Gemuruh suara disertai riuh sorak-sorai atas kejayaan seorang pemimpin. Semua orang menyambut kemenangan dan kejayaannya. Bahkan gedung pun bergenderang menabuhkan diri merayakan kehebatannya, pohon meliuk, menarikan batang dan daunnya dengan gemulai. Seonggok kertas lusuh menangis beriba hati di sudut yang sangat gelap tempat ia disembunyikan, dicampakkan setelah saripatinya dihisap sedemikian rupa. Dipandangnya isinya berpindah raga pada sampul yang mengkilat. Sedangkan saat ini, ia hanya berada di dalam kardus yang lembab dan hampir dimakan rayap.
Tujuh hari tujuh malam ia diotak-atik oleh tangan yang berusaha menggerayanginya. Setiap huruf-huruf dalam tubuhnya mulai mempunyai raga barunya, meninggalkan ruh yang tuannya entah kemana. Huruf-huruf itu menjadi kata, kalimat, paragraf, dan semua lembaran itu telah berpindah rumah ke tempat yang lebih baru. Kertas lusuh dijilid kertas sampul biru dengan plastik berwarna biru dan pinggirnya lakban hitam, hanya menangis pilu. Seiring dengan berpindahnya tiap huruf disertai dengan irama tuts keyboard yang juga muak dengan ketamakan manusia yang menekannya tanpa malu.
Wanita bermuka kelam dengan kaca mata di atas hidungnya tertawa gembira. Matanya berbinar membayangkan dia akan bersalaman dengan menteri dan mungkin presiden di negeri ini nun jauh di istana negara, menyeberangi pulau membelah samudera meski dari udara.
“Kita akan jalan-jalan, tenang kau akan dibawa ke tempat yang menyenangkan dan dielu-elukan,“ kata wanita itu mengelus kumpulan kertas disampul biru dan lakban hitam.
Kertas dalam jilid sederhana itu kembali merintih dan berurai air mata. Ia berucap yang tidak terdengar. “Aku tidak ingin engkau, wanita hitam yang jadi tuanku. Aku karya perempuan cantik jauh di pulau sana, bahagia dengan suaminya. Aku ditinggalkannya untukmu hanya sekedar arsip untuk kenangan atas kepintarannya, nama baik lembagamu yang dibuatnya bersinar di tengah kota. Aku tidak sudi perempuan hitam jelek. Jangan paksa aku untuk menemanimu berjaya.”
Karya dalam kertas itu hanya sebuah arsip yang dapat dimanipulasi demi hawa nafsu sang penguasa, siapa lagi kalau bukan oleh wanita hitam dengan kaca mata di hidungnya, pemimpin sebuah lembaga. Abdinya, perempuan bertubuh lebar yang bibirnya bergincu merah, selalu setia menekan setiap tuts huruf di keyboardnya. Semuanya sudah berpindah ke kotak berlayar dan tinggal dicetak saja. Wanita itu terbahak-bahak dengan abdinya. “Saatnya kita ke Istana!” teriaknya gembira.
Minuman dan makanan menemani hari-hari mereka yang terkurung dari aktivitas luar. Mereka sibuk dengan rencana hebat mereka yang menghalalkan segala cara untuk ambisi dunia.
Ternyata tidak susah melakukannya, hanya cukup mengetik ulang, mengubah tahunnya. Maka semuanya selesai tanpa dunia tahu itu awalnya karya siapa. Kertas biru berjilid bersampul plastik terus bermuram durja. Sedih tak terkira entah kemana akan dilabuhnya.
Dia, kertas biru berjilid sampul plastik dengan lakban hitam pasrah dan berdoa, “Tuhanku Maha Adil, aku benda yang tak berdaya. Tak punya kuasa menunjukkan dosa penguasa tak punya rasa ini. Malunya telah tiada, dia hanya berpikir dengan membawaku yang telah diperbaruinya agar bisa tidur di hotel mewah dan diundang ke istana. Pertemukan aku dengan manusia berhati nurani agar semuanya jelas apa adanya.”
Doa kertas berjilid biru berlakban hitam itu terlambat. Wujudnya telah berubah dengan jilid merah hati dan bersampul keras. Di tiap ujung sudut sampul ada besi yang membuat pemegangnya hati-hati agar tidak terluka. Tatapan mereka beradu pandang dan hanya menggambarkan rasa tidak suka. Namun apa daya, mereka tidak ingin dibawa oleh wanita hitam berkaca mata di hidungnya. Meskipun dia sudah berubah wujud, isinya sama tapi nama di sampul depan telah berubah. Nama di kertas berjilid sampul biru berlakban hitam di pinggirnya bernama, Mirna Cerdasi, S.Pd. Berganti Libsiator Murni, M.Pd. di sampul mengkilat merah hati, nama sang wanita hitam berkaca mata yang bertengger di hidungnya. Semuanya sama dari judul, abstrak, bab per bab. Hanya nama dan tahun saja bedanya, semuanya sama.
*****
Pesawat pun menerbangkan karya dalam sampul merah hati. Meski semua orang bahagia menaiki burung besi ini tetapi dia tidak bahagia. Walau wujudnya sudah berubah raga namun dia masih mengingat jelas kertas lusuh berjilid biru dengan plastiknya dan lakban hitam. Terakhir ketika dia dimasukkan dalam amplop untuk diterbangkan, keberadaan wujud aslinya itu entah di mana.
