Simfoni Bunga Rumput 04

4
199
simfoni bunga rumput

“Senior brengsek! Senior tak tahu diri! Gue tuntut biar masuk penjara baru tahu rasa Lo!” Clarissa menghentak-hentakkan kakinya dengan gemas. Wajahnya merah padam, sepasang matanya melotot, tampak jengkel sekali. “Siapa namanya? Gagah? Huh … orang kerempeng kayak gitu ngaku-ngaku bernama Gagah! Emaknya halu pas bikin nama, kali.”

Kinanti terpaku, berdiri bengong di tempatnya. Sepertinya, dimana-mana bawaan gadis itu memang bete melulu. Melihat gaya Clarissa yang meledak-ledak, kemarahannya akibat peristiwa bentrokan tadi pagi mendadak kembali muncul kembali. Apalagi nyeri di sekujur badannya masih cukup terasa. Lukanya bahkan belum sempat ia periksa dan ia obati.

Namun, ia mencoba menahan amarah itu. “Hai!” sapanya, kaku seraya menyorongkan telapak tangannya untuk bersalaman. Namun boro-boro membalas, Clarissa bahkan menepiskan uluran tangan Kin keras-keras.
“Jangan pegang-pegang! Haram jadah, Lo!”

Sialan ini anak! Kinanti bergumam dalam hati, kesal.
“Eh, dik… bisa bicara sedikit lebih halus, nggak?” ujar Kinanti hati-hati, namun ucapannya itu justru membuat amarah Clarissa makin meledak.
“Siapa Lo, berani ngatur-ngatur gue!” tampaknya Clarissa sudah lupa dengan Kinanti, korban aksi kebut-kebutannya tadi pagi. “Mau bicara halus kek, kasar kek, apa urusan kamu?”

“Saya Kinanti, kakak kelas kamu, pemandu kelompok ini!”
“Pandu-panduan apa? Gue mau kuliah di sini, sama dosen! Bukan sama pemandu! Lo ini mahasiswa, sama kayak gue, nggak ada hak buat ngatur-ngatur!”
“Betul! Gue juga muak ngelihat tampang para senior yang sok kuasa,” gadis yang diperkirakan bernama Tracy, model beken itu bangkit. “Mending kita pergi saja. Gue ada jadwal foto, tahu!”

“Aku juga pengin segera pulang,” kata Tika.
“Hei … hei!” Dua orang senior cowok berambut gondrong, sepertinya orang-orang Andra, mendekat. “Kalian mau kabur kemana, cewek-cewek centil?”
“Eh, sialan! Ngatain kita centil, lagi!” dengus Tracy.
“Belum pernah merasa sakitnya diputus cewek Lo, ya?!” ancam Tika.
“Senior di sini semua brengsek, tahu!” bentak Clarissa pada dua orang mahasiswa senior itu. “Dikira kami semua takut sama kalian?”

“Eh, sok banget sih, Lo!” mahasiswa yang Kin kenal bernama Dodi dan Edward itu meraih krah baju Clarissa dan menariknya keras-keras. “Lo yang bernama Clarissa? Cewek sok cakep itu? Belum kenal Dodi, ya?”
“Kalau kamu cowok, udah gue gampar muka Lo!” desis Edward. “Ayo Lo bertiga ikut kami ke markas! Lo sudah melakukan kesalahan fatal, tahu nggak?”

“Ingat undang-undang senior-yunior, nggak? Pasal satu, senior nggak bisa salah. Pasal dua, jika senior berbuat salah, lihat pasal satu. Paham?” ujar Dodi.
Barangkali ini salah satu cara Andra c.s. merusak Pomaru, desis Kinanti. Dengan bersikap kasar kepada mahasiswa baru, membuat nuansa sangar dan kejam, yang nantinya akan disorot habis-habisan oleh berbagai kalangan, dan mosi tidak percaya ditujukan kepada kepengurusan BEM periode ini.
Harus dicegah!

