“Sst…, mas!” mendadak Kin menarik lengan mas Danu.
“Ada apa, sih?” sentak mas Danu, agak jengkel. Ia memang selalu begitu jika diganggu keasyikannya. Bagi pria itu, ilmu adalah segalanya. Sedang menempuh studi S3 di sebuah kampus dalam negeri favorit, menjadi dosen muda berprestasi, keranjingan riset, sampai lupa bahwa usianya sudah lewat 30 tahun. Danu tak terlalu jelek, wajahnya manis, penampilan selalu rapi, jika mau, dia akan mudah mencari pasangan. Bahkan, Icha pun sering bertanya-tanya kabar abangnya itu. Tetapi, bagi Danu, menikah membutuhkan pemikiran yang sangat mendalam. Sebuah sikap yang menurut Kinanti agak keliru, mengingat Danu sebenarnya cukup religius, dan pasti tahu bahwa menikah adalah sunnah Nabi.
Lah, kamu pikirannya pernikahan dini aja. Ulama-ulama juga banyak kok, yang nikahnya udah tua, karena sibuk belajar, begitu dalihnya. Kin hanya bisa geleng-geleng kepala.
“Aku kenal cewek yang sedang duduk sendirian di kafe itu!” Kinanti menunjuk ke sebuah kafe yang hanya dibatasi dengan kaca transparan, tampak jelas dari toko buku tempat mereka menghabiskan waktu malam minggu itu. Mas Danu sedang mencari buku terbaru untuk mendukung pembuatan papernya. Dia mau mengikuti international conference di Hongkong. Klop sudah dengan hobi Kin mengudak-udak toko buku. Biasanya, sulit sekali mengajak abang semata wayangnya itu jalan bareng.
“Berapa ribu orang sih, yang kamu kenal,” ujar mas Danu, tak tertarik. “Preman-preman di pasar Senen, pedagang kaki lima di dekat rumah, juga calo-calo bus di Pulogadung saja kamu tahu. Kamu kan artis!”
“Eh, ini menarik. Dia ini salah satu mahasiswa baru Unmaja, mas.”
“Ada hampir dua ribu mahasiswa baru di Unmaja.”
“Yang ini punya kasus menarik, mas ….” Kin kembali mendongakkan leher, mempertajam penglihatannya. Pandangannya dengan mudah menembus kaca-kaca bening yang membatasi outlet-outlet di mall tersebut. Benar … cewek yang sedang duduk termangu itu … Ayu.
Betul, gadis itu adalah Ayu. Penampilannya yang begitu feminim membuat tak seorang pun percaya, bahwa ia baru saja menamatkan SMU-nya tahun ini, alias masih mahasiswa semester satu. Mengenakan busana yang agak terbuka, berwarna merah terang, dengan aksesoris senada, dan dandanan kelas tingginya … ya ampuun!
Tak lama Ayu termangu dalam kesendirian, karena beberapa menit kemudian, seorang lelaki setengah baya bergaya modis—metrosex, berjalan menghampirinya. Mereka terlihat berbincang-bincang sesaat, ketawa-ketiwi, lalu Ayu mengangguk-angguk sambil menyunggingkan senyum menantang.
Sebuah kencan terjadi? Tubuh Kin mendadak terasa merinding.
Ketika mereka berdiri dan beranjak keluar, mendadak Kinanti ingin mengetahui lebih lanjut, apa yang akan mereka kerjakan. Gadis itu pun bergegas keluar dari toko buku, menuruni eskalator, menyelinap di balik tembok mall dan memperhatikan aksi mereka dengan seksama. Rupanya mereka kini masuk ke sebuah mobil mewah berwarna putih perak. Mereka terlihat sangat akrab, dan mesra. Pelan-pelan mobil itu pun bergerak, meninggalkan halaman mall itu.
“Ngelihatin siapa, Neng?” tanya seorang satpam.
“Ng … barusan yang lewat itu … adik kelas saya di kampus.”
“Oh, dia itu mahasiswa, ya?” Tawa kecil yang keluar dari bibir Satpam itu membuat Kinanti dengan serta merta menoleh. Sepertinya satpam ini kenal Ayu.
“Betul. Abang kenal?”
