Di Bawah Rindang

1
67

“Sengklek!”
Begitu orang memaki wanita itu.
Kali lain, orang lain pula mengecamnya dengan tanya, “Setan mana yang merasukimu?”
Akan tetapi, Rindang tak mempermasalahkannya. Wanita single mom itu gigih dengan tekadnya, keputusannya untuk terus bersikap keras pada Gulir, anak semata wayang peninggalan almarhum sang suami yang gugur dalam perang.

Bruk!
Anak laki-laki usia Sekolah Dasar itu jatuh bersimpuh.
Seorang wanita paruh baya tergerak untuk menolongnya.
“Biarkan!” pekik Rindang. “Biarkan dia bangun sendiri!” terusnya dengan nada yang tidak kalah keras.
“Oh, Ibu Edan! Kecelakaan otakmu! Sudah tahu anak jatuh, bukannya ditolong malah marah-marah begitu!” gerutu wanita yang ubannya telah menyembul semua itu sebelum menggariskan jemarinya di dahi sendiri, memaki dengan isyarat jari. Si Rindang ini benar-benar tak punya hati!

Itu baru satu potongan cerita. Belum scene ketika satu pagi buta mana akhir minggu pula. Saat semua anak sebaya Gulir asyik menikmati akhir pekan, Rindang justru mengurung putranya dengan setumpuk kertas ujian. Sesekali Gulir merajuk, Rindang pun mengamuk. Putranya meronta, namun sang ibu tetap pada pendiriannya.
“Ya, dia pasti sudah gila saat ini! Suaminya yang prajurit telah mati, anaknya dipaksa jadi tentara di rumah sendiri!” kata salah satu tetangga sebelah.
“Itu emak psikopat! Teganya menyiksa anak sendiri!” timpal tetangga sebelahnya lagi.

Suatu hari datang seorang ibu muda dengan pemikiran modern ala orang tua yang sering ikut seminar parenting dan keluarga. Dia datang bernegosiasi bertukar pikiran agar Rindang berhenti melampiaskan trauma dan patah hatinya pada Gulir. Akan tetapi, Rindang hanya menjawabnya, “Kamu tidak tahu apa-apa! Cepat pergi!”
Tidak kurang para kerabat dan sesepuh di kampungnya yang memberi intruksi, “Mbok ojo keras-keras karo anakmu lanang siji kuwi!
Namun, batok kepala Rindang terlanjur membaja, lebih kuat dari besi. Aroma tekadnya tetap mengudara tidak peduli semua caci maki yang penuh dengan kebencian hati.

Hari demi hari, bulan berganti, tahun pun begitu juga. Gulir beranjak remaja, tapi tidak ada yang berubah dari tabiat janda perang itu selain semakin ketat saja cara pengasuhannya.
“Ibumu itu sudah linglung! Minggat saja kamu, Lir!” usul salah satu teman Gulir suatu waktu.
Sang putra yang baru memasuki perjaka tahun pertamanya itu membuat keputusan di suatu senja, kabur dari rumah sang mama. Jauh Gulir melangkah menapaki jalanan menuju kota. Dengan mulut maju dan marah di kedua matanya dia berjanji tidak akan lagi hidup tersiksa bersama ibunya. Sampai akhirnya, dia ingat sebuah wacana kecil bahwa remaja hidup menggelandang di kota lebih baik mati saja atau selamanya jadi bulan-bulanan manusia yang tidak tahu seluk beluknya. Gulir menghentikan perjalanannya.

Krucuukk!
“Hah, lapar perutmu? Sudah balik kamu? Ingat rumahmu ini karena cacing-cacing yang menggerogoti ususmu itu? Rasakan! Jangan harap kamu dapat makan sampai besok pagi!”
Entah, itu memang Rindang telah kerasukan makhluk dari neraka bagian mana atau benar-benar sudah tidak waras lahir dan batinnya. Ibu macam apa yang tega melihat anaknya tidur dalam keadaan lapar?
“Ah, orang puasa juga lapar. Apa semalaman tidak makan kamu akan mati? Tidak bukan?!”

Malang benar nasib si Gulir sudah tak ada ayah dalam hidup ini dan mesti tinggal bersama seorang ibu yang larut dalam kekecewaan dan kesedihannya sendiri, nyaris sama sekali tidak bisa menaungi.
Namun, Gulir tidak punya banyak pilihan. Dia pun masuk ke jenjang Sekolah Menengah Atas. Dan di situlah rupanya semua pola asuh ibunya benar-benar mencapai tingkat terburuk sepanjang masa.

