mengira Tika berada di tempat yang cukup jauh dari lokasi. Ternyata… bah! Hanya beberapa meter dari lokasi tenda. Pantas tidak ada yang bisa menemukan keberadaannya.
Namun Kinanti tak mau berlama-lama dalam kebingungan. Segera ditariknya lengan Tracy.
“Tunjukkan, di mana Tika berada!”
“I… iya!”
Sekitar lima menit mereka berjalan, akhirnya mereka sampai di sebuah tempat di tepi danau. Cahaya bulan separuh yang keluar di tengah malam, membiaskan warna-warni yang begitu memesona. Suasana yang romantis… yang sangat mungkin dimanfaatkan oleh orang-orang yang tak peduli dengan makna sebuah kehormatan.
Di gundukan batu, mereka melihat dengan jelas, sesosok tubuh yang tengah duduk santai. Tak sendiri, karena ada sesosok tubuh yang lain di sampingnya, berangkulan. Mereka tampak tengah asyik ngobrol, yang sesekali diselingi dengan tawa cekikikan.
“Tika?” desis Kin.
“Dan… Andra!” Suara Gagah menyimpan kemarahan.
* * *
“Brengsek!” geram Gagah. “Mereka benar-benar telah mempermainkan kita.”
“Semua orang dibuat panik, ternyata dia malah tengah mojok,” sinis Icha, benar-benar jengkel. “Dasar tak tahu diri! Amoral!”
“Hei… kalian sedang ngapain di situ?!” bentak Gagah sambil menyorotkan senter besar dengan nyala terang benderangnya. Wajah sepasang manusia yang tengah berduaan di tempat sepi itu terlihat dengan jelas, tampak gugup dan malu.
“Hei, apa-apaan sih, ini!” sentak Andra, mencoba menyembunyikan gugupnya. “Jadi orang yang sopan dikit dong, wajah orang disorot-sorot gini! Gue Andra!”
“Andra, aku akan usulkan agar kamu dipecat dari kepanitiaan!” desis Gagah, tak sanggup menyembunyikan kemarahannya.
“Apa maksud kamu?” Andra mencoba berkelit. “Kami kan cuma sedang ngobrol di sini, nggak ngapa-ngapain, kok.”
“Tak usah banyak bicara! Tika, ikut kami pulang! Tingkah gila kamu telah merugikan banyak orang, tahu!”
Tika yang kebingungan bangkit pelahan, namun Andra menahannya.
“Tik, jangan mau dikacangin sama senior nggak mutu kayak gitu!”
“Tika, pulang!” bentak Gagah lagi.
“Emang Lo apanya Tika, heh? Berani nyuruh-nyuruh!” Andra berkacak pinggang.
Kinanti yang melihat sikap Andra, mau tidak mau geregetan juga.
“Bung, Tika adalah peserta Pomaru. Kami yang bertanggung jawab terhadap dia. Bertanggung jawab terhadap kampus, terhadap BEM, juga terhadap orang tua Tika. Kamu nggak usah mengacaukan suasana, deh!” ujarnya, sebal. “Tika, ayo balik ke tenda!”
Andra berkacak pinggang, menendang-nendang kerikil di depannya hingga meloncat masuk ke danau sesaat, lalu mendengus.
“Oke, makan tuh Tika!” ujarnya seraya ngeloyor pergi.
Tanpa bersuara Tika beranjak. Ketika melihat Tracy, ia berdiri sejenak, lalu melengos. Tracy tampak merasa sangat bersalah.
“Sorry, Tik… gue…!”
“Penghianat!” desis Tika, marah.
“Tik… gue…!”
“Sudah!” potong Gagah. “Kalian semua lebih baik diam! Ayo, semua jalan!”
“Pokoknya gue mau bikin perhitungan sama Lo, Tracy! Dasar penghianat!” ujar Tika lagi.
“Diam!” bentak Gagah, sambil menarik jaket Tika. “Lo ini yang trouble maker, tahu!”
Dalam keremangan, Kinanti melihat Tika mendelik ke arah Gagah.