“Nggak kenal, sih. Cuma sering liat aja. Tapi semua juga tahu, siapa cewek cakep itu. Dia sering mangkal disini. Sayang tarifnya mahal banget, hampir sama dengan gaji gue sebulan, gila nggak? Padahal dia kan masih ijo banget, tapi soal kelihaian … jangan tanya, deh!” Lagi-lagi Satpam itu tertawa, bahkan kali ini terbahak-bahak.
“Oh, kalau itu, saya nggak tahu,” ujar Kin, cepat. Satpam ini bisa memberi penilaian yang tidak baik padanya. “Saya cuma kaget aja ngelihat ada adik kelas saya ada di sini. Belum sempat tak panggil, udah kabur duluan!”
Satpam itu tertawa. “Emang kampus Eneng banyak ayamnya, ya?”
“Ayam?” Kin mengerutkan kening. “Maksudnya?”
“Eh, si Eneng ini lugu sekali. Maksud saya, ayam kampus.”
“Oh …,” Kin kebingungan. Itu to, maksudnya? Kabarnya sih … banyak.
“Cewek itu, gadis panggilan kelas tinggi, Neng ….”
“O, ya?” Jadi benar isyu yang berkembang saat ini. Ayu itu … ah, tidak tega menyebutnya.
“Neng nggak tahu, ya?”
“Ngg … saya belum terlalu kenal dia, saya cuma tahunya dia itu mahasiswa di kampus saya. Gitu aja! Maaf ya, saya mau ke atas lagi!”
“Hati-hati lho, jangan sampai Eneng kebawa-bawa. Sayang tuh, sama jilbabnya! Soalnya, sekarang banyak juga tuh, cewek-cewek nggak bener yang pada pakai jilbab.”
Kinanti tersenyum kecut, lalu berbalik.
“Sejak kapan sih, suka jadi tukang kuntit?” sergap mas Danu, tampak kurang suka. Kinanti merah padam. Tukang kuntit? Benar juga …. Lagian, ngapain juga sih ia pakai menguntit si Ayu segala. Ngg … penasaran aja … soalnya, dia kan adik binaan di Pomaru.
“Bukan menguntit, mas … investigasi!” ujarnya, membela diri.
“Uh, investigasi, investigasi apaan? Di mana-mana yang namanya cewek itu selalu senang ikut campur urusan orang lain. Suka ngusik-usik privasi, terus nyebar gosip yang enggak-enggak!” tuduh mas Danu. “Kamu ini berjilbab, Kin! Mestinya bisa lebih bijak lagi. Kamu bukan sembarang cewek, tahu nggak?!”
“Ih, mas Danu ini su’udzan banget, lho! Aku bukannya ….”
“Sudah, sudah! Jangan bertengkar di tempat umum, nggak baik!”
“Bukannya mas yang mulai?” sengit Kin. Untungnya mas Danu hanya diam, kemarahan Kin pun meluntur dengan sendirinya.
Baca novel ini sejak bagian pertama? Klik saja: NOVEL SIMFONI BUNGA RUMPUT
Jam sepuluh lebih, kuliah Profesor Barata akhirnya selesai juga. Kin membereskan transparasi-transparasi yang menjadi bahan kuliah kali ini. Kerjaan sebagai asdos … asisten dosen. “Kinanti, pekan depan saya tidak bisa mengisi kuliah. Saya ada agenda keluar kota. Rencananya saya akan memberi kuis mendadak. Kau tolong awasi, ya?” kata Profesor Barata, di luar ruang.
“Ya, pak!” ujar Kin seraya mengangguk.
Sekitar seratusan mahasiswa, mayoritas semester satu keluar dengan celotehan-celotahan khasnya. Ramai, gegap gempita. Maklum, masih mahasiswa baru! Semangatnya masih menggebu-gebu. Kin mengawasi beberapa sosok yang masih duduk di kursinya masing-masing. Liza, Ayu, Tracy, Angel, Tika dan Clarissa. Lengkap, alhamdulillah! Rupanya, keberadaannya sebagai asisten dosen untuk mata kuliah Prof.Dr. Barata yang terkenal killer itu cukup membuat mereka merasa segan berurusan dengan dirinya. Maklum, cara mengenalkan Profesor Barata akan dirinya kepada para peserta kuliah jelas-jelas sangat menonjolkan perannya.
