Aku masih berada di dalam daihatsu saat suara azan magrib berkumandang. Di sampingku, ada ibu-ibu yang sedang menggendong anak. Dia mengenakan daster seadanya. Wajahnya terlihat pucat, mungkin habis berkeliling mencari sesuatu, atau entahlah. Yang pasti, tangan kirinya membawa kantong plastik hitam besar, sedangkan tangan kirinya menyangga bokong si anak.
Seketika aku teringat ibu di rumah—yang setiap hari menjaga anak Kak Lia selama ditinggal bekerja. Kak Lia pernah berkata, tak ada pilihan lain selain memercayakan anak kepada orang tua sendiri. Jujur saja, dia agak takut jika memakai jasa baby sitter, belum lagi kalau harus memberi gaji yang tinggi. Mengingat bahwa penghasilan Kak Lia per bulan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Ibu tak pernah benar-benar mengeluh selama menjaga cucunya, walau terkadang beberapa kali sempat protes lantaran Kak Lia pulang larut malam. Maklumlah, dia harus lembur untuk menyelesaikan pekerjaan.
“Kamu ini, pulang malam terus! Mbok kamu ngomong, kamu kan punya bayi. Teman-temanmu sih, enak. Anak mereka sudah pada besar!” ucap ibu suatu ketika saat Kak Lia harus lembur dan pulang jam 8 malam. Aku tak sengaja mendengar perkataan ibu dari dalam kamar.
Waktu itu anak Kak Lia masih berusia 8 bulan. Meski dia sudah boleh diberi makanan pendamping ASI, tetapi Kak Lia tetap memberinya ASI perah. Setiap dini hari—saat anaknya masih terlelap, Kak Lia mencuri-curi waktu agar bisa memompa ASI. Jadi, bila ditinggal bekerja, anaknya tetap bisa mendapatkan ASI.
Ah, pikiranku malah melayang jauh. Kulirik ibu itu sekilas setelah menenggak air mineral.
“Silakan diminum, Bu,” kataku seraya memberikan satu botol air mineral kepadanya. Kebetulan memang aku membeli dua.
“Alhamdulillah. Terima kasih ya, Dik.” Ibu itu menerima dengan senang hati setelah sebelumnya meletakkan kantong plastik hitam yang dibawanya.
Si ibu langsung meminumnya beberapa teguk. Lantas bertanya kepadaku.
“Adik pulang sekolah, ya? Sekolah di mana, Dik?”
“Ah—iya, Bu. Saya bersekolah di SMK Muhammadiyah 1 Indraprasta, di seberang jalan sana!” ucapku seraya menunjuk sekolahku tercinta.
“Wah, sampai magrib begini baru pulang, banyak kegiatan ya di sekolah?” tanya Si Ibu kemudian.
“Iya, Bu. Selain mengikuti ekstrakurikuler, saya menitipkan aneka snack di kantin sekolah. Jadi sepulang sekolah, saya selalu menyempatkan mampir ke kantin untuk menghitung perolehan penjualan. Barulah saya pulang. Walaupun lelah, tapi semua tetap saya syukuri, Bu. Bukankah kalau kita rajin bersyukur, Allah akan semakin melipatgandakan rezeki kita?”
“Benar sekali, Dik. Bahkan kita masih bisa berdiri seperti sekarang ini juga salah satu yang harus kita syukuri. Bahwa rezeki sehat itu mahal harganya. Malahan, kita harus semakin memperbanyak mengingat Allah. Banyak zikir pastinya. Jadi jangan saat kita sakit saja. Itu namanya musiman.” Si Ibu tersenyum, membuat lesung pipitnya terlihat.
Aku terperenyak mendengarkan tanggapan ibu itu. Tak kusangka, jawaban yang ia paparkan telah menamparku dengan keras. Sungguh, aku masih sering lupa mengingat Allah di sela-sela rutinitas sekolah. Bahkan saat salat pun, sulit rasanya membangun khusyuk.
“Depan kiri ya, Pak!” seru Si Ibu kemudian.
“Hati-hati di jalan, Bu,” kataku akhirnya.
***
Sesampainya di rumah, ibu tiba-tiba bercerita bahwa rumah yang kami tempati tidak lagi dikontrakkan. Ibu pusing bukan kepalang. Tabungan Kak Lia dan suaminya mana cukup untuk membeli rumah? Sedangkan jika terus-terusan mengontrak pun rasanya kami sudah lelah.