“Kamu tidak boleh makan sebelum selesai mengerjakan pekerjaan rumahmu! Salah satu, makan tanpa lauk! Salah dua, makan setengah porsi nasi! Kalau salah lebih dari tiga, tidak usah makan saja!”
“Kok, ulangan bisa dapat nilai serendah ini, Lir? Mau jadi apa kamu nantinya, hah? Pengemis? Peminta-minta? Sana! Ngemis sana!”
“Kamu pikir hidup itu enak saja tinggal nyadong terus dapat semua yang kamu minta? Lir, hidup itu usaha!”
Gulir saat itu sudah mendapatkan KTP-nya yang berarti cukup dewasa untuk bertanya mengapa ibunya senantiasa memperlakukannya sekeras ini?

“Gulir ini bukan Bapak, Bu!”
“Lha, memangnya siapa yang bilang kamu itu Bapak?” sahut Rindang ketus.
“Memang tidak ada! Gulir hanya ingin tahu saja, kenapa Ibu memaksakan semua kehendak Ibu pada Gulir? Gulir ini manusia, Bu! Punya hati, punya perasaan. Tapi, seolah Ibu tidak peduli!”

Rindang tertawa sinis, memuakkan sekali. Ibu macam apa yang punya tabiat macam dia?
“Kamu tahu, Anak Pemberontak? Nasi yang setiap hari kau jejalkan di mulutmu itu dibeli pakai uang. Tapi, yang berharga bukan itu, melainkan maknanya. Uang mana yang sanggup membeli gabah kopong tidak ada isinya? Kamu tahu padi yang baik itu tidak tumbuh langsung dipanen begitu saja. Padi butuh dirawat, dipupuk dan disiram juga. Kamu pikir hidupmu berbeda?”

Ya, Gulir sudah di akhir masa kanak-kanaknya, namun dia belum cukup dewasa untuk memaknai setiap kata sang ibunda. Dan tak lama, kelulusan pun diumumkan. Gulir tidak menyangka bahwa dia yang merupakan anak seorang single parent yang tidak banyak uangnya bisa masuk ke sebuah perguruan tinggi terbaik di kota. Bahkan dia, hanya dia, satu-satunya siswa di sekolahnya yang masuk ke kampus idaman teman-temannya itu dengan beasiswa penuh hingga wisuda. Gulir berniat pulang ke rumahnya, memberitahukan kabar gembira pada sang ibu. Tapi, kata Rindang, “Baguslah, berkurang juga akhirnya beban ibu! Ini kopermu!”

Gulir berangkat ke kota dengan uang saku seadanya. Memang setiap bulan ada jatah dari Rindang masuk ke dalam rekeningnya, tapi bukan itu yang menjadi masalah di kepala.
“Aku sudah berhasil kuliah dengan beasiswa, masih juga tidak memuaskannya. Aku benci dia sampai mati!”
Tahun pertama, berakhir. Tahun kedua pun begitu juga, Gulir tidak pernah pulang ke rumahnya. Selain enggan, juga karena merasa sudah bisa hidup mandiri tanpa ibunya. Namun, mau tak mau, di momen wisuda dia harus mengundang satu-satunya orang tuanya itu agar datang. Dari percakapan terakhir mereka, tampaknya hubungan anak dan ibu itu sudah mencapai level terendah sepanjang hubungan yang bisa dilakoni dua manusia. Jadi, Gulir yang sudah sarjana baik dengan atau tanpa kehadiran ibunya tidak berharap banyak.

“Dia tidak datang! Dia memang menganggapku sebagai salah satu beban yang dengan ketidakhadiranku maka sakit punggungnya akan sedikit berkurang!” geram Gulir dengan mata berkaca-kaca. Dia marah, sedih, dan kecewa. Meratapi nasib dan ingin sekali memaki bahkan kala dia ingat bahwa yang ingin dia sumpahi itu wanita yang telah melahirkannya ke dunia. Bagi Gulir yang cukup dewasa kini, sikap ibunya tidak layak sekali. Cukup sudah penderitaannya, kini dirinya tidak peduli lagi.