“Kinanti ini asisten dosen saya. Semua mata kuliah yang saya pegang, jumlahnya ada 12 SKS, semua dibantu oleh dia. Dia memang masih mahasiswa, tetapi kemampuannya lebih dari seorang dosen lulusan S2, jadi jangan main-main dengannya. Setiap nilai yang saya berikan untuk para mahasiswa, selalu saya minta pertimbangan darinya!”
Agak berlebihan, bahkan bombastis sebenarnya! Tetapi memang begitulah kenyataannya. Prof. Dr. Barata terlalu sibuk. Beliau menjadi pengajar senior di beberapa universitas swasta, dan status utamanya adalah pengajar di FH UI. Karena itu, hampir semua urusan kuliah ditangani olehnya, termasuk menyediakan transparasi, memberi kuis, hingga mengoreksi hasil ujian. Kin sering bertanya-tanya dalam hati. Siapa sebenarnya dosen mata kuliah pengantar ilmu hukum? Prof. Barata, atau dirinya? Tapi diluar itu, sang Profesor sangat baik. Selain royal memberi bonus, dia juga sering meminjamkan buku-bukunya yang seabrek. Juga beberapa kali mengajaknya di proyek-proyek riset.
Profesor Barata ini memang unik. Rumahnya sederhana, mobilnya pun hanya produk 90-an. Tetapi jangan tanya koleksi bukunya? Bikin berdecak kagum! Apalagi istrinya juga seorang doktor ilmu sosial yang pecandu buku. Suami istri satu tipe, klop-lah! Kin merasa tengah masuk ke dalam surga ilmu jika diberi kesempatan mengunjungi perpustakaan sang profesor.
“Hai!” sapa Kin kepada ke-6 makhluk yang duduk membisu di kursinya masing-masing. Tampaknya mereka merasa terpaksa tetap berada di ruangan tersebut. “Bisa kalian berkumpul di sini saja!”
“Suara kamu kan cukup keras!” ujar Tracy, tak ramah. “Tanpa harus ngumpul, gue juga udah dengar.”
“Lagian, sebenarnya apa sih mau para senior? Nggak tahu deh … sampai sekarang gue belum juga mengerti,” sentak Clarissa. “Kami kan ke sini mau kuliah, bukan mau main ketoprak dengan menyembah-nyembah senior.”
“Hei, kalian jangan salah. Ini bukan ketoprak dan saya nggak minta disembah-sembah. Lagian, saya juga nggak punya tampang jadi ratu. Bagusnya sih jadi Simbok Emban, dan kalianlah para ratunya,” ujar Kin, sedikit bercanda. Namun sejurus kemudian, suaranya berubah tegas. “Tolong, sekarang semua ngumpul!”
Sambil menggerutu, mereka akhirnya mendekati Kin yang duduk manis di sebuah kursi dekat pintu.
“Begini, adik-adik!” Kin menatap ke-6 adik kelasnya itu, tajam. Ekspresi mereka beragam. Tracy balas menatapnya, tak kalah tajam, dengan tatapan berkelasnya yang menampakkan keanggunan bangsawan, sekaligus pandangan meremehkan. Liza menunduk takut-takut, sekali-kali mencuri pandang ke arah Kin, Angel dan Clarissa melengos, Tika menyeringai, dan Ayu tersenyum manis. Sesaat tatapan mereka bertemu dan dada Kin mendadak terasa perih. Ayu … gadis ramah itu… ternyata seorang … perempuan panggilan!
“Di setiap institusi apapun, termasuk kampus,” lanjutnya, dengan tekanan suara yang katanya sih, cukup berwibawa, “selalu saja akan kita temui sebuah aturan main. Aturan itu sengaja diciptakan untuk membuat kita semakin baik. Itu harus kita yakini. So, jika kalian memasuki kampus tersebut, mau tidak mau, kalian pasti harus mengikuti aturan main yang tersedia, bukan? Nah, di organisasi kemahasiswaan kampus ini, yakni Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas, juga ada sebuah aturan main yang mengikat mahasiswa baru di sini untuk mematuhinya.”
“Apa bentuk aturan main itu?” tanya Angel, tajam. “Mereka membentak-bentak, menyuruh-nyuruh kami seenaknya, dan kami harus menunduk, diam, menurut, begitukah? Aturan seperti itu kamu katakan akan membuat kita semakin baik? Bah! Jangan mencoba membohongi kami.”
