Feodalisme Tak Punya Masa Depan, Tinggalkan!

3
72

Feodalisme memang sudah lama hilang. Revolusi Perancis yang sadis, menenggelamkan peran raja dan ratu Dinasti Bourbon yang berkuasa sejak abad ke-13. Gunting guillotine mengakhiri kehidupan Louis XVI dan istrinya, Marie Antoinette. Monarki Inggris terpaksa tunduk pada tuntutan pembatasan kekuasaan oleh konstitusi. Imperium Austria Hongaria, Jerman, dan Rusia sudah tinggal nama di catatan sejarah, dengan segala sejarah cemerlang dan kelamnya.

Uniknya, meski mata air feodalisme lesap, karakter feodalisme ternyata tak malap. Deandles, gubernur jendral Hindia Belanda yang pro Perancis (saat itu Belanda di bawah kekuasaan Perancis), membawa semangat revolusi Perancis ke nusantara. Tetapi setelah berkuasa, dia lebih diktator dari para raja-raja di benuanya.

Meski di Eropa berkembang ide-ide liberté, égalité, fraternité (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan), toh di tanah jajahan, mereka menerapkan sebaliknya. Terdapat pembagian kelas-kelas sosial yang justru melanggengkan feodalisme. Strata-strata sosial dipertahankan sebagai sebuah gengsi yang membanggakan, sekaligus menginjak-injak marwah para pribumi.

Feodalisme Tak Punya Masa Depan

Tanpa sadar, budaya kolonialisme yang merepresentasikan tuan dan rakyat jelata telah menyatu,  setidaknya hingga saat ini. Namun saya yakin, feodalisme tak lagi memiliki masa depan. Bahkan saat ini pun, mulai tampak kelongsoran ide-ide stratifikasi sosial yang bersifat vertikal. Sekarang, menjadi horizontal adalah sebuah keharusan.

Kok harus? Ya, harus!

Saat ini, kita memasuki era laksana dunia antah berantah. Kita memasuki ruang masa serba entah. Orang pintar menyebutkan: disrupsi. Bak pohon, kita dicabut dari tanahnya, dan dipindah ke tempat lain. Tanpa kemampuan adaptasi dengan lingkungan dan tradisi baru, pohon itu bisa mati. Perubahan ini terjadi karena adanya perubahan besar-besaran yang kita kenal sebagai revolusi industri 4.0.

Perkembangan teknologi sudah sedemikian majunya, sehingga segala sesuatu sudah tak lagi sekadar otomatis, tetapi juga ada mekanisme pertukaran data dan kecerdasan buatan yang membuat benda-benda mati berubah menjadi “pintar”. Ada pabrik pintar, kota pintar, perpustakaan pintar, dan sebagainnya. Kepintaran itu muncul karena feedback, dan ciri khas dari feedback adalah kesetaaraan.

Sebagai contoh, Gojek bisa jadi merupakan salah satu unicorn (perusahaan dengan modal mencapai USD 1 milyar). Namun, Gojek dan customer adalah setara. Feedback positif akan mengangkat bisnis Gojek, sedangkan feedback buruk akan dengan cepat menghancurkannya.

Beberapa dekade yang lalu, brand raksasa tak akan khawatir jika ada beberapa customer kecewa. Saat ini, sedikit arogansi saja, bisa memicu hashtag buruk yang menjadi trending topic di dunia maya, dan bisa menghancurkan citranya.

Selain mempengaruhi berbagai sektor kehidupan, perubahan teknologi tersebut, menurut Hermawan Kertajaya (2010), ternyata memunculkan satu tuntutan tersendiri pada manusia agar tetap eksis. Ya, manusia masa kini harus semakin horizontal, inklusif dan sosial. Hal ini disebabkan karena di era ini, semua serba terkoneksi. Zaman dulu, orang memiliki kredo, mangan ora mangan asal kumpul. Saat ini berganti dengan mangan ora mangan asal connect. Konektivitas merupakan kebutuhan sekaligus gaya hidup manusia masa kini.

Bahkan, masih menurut Hermawan Kertajaya, sekadar connect saja tidak cukup, tetapi harus well connected, lalu naik lagi menjadi deep connected dan derajat tertinggi adalah strong connected. Tujuannya, agar kita semakin horizontal, semakin sosial dan semakin inklusif.

Maka, di era sekarang ini, para manajer, direksi, bos, pimpinan dan sebagainya, seyogyanya tidak lagi menerapkan komunikasi searah, top down, alih-alih feodalisme bahkan diktaktorisme. Feodalisme sudah kehilangan kesaktian di era ini. Generasi milenial dan post milenial tumbuh dengan semangat connect yang menuntut keguyuban, sikap persahabatan dan kesetaraan. Disiplin memang tetap ada, tetapi tumbuh bukan karena punishment, melainkan karena adanya perasaan sadar, bertanggung jawab dan kecintaan terhadap bidang yang ditekuni.

Bertransformasilah segera untuk menjadi lebih “merakyat”. Jauhi gaya-gaya feodalisme dalam menjalankan kepemimpinan Anda. Duduk bersama anak buah, diskusi tanpa menunjukkan senioritas, dan ter-connect secara alamiah tanpa topeng “jaim”, justru akan membuat interaksi menjadi lebih humanis.

Jangan khawatir, jika kita memang memiliki kapasitas kepemimpinan yang baik, maka kita akan tetap dihormati oleh anak buah. Sebab, dalam sebuah tim, keberadaan pemimpin adalah sebuah kebutuhan yang akan dirasakan siapapun dalam tim tersebut. Buktinya, tanpa ada ikatan formal pun, seringkali di sebuah kelompok, pasti ada satu yang dianggap berkharisma dan menjadi leader alami, bahkan meski tak ada yang mengangkatnya.

Selamat tinggal feodalisme, selamat datang kesetaraan!

3 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here