“Maaf, Dodi… Edward…, adik-adik ini adalah binaan saya! Tolong untuk tidak diganggu!”
“Mereka ini kurang ajar, Kin! Lo aja disepelein, padahal Lo kan elitnya mahasiswa di sini,” ujar Edward, entah tulus, entah sekadar sindiran. “Perlu dihajar!”
“Tidak!” Kin menggeleng tegas. “ Saya pemandu mereka. Jika ada apa-apa yang terjadi pada mereka, saya yang kena, saya yang bertanggung jawab! Jadi, tolong serahkan mereka semua pada saya!”

“Kin, Lo ini senior. Mahasiswa berprestasi lagi. Lo ini ikon-nya Unmaja. Jangan mau direndahin sama monyet-monyet betina itu, bego!”
“Saya nggak merasa direndahkan! Sudahlah, urus saja apa yang harus kalian urus. Nggak usah nyampurin urusan orang, okey?”
Melihat sikap tegas Kin, Dodi dan Edward saling tatap, lalu ngeloyor pergi. “Ya sudah. Sebenarnya gue nggak terima kamu diperlakukan kayak gitu. Menghina kamu itu sama halnya dengan menghina civitas akademika Unmaja, tahu?!”
“Makasih, Dod, Ward! Tapi aku nggak merasa terhina, kok!”

Kini Kin menatap ke-6 adik binaannya. Tajam. Bagaimanapun, Edward dan Dodi benar, ia harus bisa bersikap lebih tegas. Bukan karena takut direndahkan, tetapi menghadapi gadis-gadis macam itu, memang harus dengan ketegasan. Eh, sekaligus kelembutan dong …. Apa ia bakal kuat, ya?

“Sepertinya, kalian sedang tidak mood hari ini?” tanyanya, sambil menyunggingkan senyum ramah, menutupi perasaan mangkelnya. Untuk berpura-pura jadi sosok tenang meski jengkel menguasai hati, ia merasa cukup ahli. Sewaktu SMU, ia pernah serius mengikuti eskul teater selama dua tahun. Hampir semua peran pernah ia mainkan dengan sukses. Dari peran pembantu nelongso, mertua yang galak, hingga orang gila, hihi! Namun, melihat dia terlalu suka memainkan peran antagonis, Mas Danu marah-marah melihat gayanya dan melarang ia ikut eskul tersebut.
“Muslimah kok centil seperti itu!” ujar Mas Danu, sadis.

Seperti biasa, bapak dan ibu sepakat dengan pendapat sang putra sulung. Hasilnya, Kin pun terpaksa keluar dari teater.
Beberapa di antara para mahasiswa baru itu melengos, hanya dua yang tampak mengulum senyum, sangat tenang, dan kalem. Kira-kira, siapa ya mereka itu? Sebagai mahasiswa baru, mereka terlihat lebih dewasa dari usianya.
“Bukan hanya nggak mood,” ketus Tika. “Pusing! Semua yang ada di sini bikin bete! Disuruh ini-itu, dikasih tugas ini-itu, udah gitu, dimarahin melulu lagi. Bikin repot!”
Kinanti tersenyum. “Oke, kalau begitu, kalian saya izinkan untuk pulang. Tetapi, besok sesudah kuliah, kalian harus menemui saya. Besok kalian ada kuliah pak Barata, bukan? Nah, besok saya mendampingi beliau sebagai asisten dosen, jadi kita insya Allah akan bertemu.”

“Bener, nich? Kamu bisa menjamin kami nggak dimarahin senior?” tanya Tracy seraya menatap Kin, tajam. Siapa sih, cewek ini, kok sedemikian berkuasanya, begitu mungkin pikirnya.
Kin mengangguk. “Insya Allah saya jamin!”
“Ya, udah! Cabut dulu, ah! Kalau ada apa-apa, kamu tanggung jawab, lho….” Tracy membetulkan letak tasnya, lalu pergi begitu saja, diikuti Tika dan Clarissa. Kinanti tak bereaksi selain geleng-geleng kepala. Namun beberapa senior yang ada di sekitar situ mencoba menghalang-halanginya.
“Hei … pada mau kemana kalian?!”
“Mereka sudah saya izinkan pulang!” tegas Kinanti.
“Eh, nggak bisa! Nggak boleh.”

