Ayuning dan Impiannya

3
101

“Keluargamu itu miskin jadi tidak perlu untuk kuliah dan pergi ke kota!”

Begitu yang disampaikan oleh keluarga Ayuning. Bayangkan betapa hancurnya perasaan Ayuning pada saat mendengar perkataan dari keluarganya. Keluarga yang seharusnya mendukung tetapi malah menjadi orang yang meremahkan dan menghina dirinya.

“Ayuning ini apa nggak punya perasaan!” umpat sepupu Ayuning, sepupu dari pihak ibu yang tidak mendukung keputusan dan keinginan Ayuning.

“Miskin kok nggak sadar diri!” Dan berbagai umpatan lainnya. Selama ini di keluarga Ayuning sendiri,  kakak-kakaknya tidak ada yang melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Apalagi Ayuning anak gadis. Yang menurut pandangan keluarga besarnya, tidak perlu untuk melanjutkan sekolah sampai keperguruan tinggi. Apalagi wanita ujung-ujungnya, paling menjadi ibu rumah tangga, berbakti kepada suaminya.

Dulu saat masih kecil Ayuning memang menjalani kehidupan yang penuh perjuangan, ibunya yang merupakan single parent, tak banyak hal yang bisa ia lakukan untuk Pendidikan putra-putrinya. Bisa makan sehari-hari saja sudah merupakan karunia yang sangat besar.

Ibu Ayuning yang sedari tadi mendengar umpatan dan hinaan itu hanya bisa menunduk, terlihat pertahanannya mulai melemah, dadanya terguncang dan bulir-bulir air mata terlihat di wajah teduhnya.

Ayuning ingin berontak tapi bagaimana? Dia tidak mungkin melawan keluarga besarnya. Yang bisa dia lakukannya hanya mendengar dengan seksama.

“Nak, kalau kamu benar-benar ingin kuliah, maka kuatlah dan jangan dengarkan perkataan kakak sepupumu.” Nasihat bunda kepada Ayuning agar tekadnya tak luntur.

“Ya, Bu…” Jawab Ayuning, dalam hati ia bertekad untuk belajar dengan sungguh-sungguh untuk membanggakan orang tuanya dan membuktikan kepada keluarga besarnya. Bahwa niat yang baik pasti Allah akan mudahkan dalam prosesnya.

Ayuning bersikukuh untuk melanjutkan impiannya itu, karena dorongan dari guru-gurunya saat di SMP. Karena Ayuning cukup dekat dengan mereka. Dan merekalah yang melihat kelebihan Ayuning dan meyakinkah bahwa untuk urusan biaya hidup selama kuliah insyaAllah pasti ada jalan keluarnya. Belum lagi pengaruh mimpi-mimpi yang selalu datang ketika Ayuning tidur, ia sering kali bermimpi seolah-olah mendapat isyarat untuk melanjutkan pendidikannya. Dalam mimpi itu Ayuning melihat dirinya  bisa terbang dan berjalan di atas tengah lautan.  

Dan puncaknya Ayuning bermimpi tiga malam berturut-turut didatangi oleh laki-laki paruh baya yang memakai baju warna putih, di malam pertama laki-laki itu bertanya bagaimana bacaan salat Ayuning, dimalam kedua laki-laki yang sama hadir menanyakan bacaan Ayuning saat mengaji. Di malam ketiganya ia datang Kembali dan membimbing Ayuning untuk mengikuti bacaan Qur’annya lalu Ayuning pun mengikutinya. Dan di pagi harinya, Ayuning bertanya kepada tentangganya yang berprofesi sebagai salah satu ustadz di kampung terkait mimpinya itu. “InsyaAllah itu adalah mimpi yang mengandung arti kebaikan.” Ucap sang ustadz

Karena kejadian mimpi yang berturut-turut itu, Ayuning pun menceritakan kepada ibunya  dan kembali menguatkan ibunya bahwa insyaAllah mimpi itu adalah pertanda kebaikan dalam keputusan Ayuning menggapai impiannya.

Beberapa hari kemudian Ayuning dan ibunya kembali berdiskusi, “Nak, ibu tak bisa memberikan uang yang banyak.” Ucap ibunya. Sembari mengeluarkan beberapa uang kertas yang berwarna merah dari dompet kecil yang ia sering bawa kemana-mana.

Ayuning menyadari ia tidak bisa berharap banyak dari ibunya, cincin yang selama ini ada di jari manisnya, harus ia relakan untuk  bekal merantau dan menggapai mimpinya.

Desiran angin, alunan riuh ombak menari-nari menemani perjalanannya untuk menggapai impian. Di atas kapal ia merenung dan membesarkan hatinya. Mulai hari ini aku akan menjadi sekuat karang, sekokoh pohon bambu, dan sekuat pohon kurma.

Tak terasa Ayuning pun sudah tiba di pelabuhan. Setelah melewati perjalanan laut selama dua belas jam lamanya. Ayuning pun mengucap banyak syukur dan pujian kepada Pemilik Alam Semesta. Yang kalau bukan karena-Nya, pastilah perjalanannya seorang diri itu akan membuatnya kehilangan nyali.

Saat sedang duduk, telponnya tiba-tiba berdering. Terdengar dari kejauhan suara paruh baya yang tak lain adalah sepupu dari pihak ibunya. Suara parah baya menyampaikan kekhawatiran dan sikap penolakan atas tindakan Ayuning yang terbilang nekat untuk kuliah.