Aku mencoba menenangkan ibu dan mengutip beberapa perkataan ibu yang tadi kutemui. Bahwa harus terus berusaha dan memperbanyak berzikir. Pasti Allah akan memudahkan segala urusan kita. Kami pun mengobrol hingga larut malam. Sampai tak sadar ibu tertidur di kursi ruang tamu. Setidaknya, malam aku bisa melihat ketenangan di wajah ibu, walau sesaat.
Besoknya, saat hendak pulang dan menunggu mobil angkutan umum yang nantinya akan melintas di depan sekolah, Ibu itu menyapaku.
“Adik, sedang menunggu daihatsu?” tanyanya.
Kali ini dia tidak membawa kantong plastik besar, juga tak sambil menggendong anak.
“Eh, Bu. Iya, betul. Apa kabar, Bu? Kok sendirian? Di mana anak yang kemarin Ibu gendong?”
“Alhamdulillah baik, Dik. Ah, itu. Dia bersama ibunya. Kebetulan ibunya hari ini libur, jadi saya agak ringan.”
“Oh, ternyata itu cucu ibu?”
Perbincangan pun berlanjut di dalam daihatsu. Aku tak menyangka bahwa Allah telah menuntunku dalam mencari istana impian lewat Ibu yang baik ini. Dalam ceritanya, ia hanya tinggal bersama suami, satu anak perempuan dan satu cucu. Kemudian beliau juga mengatakan bahwa memiliki rumah lain yang sedang diproses untuk dijual. Betapa kebetulan sekali, aku dan keluargaku sedang membutuhkan tempat tinggal.
Ya Allah, jika memang rumah yang ditawarkan Ibu ini adalah istana impian dan tempat tinggal terakhir bagiku dan keluargaku, maka dekatkanlah dan mudahkanlah. Jika bukan, maka ikhlaskanlah kami dan tuntunlah kami dalam mencari istana lainnya, doaku dalam hati.
Pembicaraan kami terpaksa terhenti karena Si Ibu turun lebih dulu. Namun, kami sempat bertukar nomor telepon. Barangkali, esok ketika ada hal yang bisa dibicarakan lagi, bisa lebih mudah menyampaikannya, walau tidak langsung bertatap muka. Kemudian, kusimpan nomor tersebut dengan nama “Bu Maesaroh”.
***
Seminggu kemudian, ketika aku sekeluarga benar-benar hampir menyerah lantaran tak kunjung menemukan tempat tinggal baru, tiba-tiba ada panggilan masuk di telepon genggamku. Tertera nama “Bu Maesaroh” di layar.
“Assalamu’alaikum, Dik Nazilah. Apa kabar?”
“Wa-wa’alaikumsalam, Bu Maesaroh. Alhamdulillah kabar saya baik.”
“Jadi bagaimana, Dik? Sudah disampaikan ke orang tuanya, kira-kira berkenankah membeli rumah saya? Tidak apa-apa jika harus dicicil dalam pembayarannya, Dik. Bukankah itu sama saja? Toh lama-lama akan lunas sendiri,” ucap Bu Maesaroh di seberang sana.
Ibu yang sedang mendengarku mengobrol di telepon pun penasaran. Aku memberi kode supaya jangan mengajakku bicara dulu. Akhirnya, kuputuskan mengakhiri percakapan dan mengatakan kepada Bu Maesaroh bahwa penawarannya akan dibicarakan dulu dengan keluarga. Sebab, seminggu lalu memang aku belum menceritakan apa pun kepada ibu, bapak, Kak Lia, dan suaminya.
Setelah berdiskusi sebentar dengan keluarga, akhirnya kami memutuskan untuk menerima tawaran Bu Maesaroh. Bapak dan ibu juga sempat bertanya kepada Kak Lia, mengenai uang tabungan. Sepertinya sudah pantas. Namun, kami tetap berdoa. Semoga sejumlah uang tabungan Kak Lia dan suaminya bisa diterima oleh Bu Maesaroh sebagai uang muka. Ibu pun meminta agar aku menghubungi Bu Maesaroh lagi. Tak disangka, Bu Maesaroh setuju dengan nominal yang kusebutkan.
Mendadak ada begitu banyak haru di dalam hati. Orang-orang di luar sana sangat kesulitan mencari, sedangkan aku justru begitu dimudahkan karena perjumpaan yang tidak sengaja. Alhamdulillah, kami akan segera memiliki istana impian.
*****