“Awas Lo, jelek!” maki Tika.
Mendadak Kin merasa kepalanya berputar, sangat pusing. Kelompok yang ia dampingi ini, benar-benar penuh masalah!
* * *
Ingin baca novel ini secara lengkap? Silakan klik NOVEL SIMFONI BUNGA RUMPUT
Matahari telah mulai menampakkan cahayanya yang kemerahan dari balik lazuardi. Suasana pagi yang ceria sebenarnya, namun Kinanti tak mampu menikmatinya dengan sempurna. Ia masih belum mampu menstabilkan emosi yang bergejolak sejak kemarin. Setelah shalat subuh dan tilawah Quran beberapa lembar, hatinya memang terasa sejuk, tetapi belum cukup untuk menerbangkan debu-debu amarah yang mengotori jiwanya.
“Banyak-banyak istighfar, Kin…,” ujarnya pada diri sendiri seraya menatap matahari merah yang berbentuk bulat seperti tomat itu.
Liza masih terbaring lemah, Clarissa dan Angel mengikuti senam pagi di lapangan bersama Bastian dan Romeo yang sangat senang mencipta gerakan-gerakan konyol. Maklum, mereka adalah koreografer yang cukup profesional dan sudah lama malang melintang di dunia entertainment. Beberapa kali terdengar suara tawa bergemuruh dari para peserta dan panitia yang campur baur. Ketegangan akibat peristiwa semalam rupanya sudah mulai mencari.
Sedangkan Tracy dan Tika, mereka mulai menjalani hukumannya, yakni membersihkan kebun di belakang rumah Pak Asep yang mulai ditumbuhi rumput liar. Kinanti mengawasi dari kejauhan kegiatan kedua adik binaannya tersebut.
Rasa kantuk menyergap gencar, diaduk-aduk rasa lungkrah yang sangat, membuat Kinanti memilih untuk menyandarkan tubuh ke gundukan batu di tepi danau. Hangat sinar matahari mengusir pelan-pelan hawa dingin yang mencekamnya sejak semalam, membuat mata semakin terasa berat. Ia pun memejamkan mata, membiarkan jiwanya sesaat melayang dalam alam mimpi.
Namun hanya lima menit, ya… lima menit, karena keributan di kebun sayur pak Asep itu dengan sadis membangunkannya.
“Brengsek, kugampar mulut Lo baru tahu rasa, ya?”
“Tik, Lo mestinya mau ngerti gue… gue nggak bermaksud ngianatin Lo, kok! Tetapi karena….”
“Karena mulut kamu ini ember, maka kamu ngadu ke panitia, gitu kan?”
“Tik… kalau kamu terus menerus mencecar gue, gue bisa marah, lho! Emang cuma Lo yang berhak marah. Gue juga berhak. Sangat berhak malahan! Apalagi, peristiwa semalam itu bukan kesalahan gue.”
“Silahkan aja marah! Lo memang ember!”
“Diam!”
Bertengkar lagi, bertengkar lagi. Ugh! Kinanti menggigit bibirnya, menahan kesal yang seakan ingin membuncah menjadi gundukan gunung api emosi yang siap meledak. Ia menarik napas panjang, lalu mengemposkan kuat-kuat, mencoba mengatur ritme detak jantung yang seakan telah bertambah cepat itu. Lalu ia bangkit, berjalan gontai menuju ke arah kebun sayur pak Asep.
“Tracy, Tika! Sini!”
Mereka terdiam, saling pandang, namun kemudian saling melengos.
“Sini!” seru Kinanti, lelah dan marah. “Aku pengin bicara sama kalian!”
Tanpa semangat mereka mendekat.
“Duduk di sini!”
Mereka menurut dengan mengambil tempatnya masing-masing. Sesaat Kinanti membiarkan mereka tetap mematung, duduk mencakung menatap permukaan danau yang beriak pelahan ditimpa angin pagi.
“Sekarang, kalian bertengkarlah sepuasnya. Biar aku mendengarkannya disini. Tenang, aku cuma mau mendengarkan saja kok, nggak akan mencampuri urusan kalian!”