“Saya sudah mengizinkan mereka pulang! Mereka ada urusan penting,” ujar Kinanti sekali lagi, kali ini lebih tegas. Para senior itu saling pandang, lalu memilih mundur kembali. Kalau sedang galak, jangan berani-berani berhadapan dengan Kinanti.
“Kamu ini gimana, sih Kin?” protes Gagah. “Sikap kamu yang memanjakan mereka, bisa bikin kecemburuan mahasiswa baru yang lain!”
“Ya buat mereka jangan cemburu, dong!” tukas Kin, cepat, enteng. “Kamu kan bisa cari-cari alasan. Kelompok saya itu kelompok khusus, nggak salah kan kalau saya memperlakukan secara khusus juga? Kalau sudah menyerahkan mereka untuk jadi kelompok saya, kasih saya previlege untuk melakukan mereka seperti yang aku mau.”

Gagah geleng-geleng kepala, tak mengerti, namun seperti yang lain, ia memilih tidak mau berdebat dengan si raja podium, Kinanti. Meski lembut dan santun, cewek itu rajanya ngeyel. Sambil geleng-geleng kepala, ia pun melenggang, kembali ke kelompoknya.
“Terserah kamulah…,” ujarnya, pasrah.
“Eh, kenapa kalian tak ikut pulang?” tanya Kin pada 3 orang yang tertinggal.
Satu dari mereka tersenyum manis. “Kami kan mau jadi yunior yang baik!”
“Asal kau jangan macam-macam saja,” ujar yang lain, ketus.
Satunya lagi diam, sepasang matanya menerawang entah kemana. Dari sosoknya yang kurus kerempeng, Kin dapat menduga siapa dia. Liza, junkies itukah?
“Oke, kenalkan nama saya Kinanti!”

“Ayu!” ujar si senyum. Dengan wajah oval, putih kemerahan, sepasang alis melintang dan bibir yang merekah basah, ia benar-benar ayu. Si penyanyi klab malam sekaligus ‘perek’ itu?
“Angel!” ucap si ketus yang konon tidak bisa mengeluarkan kata-kata kecuali ucapan bernada sumbang. Ia terlihat lebih tua dari usianya. Parasnya sebenarnya cukup lumayan, namun kerut kepedihan yang sepertinya dicoba ditutupi dengan make-up, terutama sinar mata yang penuh dendam itu, tak bisa membohongi hati peka Kinanti. Korban perkosaan? Sudah punya anak satu berusia dua tahun?
Sementara, si mata menerawang, junkies itu, tampak masih sibuk dengan alamnya sendiri. Sesekali ia tersenyum, lalu menggigit-gigit bibirnya dan berkali-kali menghela napas panjang. Ia baru tersadar ketika telapak tangan Kinanti menyentuh bahunya. “Hei … kamu pasti Liza, kan?”

“Eh,” ia tampak kaget. “Darimana kamu tahu?”
“Tahu aja!” Kinanti tersenyum. “Sejak tadi bengong?”
“Nggak … aku …,” ia tampak gugup.
“Tenang! Saya tidak akan bersikap galak seperti senior-senior itu kok!”
“Apakah kakak ini Kinanti yang kemarin menang kontes calon advokat tingkat nasional?” tanya Ayu. Ramah dia …. Maklum, biasa berhubungan dengan para … langganan? Eh, kok jadi menuduh! Kan isu itu belum tentu benar.
“Oh, alhamdulillah! Semua itu berkat pertolongan Allah!”
“Aku ingin seperti Kakak!” suara pujian Ayu terdengar tulus. “Menjadi mahasiswa yang baik, berprestasi … dan besok bisa menjadi orang yang memiliki kehidupan terhormat.”

