Buah Bibir Uni

0
136

Sepoi angin berhasil menggugurkan beberapa lembar dedaunan pohon tanjung, tidak melulu yang sudah kering kecokelatan, bahkan beberapa ada yang masih berwarna hijau cerah. Taman kampus kali ini tampak lengang. Hanya ada beberapa orang yang mengisi kursi-kursi semen keabuan.

Uni menghentikan menyeruput es kopi yang dia bawa dari kantin. Gerakan matanya terfokus pada satu orang yang baru saja keluar ruangan. “Eh, aku kemarin malam lihat cewek itu keluar dari lokalisasi, loh,” bisiknya sambil menunjuk ke arah perempuan berjilbab lebar.

Vina ikut mencondongkan punggung untuk lebih dekat dengan Uni. “Yang benar aja kamu, itu bukannya Ismi?”

Uni mengangguk, meyakinkan Vina kalau dia tidak salah lihat. “Iya, benar. Dia pakai jilbab lebar begitu, itu cuma untuk menutupi keburukannya doang. Munafik!”

“Hust! Nanti salah malah jadi fitnah, loh.”

“Ya sudah kalau enggak percaya.” Uni membasahi tenggorokan yang kering dengan menyeruput minuman berkafein di depannya. Ada sedikit kejengkelan di batin perempuan itu atas respon Vina yang seolah tidak memercayainya.

Ismi mahasiswi aktif bermata indah dengan bulu mata lentik, serta kulit kuning langsat yang selalu terbalut kain hitam itu juga dikenal jago bela diri. Jilbab yang dia kenakan bukan suatu halangan untuk meraih prestasi. Tak heran, banyak juga jejaka yang sering membicarakannya, bahkan menjadikan gadis tertutup itu khayalan mereka sebelum tidur.
***

“Kalian tahu tidak, kalau si Ismi itu simpenannya om-om tajir,” ucap Uni sambil memberikan tanda petik pada kata om-om. Kabar itu pun dia sebarkan kepada teman-temannya ketika sedang menikmati bakso daging sapi.

“Hah! Yang benar kamu, Ni?” tanya salah satu teman lainnya.

Uni semakin antusias, terlihat jelas dari matanya yang membesar ketika meyakinkan orang-orang di hadapannya. “Iya, aku lihat langsung. Mereka jalan berduaan malam-malam bergandengan tangan.”

“Katanya dia atlet silat, kan? Kamu enggak takut apa kalau dia nanti dengar ini?”

Uni hanya mengibaskan tangannya. Tidak peduli. Bagi Uni, hari-hari rasanya kurang nikmat kalau belum membicarakan orang. Tanpa adanya filter tentang apa yang dia bicarakan, dan kepada siapa saja lawan bicaranya, Uni selalu menceritakan dari apa yang dia amati, lihat, pikirkan tentang orang-orang termasuk Ismi.

Kabar itu pun sampai terdengar oleh objek yang selalu menjadi bahan pembicaraan Uni. Namun, gadis berjilbab lebar justru menanggapinya dengan senyum. Sebuah senyum yang susah untuk diartikan.
***

Awan tebal kehitaman menyelimuti kota. Angin kencang yang masuk dari celah jendela berhasil membuat gorden berkibar-kibar. Klep! Seisi ruangan seketika menjadi gelap. “PLN sialan! Pakek acara mati listrik segala.” Uni memukul meja di hadapannya. Satu-satunya sumber cahaya dari layar ponsel yang ada di hadapannya, sehingga hanya cukup menyoroti wajah perempuan yang tengah sendirian di rumah itu.

Uni pun memilih merebahkan tubuhnya di kasur. Berharap listrik segera nyala kembali.

Belum juga listrik nyala. Suara gemuruh terdengar bersamaan menguarnya aroma debu. Hujan berhasil membuat Uni semakin kesal. Dia segera mengirim pesan kepada teman-teman satu kontrakannya untuk segera pulang.
Begitu layar ponsel padam. Pandangan Uni menyipit ketika matanya melihat seseorang berdiri dari balik jendela. Sosok itu semakin jelas begitu ada cahaya kilat. Uni mengucek matanya, lalu memastikan ulang. Tidak ada apa-apa, hanya bayangan tanaman-tanaman yang ada di teras.