Masih juga terbayang olehnya bagaimana wanita cantik yang pertama kali bermain bahagia dengan uraian dan untaian kata-kata, menuliskannya dengan cinta di bawah bimbingan para gurunya sampai ia dengan bangga mengharumkan lembaga di kotanya, karya tulis keguruannya. Itulah kebahagiaannya yang tiada tara. Kemudian dia berada di antara etalase di kantor sang penguasa yang haus akan hadiah dan nama, tanpa berpikir itu halal atau bukan, karya aslinya atau jiplakan. Godaan hadiah dan gelar juara membuat wanita hitam berkaca mata di hidungnya lupa akan kata-kata yang selalu diteriakkanya, “Kita harus berprestasi demi mengharapkan Ridho Tuhan Yang Maha Esa,” kata-kata itu yang selalu dia teriakkan setiap hari pada anak didik dan rekannya sesama pendidik. Sampai akhirnya dia membuat luka kertas lusuh bersampul biru dan lakban hitam dalam sedih yang tiada tara.
*****
Pengumuman akan naskahnya yang bisa mengantarkannya ke istana pun beredar dalam sebuah SK, surat keputusan yang memanggilnya sebagai finalis lomba tingkat nasional. Cita-citanya untuk pergi ke istana terkabul juga, meski bukan buah pikiran dan karyanya. Ya. Wanita penguasa yang berwajah kelam itu memang mendapatkan panggilan sebagai juara mewakili provinsinya. Dia tersenyum bahagia, bibirnya tak berhenti merekah setiap orang menyalaminya.
Aku, karya yang dijiplaknya ini tidak mau terima. Meski namanya sudah tertera tapi itu–sekali lagi–bukan karyanya. Aku berdoa dengan air mata yang berlinang, air mata kertas yang telah dinodai keasliannya. Doaku hanya satu, “Tuhan tolong bongkar kemunafikannya, biarkan orang yang berhati nurani tahu sepak terjang dustanya.”
Aku yakin Tuhan akan dengarkan doaku. Sampai akhirnya abdinya yang berbadan lebar berkoar-koar pada rekan kerjanya, membuka rahasianya. Karya sang juara itu sebenarnya punya siapa. Sampai dialog itu ada, pembongkar segalanya.
“Kok ibu tidak kirim karya inovasi juga. Ibu kan orangnya sangat kreatif dan selalu buat metode pembelajaran yang menyenangkan dan berbeda,” katanya pada rekan kerjanya yang berprofesi sebagai guru, sedangkan dia hanya pegawai tangan kanan pimpinannya. Ibu guru yang diajaknya bicara meradang, marah karena selama ini menjunjung nilai keorisinalitasan karya. “Munafik, mulut besar,” umpatnya. Dia harus bertindak dengan tindakan nyata. Harus ada yang menghentikannya. Apapun risikonya.
Benar kata orang, kebusukan itu ibarat bangkai. Sebaik apapun menyimpannya, bau busuknya tetap tercium. Tidak akan ada orang yang bertahan dengan bau bangkai. Apalagi orang-orang yang tidak mau mendustai hati nuraninya.
Menyebarlah tentang karya yang dibawa pimpinannya adalah karya dari mantan bawahannya. Naskah itu diketik ulang oleh orang lain dan dibuatkan atas namanya. Semua orang tahu dan semua orang merasa berada di kubangan kotoran yang bau sekali, aromanya membuat sesak dada. Para pendukungnya memujinya, sedangkan orang yang diam-diam membenci kepemimpinannya pun berusaha untuk menunjukkan sebuah kebenaran yang nyata. Bermental bajapun melakukan perlawanan yang tidak terduga dan angkat bicara. Inilah doa naskah yang tak rela diganti nama.
“Selamat malam Pak, kami ingin seorang pemimpin yang adil, jujur, amanah, tidak plin-plan dan tidak juga menghalalkan segala cara di unit kami, mohon pertimbangan Bapak, dan maaf sebelumnya, terima kasih,” Tangannya langsung menekan kata kirim. Selesai. Pesan itu sudah sampai pada Big Boss yang menjadi pimpinan tertinggi lembaga ini. Tetapi wanita itu masih merasa tidak berdosa, dia malah menekan bawahannya yang telah berani mengadu pada atasan tertingginya.
Air mata pun bertambah, manusia yang mempunyai hati nurani ini bersimbah air mata. Karirnya terasa dibakar di depan mata, posisinya yang strategis langsung dihentikan. Keberadaan kertas lusuh berjilid biru dengan sampul plastik dan berlakban hitam semakin sedih. Dia terkurung di sampul merah hati yang wangi di luar tetapi busuk di dalamnya karena bukan nama asli pemilik sesungguhnya.
Kemarin dia hanya berdoa dengan ketidakberdayaannya sebagai benda mati. Namun sekarang sudah merambah kepada manusia yang berhati nurani benci kebohongan dan ketidakadilan. Sekarang, dia mengutuk. Mengutuk kejahatan yang dilakukan wanita yang bertindak sebagai pemimpin, sebagai penguasa. Kutukannya hanya satu, wanita itu harus mendapatkan akibat yang setimpal dari kejahatannya.
Fotonya bergantungan di kantor sedang tersenyum bersalaman dengan wakil presiden, tiba-tiba pada saat itu dimakan rayap dan jatuh dengan kaca berderai.
Tulisan yang membuat saya semakin penasaran dengan isi yang dibaca. Semangat terus untuk menulis tulisan-tulisannya yang keren uni😊