“Apa maksudnya terhormat?” desak Kin, hati-hati.
“Yaah, orang yang bisa menyumbangkan banyak peran buat orang lain. Sudah lama aku pengin jadi advokat. Aku kan suka baca novelnya John Grisham, Kak. Nah, aku tuh terkesan banget. Terlalu banyak ketidakadilan yang aku lihat di depan mata. Rasanya … ugh! Gemes banget!”

Mendadak dada Kin berdebar. Para manusia yang tampaknya bermasalah itu pada kenyataannya, terkadang adalah orang-orang yang justru mampu menyelesaikan masalah, dan sebaliknya, yang tampaknya tanpa masalah, justru seringkali justru bermasalah. Masyarakat seringkali larut dalam sebuah stigma, sehingga terlalu mudah dalam membuat judgement. Apakah benar, orang-orang seperti Ayu adalah sampah masyarakat? Jujur, pada awalnya ia nyaris terjebak dalam sikap yang sama. Namun, tampaknya ia harus lebih memandang dari berbagai point of view yang beragam.

Seorang perempuan tuna susila, seorang pecandu narkoba, dan seorang korban perkosaan yang menyimpan dendam luar biasa dalam …. Bagaimana ia harus menghadapi mereka? Point of view macam apa yang harus dia gunakan untuk menyelami kehidupan mereka?
Atau, dia tak harus terlalu dalam terlibat dalam kehidupan mereka? Toh dia hanya seorang kakak kelas yang mendampingi mereka dalam Pomaru semata.


“Gimana, Kin?” tanya Icha begitu mereka pulang bersama. Icha memaksa Kin menaiki mobilnya, meski Kin sebenarnya sudah berusaha menolak. Icha, anak orang gedean—seperti mayoritas mahasiswa di kampus Unmaja, yang hidup merakyat dan memiliki ketulusan. Sejak pertama bertemu di kampus tersebut, mereka sudah langsung dekat.

“Apanya yang gimana?” Kin balik bertanya seraya meringis menahan sakit pada luka-lukanya yang kini terasa semakin perih. Ada dalam kondisi nyaman memang membuat sesuatu yang tadinya ia tidak pedulikan menjadi terasa begitu kuat.
“Ngadepin enam pasienmu itu?”
“Eh, siapa bilang mereka pasienku. Emang gue dokter?”
Icha terdiam sesaat. Lalu menghela napas panjang. “Jadi kau tidak terlalu menganggap mereka sebagai sebuah masalah.”

“Ya … biasa ajalah.”
“Artinya, kau tidak akan serius menggarap mereka?”
“Yang serius tuh ini …!” Kin menyibakkan lengan bajunya. Tampak kini beberapa gores luka yang masih basah. Icha terpekik.
“Ya Allah, Kin! Kamu udah obatin?”
“Tadi di mushola udah tak kasih bethadine. Hasil tabrakan tadi pagi sama Clarissa. Ugh!” Kin menarik lengan bajunya kembali. Lalu menatap lurus ke depan, ke arah jalanan yang padat. Kapan sih, Jakarta bisa terbebas dari kemacetan?
“Kau benar-benar nggak serius menggarap mereka?”
Yah, itu lagi yang ditanyakan Icha, bisik Kin, mangkel.

“Nona Monicha … dengerin baik-baik!” ujarnya, gemas. “Apa sih, hak aku atas mereka. Hubungannya kan cuma antara senior dengan yunior, nggak lebih dari itu. Aku memang ditugasi mendoktrin mereka, agar mereka sadar tentang posisi mereka sebagai mahasiswa. Tetapi kalau mereka nggak mau didoktrin, aku harus gimana?”
“Kin, aku kok nggak menganggap hal itu sebagai sekadar doktrin-mendoktrin. Kau punya kapasitas lebih dari itu.”
“Maksudmu?” Kin mengerutkan kening.
“Tahu nggak, siapa yang nyaranin agar mereka digabung jadi satu kelompok?”
Kin menggeleng.