“Sial!” Hasrat mau ke buang air memaksa Uni untuk bangkit. Dia menyalakan senter dari ponselnya dan beranjak turun dari ranjang. Namun, langkahnya terhenti begitu melihat bayangan itu lagi di luar jendela, sosok itu berjalan ke arah pintu rumahnya.

Tangan Uni bergetar hebat berusaha menghubungi seseorang. “Duh! Kenapa enggak ada sinyal, sih?” gerutunya begitu melihat panel sinyal bertanda silang. Tanpa pikir panjang, dia pun bergegas ke luar untuk memastikan pintu utama sudah terkunci.

Setelah pintu kamar terbuka, Uni menjerit sekuat tenaga. Sosok hitam itu sudah berdiri tegap dengan tatapan tajam di ruang tamu. Uni mundur selangkah sambil menyoroti sosok di depannya menggunakan cahaya dari ponsel yang dia genggam. “Siapa? Enggak sudah bercanda, deh. Enggak lucu!”

“Aku pikir kamu sudah cukup mengenaliku, Uni.” Sosok itu mengeluarkan tangan kirinya yang dari tadi dia sembunyikan di balik tubuhnya. Kakinya melangkah bersamaan dengan suara denting. Ada sebuah parang panjang yang ikut terseret di lantai.

Uni berbelalak melihat kilauan besi yang menuju ke arahnya. “Siapa ka-mu …?” tanya Uni pelan karena tenggorokannya mulai tercekat. Kaki Uni membentur kursi kayu, dia kemudian memindahkan kursi itu ke depan sebagai tameng.

Kini langkah pasti sosok misterius itu berhasil membawanya masuk di kamar Uni. Wajahnya sesaat tampak begitu jelas ketika kilat hadir.

“Ismi?” ucapnya lirih.

“Iya, ini aku.” Perempuan itu menyeringai. “Kamu seperti telah lama mengenalku, Uni, padahal sebenarnya kita tidak saling kenal, kan?”

Tanpa Uni sadari, celananya mulai basah. Uni menggeleng. “Sadar, Ismi.”

Ismi justru mengangkat parang ke udara, dan mengarahnya ke wajah Uni. “Aku cukup sadar kok untuk membunuhmu malam ini.”

Keadaan semakin pelik. Dengan gemetar, Uni melemparkan kursi ke arah Ismi. Tenaga Uni yang tidak maksimal membuat kursi itu jatuh sebelum menyentuh tubuh Ismi.
“Tolong! Tolong!”

“Tidak akan ada yang mendengarmu. Termasuk mereka, orang-orang yang kamu hasut untuk membenciku! Dengar … orang keluar dari area lokalisasi, bukan berarti orang itu pelacur!”
Uni terperanjat mendengar kalimat itu.

Ismi melangkahkan maju, mendekat, sesekali dia mengayunkan parang yang dibawanya. “Dan beliau yang kamu kira om-om itu adalah ayahku.”

Uni semakin terpojok. Tubuhnya lemas, perlahan dia pun berlutut sembari merengek minta maaf. Kepalanya menggeleng hebat berharap belas kasihan kepada Ismi. “Jangan bunuh aku.”

“Justru kamu yang sudah membunuhku lebih dulu!” Kali ini Ismi yang berteriak sampai urat-urat lehernya keluar. Gadis berjilbab lebar itu mendekat, lalu dengan tenaga penuh, bersamaan petir yang menggelegar, Ismi mengayunkan parang tersebut ke leher Uni sambil berteriak, “Sadarlah! Kalau fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan!”

***

Cahaya lampu membuat Uni terbangun. Napasnya tidak teratur, bahkan tubuhnya basah tidak hanya karena keringat, bau pesing kini menusuk-nusuk hidungnya. Dilihatnya sekitar ternyata listrik sudah nyala.
Uni menghela napas, kemudian perlahan memegangi lehernya.

Jam di dinding menunjukan pukul dua dini hari. Di luar masih terdengar gemericik air, sepertinya hujan sudah mulai lelah membasahi bumi.

Tangan Uni meraba kasur, mencari keberadaan ponselnya. Ada beberapa pesan dari teman satu kontrakannya yang mengingatkan untuk mengunci pintu sebelum tidur. Uni mengabaikan pesan itu. Dengan sedikit gemetar, Uni mengetik pesan singkat untuk Vina.
[Vina, ada kontaknya Ismi? Aku harus minta maaf padanya.]


LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here