“Itu sih, namanya penindasan,” ujar Tracy, dingin. “Sudah lama peloncoan dihapus, itu setahu saya. Dan kita mendambakan kehidupan yang demokratis dalam segala hal.”
“Ya, kamu benar, Tracy! Peloncoan itu sebenarnya tidak ada pada aturan main yang kami terapkan. Jika kamu merasa ditindas oleh senior, saya bahkan menganjurkan, agar kalian berontak. Kalian berhak mendapatkan keadilan.”
“Tetapi kami diancam!” ujar Tika. “Bagaimana mungkin kami bisa berontak?”
“Tak perlu takut. Orang hanya bisa menindas si lemah. Jika kita kuat, maka tak akan ada orang yang berani bersikap main-main kepada kita!”
“Kenapa sih, kami harus tunduk pada aturan main kalian. Kan kalian ini cuma mahasiswa biasa seperti kami?” tanya Ayu, kritis. “Sebagai sesama mahasiswa, sepertinya tak perlu ada deh, yang namanya sekat perbedaan senior-junior. Itu sudah produk sangat kuno yang mestinya dilengserkan. Katanya para mahasiswa itu anti militer, tetapi dengan adanya perbedaan senior-junior, itu menandakan bahwa kita pun sama dengan militer.”
Gadis ini menyenangkan, berbeda dengan kelima temannya. Analisisnya tajam, ilmiah. Sepertinya dia memang cukup cerdas. Sayang, latar belakangnya pun paling kelam. Masih terbayang jelas kejadian semalam di benak Kin.
“Betul. Tetapi BEM juga memiliki sebuah wewenang yang dilegalkan oleh dekan. Dan kami bukanlah sekelompok mahasiswa yang lahir begitu saja. Kami ada karena dipilih oleh sebuah mekanisme yang sangat demokratis. Artinya, kami juga memiliki sebuah legitimasi untuk menerapkan aturan main.”
“Ah, berbelit-belit!” tukas Clarissa. “Kalian ini cuma mahasiswa. Jangankan mahasiswa, dekan, bahkan rektor saja gue nggak takut, tahu nggak? Babe gue adalah ketua yayasan yang menguasai kampus ini. Jika gue diperlakukan macam-macam, gue bisa lapor ke Babe gue, tahu!”
Hmmm, jadi si sombong ini adalah putri Tuan Besar RM. Wisnu Darmadi, ketua yayasan yang juga seorang pejabat tinggi, dan pernah menjabat menjadi wakil menteri selama satu periode itu? Pantas gayanya luar biasa, seakan semua yang ada tersedia khusus untuk melayaninya. Gadis yang angkuh dan manja….
“Lo bilangin aja ke Babe Lo, minta BEM dibubarkan!” hasut Tika.
“Iya, biar pada tahu rasa.” Tracy merengut.
“Clarissa, Tika, Tracy … benar bahwa kampus ini milik yayasan. Tetapi ingat, ribuan mahasiswa yang ada, tidak kuliah dengan gratis. Mereka bahkan membayar sangat tinggi. Kenapa mereka mau kuliah? Salah satunya adalah karena ada dosen-dosen yang berkualitas. Karena kegiatan mahasiswa yang bagus. Itu bikin akreditasi kampus kita bagus. Jika tak ada yang mau kuliah disini, maka kampus ini tidak akan bisa sebesar sekarang.”
“Babe gue punya banyak duit untuk ngebiayain kampus!”
“Apakah kau yakin, ayahmu sebaik itu?” justru Ayu yang bertanya dengan nada sinis. “Yang mau mengeluarkan uang untuk sesuatu yang tidak menghasilkan? Ah, aku tidak percaya!”
“Betul!” sahut Angel, seperti biasa dengan nada ketusnya. “Mana ada orang seperti itu di zaman yang penuh borok seperti sekarang ini?” Bagus, antarmereka sudah mulai ada perpecahan. Kin sekarang tidak lagi berhadapan dengan sebuah kelompok yang kompak mbalelo.
Clarissa terdiam sesaat. Namun tampak jelas bahwa ia tidak menyukai ucapan Ayu dan Angel barusan. Namun entah mengapa, dia memilih diam. Tracylah yang kemudian tampak tak bisa menyembunyikan kekesalannya.