Ayuning pun berusaha mendengarkan dengan baik dan berusaha tetap tenang, meski ia sudah menyadari ke mana percakapan itu mengarah. Namun ia harus berjuang dan menguatkan kesabarannya. Karena bagaimanapun, orang yang sedang berbicara dengannya adalah orang yang disegani di keluarga besarnya. Dan termasuk sesepuh yang pendapat dan keputusannya harus dipatuhi.

Keluarga besar Ayuning memang tergolong mewarisi darah biru dari pihak nenek dan kakeknya.  Neneknya merupakan Raden dari keturunan Joko Tole, sedangkan kakeknya merupakan bangsawan para Daeng dari kota Makasar. Dulu keluarga besarnya merupakan orang yang sangat terpandang di kampung.

Sesekali Ayuning terpaksa harus menjawab dan meluruskan sangka buruk, yang tertuju padanya. Namun lagi-lagi karena Ayuning dirasa masih kecil dan tidak banyak pengalaman  dalam hidupnya. Apalagi kehidupan yang keras di kota akan membuat semuanya jauh lebih sulit, dibandingkan hidup di desa. Alasan-alasan yang diutarakan Ayuning pun tidak menjadi berarti.

Makian laki-laki paruh baya itu tak bisa lagi dibendung Ayuning. Ia tak bisa lagi menahan panas di dada yang semakin bergejolak, “segala kesulitan dalam kehidupan ini, pasti ada jalan keluar yang Allah siapkan. Apalagi jika niat mulia menuntut ilmu ingin dekat dan mengenal sang pencipta lebih jauh lagi!” seru Ayuning

Tapi bukannya melunak suara dari kejauhan itu semakin menjadi-jadi dan tidak terkontrol, “Doa orang sepertimu tidak akan dikabulkan Allah, doa yang dikabulkan itu doanya para wali Allah! Kamu itu bukan dari keturunan orang yang baik-baik, jika kamu kehabisan uang bisa jadi kamu jual diri” Ucap laki-laki paruh baya itu, sembari menutup telponnya.

Ayuning yang sedari tadi menahan sesak didadanya, kini pun pertahanannya pecah. Tubuhnya gemetar, dadanya bergemuruh dan buliran air bening mulai membasahi pipinya. Memang, sudah hampir 20 tahun ia tidak pernah tahu bagaimana wajah laki-laki yang merupakan Ayah kandungnya itu. Sejak lahir, bahkan sejak dalam kandungan, Ayuning hidup tanpa seorang ayah di sisinya. Dan Ayuning hanya tahu bahwa ibunya sering berkata bahwa ayah Ayuning orang baik, suka berbagi makanan, dan tidak sekalipun ia memukul ibu Ayuning.

Setiap kali Ayuning bertanya kepada ibu dan tantenya terkait keberadaan ayahnya, jawabannya selalu nihil dan Ayuning hanya diminta melupakan ayahnya itu.

Ayuning pun berkata dalam hatinya. Allah itu tidak sekejam itu, keadilan, kebiiaksanaan-Nya berlaku untuk seluruh manusia dan terkhusus umat Islam. Dan Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan seorang hamba yang ingin mendekat kepada-Nya. Nabi Ibrohim yang merupakan kekasih Allah, ayahnya adalah seorang seniman yang membuat berhala-berhala.  Maka Ayuning pun berusaha membesarkan hatinya bahwa ia pun, bisa menjadi orang yang baik dan menghamba kepada Allah dengan penghambaan yang baik.

Ayuning pun bertekad segala kesulitan dan rintangan yang dihadapinya selama proses merantau, keluarga besarnya tidak boleh sampai mengetahui hal itu. Karena ini adalah bagian dari konsekuensi pilihan hidupnya. Ia sadar bahwa sekarang ia sebatang kara, dan ia memilih menggantungkan semua duka dan laranya kepada Allah, karena kebaik-baik sandaran adalah Allah, pemilik kerajaan langit dan bumi.

Tak terasa hampir setahun Ayuning sudah menjalani masa perkuliahannya. Lingkungan yang baik dan lingkaran pertemanannya membuat ia merasa nyaman dan tenang, meskipun jauh dari orang-orang terdekatnya.

Tapi perbedaan daerah dan suku, terkadang membawa permasalahan tersendiri bagi Ayuning, karena hidup di kota Solo yang terkenal dengan halusnya pitutur dan lembah lembutnya sikap dengan pembawaan Ayuning yang orang timur, yang sangat berlawanan sekali.

Ayuning yang ceplas-ceplos dengan pembawaannya yang ceria, terkadang mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya. Tapi itu tak menjadi masalah yang berarti baginya, karena ia yakin lambat laun orang pun akan mengerti. Yang penting Ayuning tidak kehilangan keautentikannya. Karena kebaikan akan menemukan jalannya sendiri, yang penting tulus.

“Ayuning, untuk kebutuhan bulanan dan uang semestermu kakak yang tanggung!” Suara dari telpon itu terdengar begitu menentramkan. Dia pun mengiyakan dan sangat gembira sekali. Alhamdulillah kekhawatiran keluarga besar Ayuning pun tidak terjadi.

“Alhamdulillah rezeki Ayuning” ucap sepupu Ayuning yang dulu sempat meremehkan dirinya. Hal itu di utarakan oleh ibunya saat menelpon Ayuning.


3 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here