Namun, tiba-tiba, ponsel di sakunya mengeluarkan nada. Ada panggilan dari nomor yang dia tidak ingat itu milik siapa.
“Halo!” sapa Gulir seraya mendekatkan layar ke telinga.
“Dengan Mas Gulir Donya, ya?”
“Benar. Ini siapa?” tanya Gulir pada satu suara yang asing sekali.
“Saya bagian admin rumah sakit yang menangani ibu Mas Gulir. Mohon maaf sekali kami harus memberitahukan berita duka ini. Tapi, kami rasa kami sudah tidak bisa menutupinya. Nyonya Rindang Ayom sudah tidak tertolong lagi, Beliau sudah meninggal dunia.”

***

“Ibu, ayo pulang!” kata anak laki-laki usia Sekolah Dasar itu pada sang ibunda.
Sebenarnya, itu bukan rengekan pertama. Akan tetapi, wanita yang dia panggil ibu itu tetap saja bergeming di tempatnya. Justru ujarnya, “Hilal, tunggu sebentar lagi, ya!”
“Ah, Bapak selalu saja begitu. Kalau ziarah ke makam Oma pasti lama! Tidak asyik!” gerutu Hilal, anak usia sekitar tujuh atau mungkin delapan tahun itu.
Sang Ibu, Hanya namanya menarik napas dalam-dalam.
“Orang sudah mati kok masih ditangisi to, Bu! Kan dia sudah tidak ada di dunia! Buat apa?” kata Hilal lagi entah dapat ide kalimat macam itu dari mana.
Muntab.
“Tutup mulutmu, Le!” bentak Hanya dalam satu bukaan mulutnya. “Kamu itu tidak tahu apa-apa!” tegasnya dengan mata melotot bak ingin melompat saja itu bola kecoklatannya.
Tak ayal ciut nyali Hilal pada akhirnya.
Ibu seram kalau marah, seperti T-Rex!

Ya, mungkin itu yang ada dalam benak putranya. Namun, Hanya tidak mempermasalahkannya. Anak-anak memang demikian itu pikirannya. Mau naik ongkang-ongkang juga, tapi tetap saja logikanya belum sampai setingkat dengan orang tua. Lebih-lebih orang tua yang membuat seorang Gulir Donya menundukkan kepala pertanda penyesalan seumur hidup. Tidak ada yang bisa menjelaskannya mengapa bapak anak satu itu bisa sedalam itu tunduknya, kecuali surat yang sang istri baca beberapa saat yang lalu.

Lir, Gulir anakku!
Ibumu ini tidak bisa merangkai kata-kata syarat makna, apalagi sampai menjadi juara cipta puisi tingkat nasional sepertimu.
Ibumu ini tidak bisa memahami algoritma dan segala ubo rampe matematika, apalagi sampai memenangkan cerdas cermat dan dikirim ke olimpiade layaknya kamu.
Ibumu juga tidak bisa menghafal sejarah negara kita, apalagi untuk kembali menuliskannya menjadi esai seperti yang sering kamu lakukan itu.
Ya, Le, ibu tidak bisa semua itu.
Tapi, yang ibu tahu adalah kamu anak ibu, hajat hidupmu menjadi tanggungjawab Ibu.
Tidak peduli bagaimana orang berkata, nyatanya Bapakmu sudah tiada dan Ibu hanya punya satu dua kerabat yang tidak begitu akrab dengan kita.
Apa yang akan terjadi padamu jika menjadi pria lembek yang tak tahu tata krama?
Apa yang terjadi padamu jika kamu tidak bisa menulis dan membaca?
Apa yang terjadi padamu kalau sekolah hanya untuk main-main saja?
Dan apa yang kau lakukan untuk bertahan hidup apabila kelak nantinya Ibumu ini sudah tiada?
Kamu tidak bisa melakukan apa-apa!
Jadi, maafkan Ibu yang memberikanmu semua seruan murka, nada-nada tidak jelas bentuknya yang meluncur dengan kasar dari mulut seperti asap knalpot di jalan raya. Tolong, maafkan, Le!
Maafkan Ibu!