“Gue!” ujar Icha. “Terus, yang mengusulkan ke Anton dan Andien agar kamu yang memegang kelompok itu?”
Kin menggeleng lagi.
“Juga gue.” Icha tiba-tiba meraba kerudung mungil yang ia kenakan. “Aku memang belum bisa seperti kamu, Kin. Aku masih suka error. Aku pecicilan, lo tahu. Namun aku merasa, bahwa aku sudah jauh berubah! Kau pasti masih ingat, siapa Icha 2 tahun silam, kan?”
Kin tersenyum geli ketika bayangan sosok centil dengan gaya artisnya itu muncul di pelupuk mata.
“Lu inget, bagaimana Icha yang masih konyol, manja, dikit-dikit nangis, yang nggak tahu malu mengejar-ngejar cowok … ih, nyebelin banget!”
“Itu kan masa lalu, Cha. Lupain aja!”

“Aku memang bermaksud memendam kisah itu dalam-dalam. Tetapi aku tentu saja tak akan mengubur kenyataan, tak akan mengingkari fakta, siapa coba, yang berhasil mengubah aku menjadi seperti sekarang ini?”
“Siapa?”
“Kamu, Kin! Kamu telah memainkan sebuah simfoni, yang membuat bunga liar seperti aku, berubah menjadi jinak.”
“Dih, jadi merasa tersanjung nih,” ujar Kin sambil nyengir. “Hm, simfoni, ya? Pernah pegang piano aja belum … boro-boro mainin simfoninya Mozart.”

“Suer … aku ngerasanya begitu. Kamu yang membuat aku berubah jadi kayak gini. Aku nggak bohong! Aku jadi bersemangat untuk berislam, meski masih ecek-ecek gini, setelah mengenal kamu.”
“Iih, sudahlah Cha …. Jangan dibicarakan mulu. Aku kan statusnya cuma mengajak, masalah berubah atau nggak, itu tergantung sepenuhnya dari kamu. Juga hidayah Allah, itu yang paling penting. Jadi, yang membuat kamu jadi tambah baik itu bukannya aku, bukan orang lain, tetapi kamu sendiri, atas kehendak-Nya.”
“Tetapi aku ngerasa, kamulah inspirator perubahanku. Ciee … inspirator. Bahasaku keren abis kan? But, tahu nggak kenapa aku mengungkap hal itu?”

“Supaya aku jadi gede rasa, kaan?” Kin mencubit hidung sobatnya itu. Keberadaan Icha di angkatannya memang memberi kontribusi besar bagi segenap geraknya yang semula sempat tertatih akibat ia berjalan sendiri. Ia menjadi bersemangat dengan keberadaan Icha yang terkadang terlampau lugu itu, tetapi benar-benar punya tekad sekeras baja. Batu aja kalah, Coy!
“Iih … bukan. Enak aja!” Icha manyun. “Aku tuh cuma berharap, agar kamu melakukan apa yang pernah kamu lakukan terhadapku itu kepada … mereka. Ya … mereka adalah bunga-bunga liar, sama seperti aku dulu. Khususnya … Liza. Aku ingin kau mengajak mereka kepada jalan kebenaran … jalan yang penuh dengan cahaya. Yang membuat mereka tahu, untuk apa mereka hidup. Jalan yang selama ini sering kau bilang sebagai … jalan hidayah, jalan hijrah, dakwah!”