“Sudahlah … ayo segera pulang! Aktivitas kita kan nggak cuma kuliah. Gue sangat sibuk, tahu … syuting, foto ….”
“Bukan cuma kau yang sibuk!” tukas Angel. “Saya juga sibuk.”
“Sibuk ngapain?” cibir Clarissa. “Ngurusin anak Lo itu? Yang nggak jelas babenya itu?”
“Diam!” bentakan Angel yang tiba-tiba itu terdengar mengguntur. Kin sendiri sampai terhentak dari tempat duduknya. Angel terlihat seperti macan terluka. Ia meloncat ke arah Clarissa, mencengkeram kerah blousenya. “Lo nggak gue izinkan mengorek-orek kehidupan gue, tahu!”
“Hei, kau ini siapa?” mendadak Clarissa balas menjambak rambut sebahu Angel. “Hak gue ngomong kayak gitu.”
“Jangan bikin gara-gara, Lo!” Angel cepat mengibaskan tangan Clarissa keras-keras.
“Lo nantang gue, ya?” Clarissa tak mau kalah gertak.
“Oke! Lo pikir gue nggak berani menampar kamu, hah?”
“Eh, sudah-sudah!” Ayu mencoba melerai pertikaian itu. Namun Clarissa membentaknya.
“Diam, Lo perek!”
Ayu tersentak. Ia berdiri mematung, dengan bibir gemetar dan sepasang mata berkaca-kaca.
“Perek jelek tidak punya hak buat nyampurin urusan gue, tahu?”
Angel yang tidak terima. Ganas ia mendorong Clarissa hingga membentur tembok kelas.
“Mulut yang kau miliki benar-benar tajam. Kau tidak pernah mengalami kekerasan hidup. Kau hidup dalam kemanjaan, sehingga bisa bersikap seenak hatimu. Aku doakan agar ayahmu dipecat dari jabatannya, dan kau menjadi jatuh miskin, lalu untuk menyambung hidup, kau terpaksa menjadi perek!” geram Angel.
“Brengsek, kauuu!!” Clarissa berteriak keras-keras.
Duh, kenapa jadi gawat seperti ini? Kin garuk-garuk kepala. Namun ia tak bisa berbuat apa-apa ketika tanpa permisi Tracy meraih tasnya dan bergegas keluar, diikuti Tika. Setelah mengeluarkan makian panjang lebar, Clarissa pun mengikuti langkah kedua temannya.
Lagi-lagi tinggal tiga orang. Liza yang masih bungkam seribu bahasa, tenggelam dalam dunianya, Ayu yang masih gemetar menahan tangis, dan Angel yang merah padam menahan amarah.
“Sepertinya, kondisi tidak memungkinkan kita untuk bicara,” ujar Kin, lelah. Menghadapi kelompoknya itu, ia benar-benar kehilangan banyak energi. Padahal baru beberapa hari dia mendampingi mereka. Sementara, program mentoring BEM untuk mahasiswa baru direncanakan hingga satu semester. Jangan-jangan habis ini, berat badan Kin turun drastis dan nanti dia akan tersulap menjadi jerangkong hidup.
“Maafkan saya, Kak!” kata Ayu. “Ini semua gara-gara saya ….”
“Bukan!” ketus Angel. Sepertinya dia memang tidak terbiasa berkata-kata kecuali dengan nada ketus. “Gadis manja itu memang harus mendapatkan pelajaran!”
Sebuah ide tiba-tiba melintas di kepala Kinanti. “Eh, kayaknya kita semua merasa bete, ya? Habis, kita kan tadi kuliah sejak jam 7 pagi. Gimana kalau kita minum jus di kantin?” Kin mencoba mengeluarkan senyum termanisnya yang konon sering bikin orang gemes dan terpaksa jatuh hati itu. “Sekarang, biar saya yang traktir. Hitung-hitung, sebagai tanda perkenalan kita!”
“Ide yang bagus!” ujar Ayu.
“Aku setuju. Haus juga nich,” Liza yang sejak tadi diam kini bersuara.
“Kau gimana, Angel?” tanya Kin.
“Boleh!” jawab gadis itu, singkat, tegas.
Awal yang baik!