Hanya diam sesaat setelah kembali membaca surat ala kadarnya dari sang almarhumah ibu mertua yang dikenalnya lewat sebingkai foto dengan senyum nyaris tiada. Tanpa terasa air mata menitik di sudut mata ibunda Hilal itu sehingga sang anak mundur selangkah darinya. Rupanya, sikap merengeknya sudah membuat ibunya tergugu dalam sendu.
Hanya membiarkannya, biar si Hilal tenggelam dalam penafsirannya itu. Toh, nasibnya lebih mujur daripada ayahnya yang hanya mengganggu pusara dengan ribuan kata maaf setiap mereka bertemu sebagai seonggok pusara dan peziarah yang bertamu. Gulir pun seringkali menangis seperti kata putranya bahkan tidak jarang sampai meronta memanggil ibunya. Tapi, ya, sudah percuma. Sang ibu sudah bertemu Tuhannya sementara jasadnya sudah bersama kembali dengan dari mana asal manusia bermula dulu.
Tapi, yang paling berdosa adalah kertas di tangan Hanya yang satunya. Mengapa? Sebab ia muncul saat semua kalimat kebencian Gulir telah mengudara.

Rindang Ayom
Diagnosa : Liver angiosarcoma

“Dia tidak pernah mengatakannya, Dik!” ujar Gulir pada istrinya. Wajahnya yang memerah itu sudah berurai air mata. “Kanker hatinya sudah didiagnosa sejak lama, tapi Ibu hanya diam tak pernah sekalipun mengungkitnya. Kerjanya tiap hari marah-marah saja. Aku pikir karena itu adalah bukti kecewanya yang harus pontang-panting mengurus anak sendirian tanpa suaminya. Tapi, ternyata itu topeng semata. Ibu melakukan itu agar aku dan semua orang menyesal di hari pemakaman, menyesal bukan main. Harusnya aku datang di tiga tahun terakhir hidupnya, tapi aku malah bersenang-senang dengan teman-teman menikmati kebebasanku juga euphoria seorang calon sarjana dengan cum laude sebagai pialanya tanpa menyadari bahwa semua hasil yang aku raih apapun bentuk kesuksesanku, itu adalah jerih payah ibuku. Dia mungkin bisa sembuh dengan semua uang pensiun dari Bapak, tapi Ibu tidak pernah menyentuh sepeser pun uang itu, kecuali untuk biaya sekolah dan kuliahku saja. Untuk aku saja, Hanya!”

Air mata Hanya mbrebes mili layaknya kali yang mengelilingi bukit tinggi di mana Rindang Ayom membaringkan raganya. Sayup-sayup angin bertiup dan ibu beranak satu itu kembali mendengarnya, seruan tangis penuh sesal sang suami.
Hanya teringat betapa dia manja pada sang suami ketika baru melahirkan Hilal dulu. Bahkan dia mengaku terkena sindrom baby blues juga waktu itu. Sedihnya berkepanjangan, dia pikir itu sebuah kewajaran. Dia yang merasa kelelahan sering membuat alasan. Ini itu sampai kadang tidak berperasaan dan Hanya masih berpikir itu patut dia lakukan. Hanya tidak tahu bahwa menjadi seorang ibu bisa lebih berat ketika membesarkan anak seorang diri sambil terus digerorogi penyakit kronis tepat menyerang organ hati. Tidakkah lebih menyakitkan rasanya? Mungkin, jika bisa memilih Rindang Ayom lebih suka seribu kali mengalami sindrom ibu pemula daripada harus bertarung nyawa dilengkapi bertarung imaji orang sekitarnya yang mulutnya jahat semua. Tapi, hebatnya Rindang Ayom, dia bertahan di sana, belantara tak berteman, kecuali dengan spekulasi negatif seumur hidupnya. Wanita edan, pemilik trauma sepanjang masa karena harus manjanda.

Namun, akhirnya Rindang Ayom bisa tertawa terbahak-bahak di kuburannya yang mewangi sampai hari ini itu ketika semua orang terluka oleh pedang-pedang yang mereka hunus sendiri, menohok langsung tepat di ulu hati. Mereka menyesal dengan ucapannya sementara yang dimintai maaf sudah tidak sudi. Ya, tidak ada beban perikemanusiaan ketika orang sudah mati.
Dan yang Hanya pelajari sejauh ini bukan semua sikap mereka bahkan bukan tangis Gulir Donya yang terus membanbijiri makam induk semangnya. Tapi, nilai yang timbul tenggelam di genangan air mata suaminya di mana arti ibu yang sesungguhnya berada, terus memayungi anaknya walau sudah tidak lagi berhembus napasnya. Tidak hidup lagi seorang ibu yang sudah tiada, kecuali di setiap keberhasilan sosok yang ditimangnya ketika bayi dan dibesarkannya hingga dewasa.

****


1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here