Kin tersentak untuk beberapa saat mendengar untaian kata yang barusan keluar dari mulut sahabatnya itu. Ya Allah … kenapa justru Icha yang mengucapkan kata-kata itu. Kenapa bukan ia? Icha yang sering ia keluhkan karena setelah memakai jilbab, mendadak perkembangannya menjadi stagnan, tak juga menetapkan diri mengikuti jejaknya sebagai muslimah sejati. Ciee … yang ngerasa muslimah sejati.
“Cha … bukannya aku nggak mau, tetapi … jika selama ini banyak orang yang butuh kita dakwahi, dan mereka cukup membuat waktu kita tersita, kenapa kita harus menghabiskan energi untuk ….”

“Kin! Aku nggak suka sama kata-katamu barusan. Ingat, Allah pernah menegur Nabi Muhammad karena lebih mengutamakan para pemimpin yang berkuasa dibanding seorang buta yang minta diajari agama oleh beliau. Siapa sih, yang bisa menjamin seseorang bisa lebih butuh dakwah dibanding orang lain? Kamu selama ini membina teman-teman yang pada dasarnya sudah memiliki hati yang bersih … itu bukan tantangan, Kin! Seharusnya, orang-orang seperti Liza, Clarissa, Tracy … dan yang lain, harus kamu perhatikan juga.”

Kin termangu sejenak. Bayangan keenam anggota kelompok yang ia pandu menari-nari di pelupuk matanya. Seorang pecandu narkoba, seorang korban perkosaan, seorang model yang merasa paling cantik sedunia, seorang penyanyi klab malam sekaligus perek, playgirl kelas kakap … dan seorang perempuan manja yang sok kaya … yang hobinya marah-marah melulu, mungkin psikopat!

“Terutama Liza, Kin … tolong dia. Soalnya, aku sangat mengenal siapa dia.”
“O, ya? Dia itu ….”
“Sepupuku. Aku kan dulu pernah cerita ke kamu, kalau aku punya sepupu yang pecandu narkoba. Nah, dia itu Liza, Kin! Dia sebenarnya anak baik. Pergaulanlah yang membuat ia jadi error begitu. Orangtuanya bercerai, ia ikut Papanya. Mamanya menikah lagi dan tidak mau bertemu lagi dengan mantan suami dan anak-anaknya. Entah apa yang membuat sang mama jadi sekejam itu, aku juga sampai sekarang nggak bisa memahami. Yang jelas, Liza dan kedua kakaknya jelas merupakan sosok-sosok yang sangat haus kasih sayang. Payahnya, mereka menemukan itu semua justru pada apa yang menjadi sahabat lekatnya sekarang. Heroin. Kedua abangnya yang memperkenalkannya pada benda terkutuk itu. Padahal Andre, kakaknya yang sulung, nyawanya sudah melayang karena overdosis.”
Kin semakin tenggelam dalam ketermanguannya.

“Kin …!” sentak Icha.
“Eh, ya …!” Kin kaget.
“Kamu mau, kan?”
“Apa?”
“Mainin simfoni buat mereka?”
“Kenapa istilahmu simfoni? Eh, terus terang … aku nggak terlalu mengerti lho? Tumben kamu filosofis banget sekarang.”

“Simfoni itu ….” Sepasang mata Icha berbinar-binar, “sebuah irama yang memadukan kelembutan dan ketegasan. Terkadang ia mengalun begitu lirih … begitu mendayu, namun tiba-tiba bisa menyentakkan para pendengar dengan irama yang gegap gempita. Perpaduan semacam itulah yang akan mampu menjinakkan bunga-bunga rumput yang liar. Mereka butuh keduanya, kelembutan … juga ketegasan.”
“Wah, kau bisa puitis juga. Simfoni, hm … perumpamaanmu indah, Cha! Tetapi, mungkin aku nggak akan bisa sehebat perkiraanmu.”
“Kau akan bisa, Kin. Jika mau mencoba!”