Tika mengangkat sepasang tangannya, memijit-mijit keningnya, lalu menyisiri rambutnya dengan kesepuluh jemarinya. Sepasang matanya terpicing, lalu mendesah berkali-kali.
“Gue cuma ngerasa marah sama Tracy,” ujarnya akhirnya. “Marah banget! Gue sudah menganggap Tracy sebagai sobat gue, tetapi dia….”
“Tetapi Tik, gue kan nggak sengaja!” Tracy membela diri. “Gue udah mencoba menutup-nutupi, tetapi….”
“Tracy benar, Tik!” tukas Kinanti. “Aku yang mendesak Tracy buat ngasih tahu, di mana kamu. Terus terang, aku merasa curiga, bahwa kamu ini tidak benar-benar hilang. Tetapi masalahnya kan sebenarnya bukan itu. Jika pun kalian ini bersahabat dan Tracy berhasil tutup mulut, aku katakan bahwa persahabatan kalian ini bukan persahabatan yang sejati. Tak ada seorang sahabat yang akan membiarkan sahabatnya terjerumus ke dalam kesalahan.”
“Salah? Gue salah apa?” celetuk Tika. “Gue coba ngobrol sama Andra, gak making love, apalagi ….”
“Kamu salah karena kamu telah melanggar aturan, kau membuat cemas semua orang, itu artinya kamu sudah merugikan orang lain. Dan yang terpenting, kamu sudah melakukan hal yang bertentangan dengan agama.”
“Agama?” Tika tertawa sinis. “Gue nggak melakukan apa-apa. Gue cuma ngobrol sama Andra, dan itu pun… Andra yang minta, dan bukannya gue.”
“Kamu muslimah, kan Tik? Seorang muslim, kita tidak boleh berdua-duaan di tempat yang sepi dengan lawan jenis yang bukan mahram. Jika dua orang berlainan jenis yang bukan mahrom berdua-duaan di tempat sepi, yang ketiganya adalah syetan. Mestinya kita bisa lebih berhati-hati menjaga diri, jangan sampai kita terperosok ke dalam zina. Zina itu termasuk dosa besar yang sangat dilaknat Allah. Kalian tahu itu, kan? Maaf, aku bukannya sok suci, tetapi….”
“Gue nggak mungkin terlibat sampai ke zina segala!” potong Tika, cepat. “Gue bisa jaga diri, kok!”
“Syukur kalau begitu,” desah Kinanti. “Tetapi, sekuat-kuatnya seorang manusia, yang namanya syetan itu sangat pandai menemukan celah lemah untuk dimasuki. So, kita harus pintar-pintar menjaga diri. Harga diri seorang wanita itu, terletak pada bagaimana kita membawa diri kita sendiri. Bagaimana kita menjaga agar harga diri itu tetap mahal.”
“Jadi, kamu menganggap aku ini wanita murahan, begitu? Hei, Kak! Gue ini wanita baik-baik, bukan perek kayak Ayu.”
“Maaf, Tik…,” Kin menelan ludah. “Aku tidak bermaksud begitu.”
“Sama saja!” teriak Tika yang tiba-tiba berubah kalap. “Apa karena gue suka gonta-ganti cowok, terus dipandang sebagai cewek murahan?”
“Tik…,” Kin meraih tangan Tika, menggenggamnya erat. “Maaf, suer… aku nggak bermaksud seperti itu. Aku cuma….”
Kinanti mendadak menghentikan ucapannya, begitu melihat tatapan Tika mendadak terasa begitu aneh. Sangat aneh.
CATATAN PENULIS
Novel “Simfoni Bunga Rumput” ditulis pada tahun 2005 dan pernah terbit sebagai buku di FBA Press. Penayangan di website ini setelah melewati proses rewrite dengan penambahan bab-bab baru. Karena ditulis tahun 2005, setting novel ini tentu sangat berbeda dengan Jakarta saat ini. Ingin baca novel ini secara lengkap? Silakan klik NOVEL SIMFONI BUNGA RUMPUT