Kinanti menelan ludah. “Ng … baiklah. Oke, tuan puteri! akan aku coba. Tapi jangan terlalu berharap, ya. Please! Kita udah mau skripsi, aku dikasih target terlalu tinggi oleh abangku yang Lo tahu, sangat perfeksionis. Aku harus lulus 7 semester, paling telat 8 semester, IPK-ku harus cum laude, TOEFL-ku kudu di atas 500, kudu nembus S2 luar negeri. Itu beraaaat ….”
“Gue tahu, Lo bisa mendapatkan itu semua.”

Thanks … kau memang sobatku yang baik. Aku akan bantu kamu semampu aku. Kau tahu, aku yang masih harus memperbaiki diri, tak akan mungkin bisa sepintar kamu mengurusi ummat.”
“Eh, siapa bilang, Cha? Buktinya, yang memikirkan hal itu justru kamu. Ah, jadi malu nich ….” Kinanti garuk-garuk kepala.
“Enak ya, Kin ….”
“Apanya yang enak?”
“Punya ayah yang alim, juga ibu yang penuh perhatian seperti orang tua kamu di kampung itu. Termasuk abang yang sangat mendukung.”

Sebuah senyum tersungging, bersama pandangan yang menerawang jauh. Kinanti ingat ketika Icha yang anak konglomerat itu ia ajak mengunjungi rumahnya yang sederhana di kampung. Kearifan bapak yang juga seorang ustadz itu, serta keramahan khas wanita kampung yang dimiliki ibu, ternyata begitu membekas di hati Icha. Katanya sih, Icha ngefans berat sama Bapak dan Ibu. Hihi, kayak artis saja.
“Orangtuaku kan cuma orang-orang sederhana, Cha….”

“Tetapi mereka memiliki kebahagiaan yang seutuhnya. Tidak seperti keluargaku. Papa dan Mama memang tidak bercerai, tetapi apa bedanya? Mereka bertemu hanya beberapa hari dalam sebulan. Kedua abangku juga tak berbeda. Mungkin mereka lebih sering menghabiskan malam di hotel-hotel daripada rumah sendiri. Mereka hanya sibuk mengejar dunia. Rumah pun sepi … beku, seperti istana salju. Aku sendiri, sepertinya merasa tak pernah memiliki siapa-siapa …. Mereka orang-orang terdekatku, tetapi anehnya, aku merasa asing. Lucu, kan?” desah Icha.
“He, kamu kan punya aku, sobatmu!” Kin mengacak kerudung Icha.

“Ya, aku bersyukur. Gaul sama kamu membuat aku nggak terjerumus ke hal-hal yang nggak bener. Coba kalau aku nggak berjilbab kayak gini, mungkin aku nggak akan ada bedanya dengan Liza ….”
“Allah sayang kamu, karena itu kamu diberinya hidayah, Cha!”
“Tapi perantaranya kan kamu.”
“Kayaknya itu nggak perlu dibahas, deh!” Suara Kin mulai terdengar galak. Icha tertawa kecil.

“Baiklah. Eh, ngomong-ngomong gue lapar nich.”
“Mau makan di rumahku?”
“Emang kamu masak?”
“Tadi aku sempat masak sayur asam, balado tengiri, sambal terasi dan ikan asin. Menu kesayangan mas Danu.”
“Wah, kayaknya sedap. Boleh deh, makan di kamu, apalagi kalau bareng mas Danu, hihi….”
“Eh, dilarang naksir kakakku, lho!”
“Kalau kakakmu yang naksir aku, gimana?” Icha membelalakkan sepasang mata indahnya seraya tertawa lepas. Ia tampak sangat bahagia.

BERSAMBUNG KE BAGIAN LIMA

CATATAN PENULIS:

Novel “Simfoni Bunga Rumput” ditulis pada tahun 2005 dan pernah terbit sebagai buku di FBA Press. Penayangan di website ini setelah melewati proses rewrite dengan penambahan bab-bab baru. Karena ditulis tahun 2005, setting novel ini tentu sangat berbeda dengan Jakarta saat ini. Ingin baca novel ini secara lengkap? Silakan klik NOVEL SIMFONI BUNGA RUMPUT


4 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here