Baca novel ini sejak bagian pertama? Klik saja: NOVEL SIMFONI BUNGA RUMPUT
“Hai, pada mau kemana?” tanya Icha setengah berteriak, sembari berlarian menuruni tangga, menghambur ke arah Kin dan kawan-kawan.
“Mau cari ice juice,” jawab Kin. “Mau gabung? Bagus dong, sekalian traktirin kita-kita.” Lalu dia berbisik di dekat Icha, “aku masih pailit.”
“Kenapa nggak sekalian cari makan siang? Gimana kalau kita nyicipin steak di kafe baru dekat Monas? Kata abang gue, rasanya selangit! Iya, iya, gue yang traktir, tenang aja!” ucap Icha berapi-api.
Kin nyengir. Gayanya anak gedongan ya begitu itu. Icha pernah bercerita tentang kafe itu. Berbusa-busa promosi, membuat Kin diam-diam berpikir, apa mungkin Icha memang dibayar buat nge-promoin itu kafe? Harga satu porsi steak katanya murah meriah itu ‘cuma lima puluh rebo’. Lima puluh ribu, bo! Mereka berlima, berarti Icha harus mengeluarkan kocek setidaknya dua ratus lima puluh ribu, hanya untuk makan siang.
Hm … kalau kau tahu, bahwa gaji seorang buruh rendahan di Jakarta sebulan cuma dua juta perak, padahal mereka harus menghidupi keluarga mereka… barangkali kau akan pikir-pikir untuk mengeluarkan duit, Cha. Gaji pensiunan Bapak selaku PNS golongan 3B saja hanya sekitar dua jutaan. Dan jatah bulanan Kin, tak sampai sejuta. Mungkin jatah bulanannya, ditambah beasiswa dari kampus, masih di bawah jatah uang saku Icha sebulan.
Suatu saat, ia harus berdiskusi soal itu dengan sahabat terdekatnya itu. Untuk mengajarinya lebih berhemat. Uang bukan masalah buat Icha yang orangtuanya memiliki lebih dari selusin perusahaan besar, tetapi, berhemat akan membuat uangnya jauh lebih bermanfaat. Tapi, bukan sekarang. Ia tak tega memupus kegembiraan Icha.
“Gimana, setuju?”
“Wah, asyik juga!” ujar Ayu, reaktif. Angel dan Liza membisu.
“Kita pakai mobilku aja. Cukup kok, untuk berlima. Kalian pada bawa mobil?”
Angel dan Ayu menggeleng.
“Liza nggak?” Icha menatap adik sepupunya itu.
“Gue dijemput, Kak!” jawabnya, lirih. “Gue udah nggak diizinin pakai mobil sendiri. Sekarang gue nggak boleh kemana-mana sendiri.”
“Siapa yang menjemput?”
“Sopir.”
“Oke, aku akan telpon Om Surya, Papa kamu, minta izin agar nanti aku yang ngantar kamu pulang!”
“Terserah saja …,” jawab Liza lagi, tak bersemangat. Ia memang selalu terlihat kuyu. Narkoba telah merengut segenap gairah kemudaannya. Kasihan, dia!
Mereka berjalan beriringan menyusuri koridor kampus. Pelan Kinanti meraih tangan Liza, mencoba menggandengnya. Gadis morfinis itu menolehnya sebentar, lalu tersenyum pasrah, membiarkan kakak kelasnya itu terus menggandengnya. Di samping mereka, Angel sekilas melirik, lalu kembali tatapannya lurus ke depan, kaku. Seberapa kuat luka hati yang diderita oleh gadis itu sehingga nampak benar-benar mendendam terhadap segala pernik kehidupan. Gadis-gadis muda yang malang, desah Kinanti.
Pada saat itu seorang mahasiswi tiba-tiba berlari ke arah mereka, menghambur ke arah Ayu. Tanpa pendahuluan apa-apa, mendadak ia meraih kerah kemeja Ayu, menariknya kuat-kuat. Wajahnya merah padam menahan amarah. Kin terbelalak melihat adegan yang muncul diluar perkiraannya itu. Ada apa nich?
“Rupanya kamu pelacur yang telah menghancurkan kebahagiaan keluarga kami, ya?! Brengsek kau! Kubunuh kau!!!” teriak mahasiswi itu. Beberapa teman mahasiswi itu berlarian mengejarnya.
“Sabar, Len! Sabar …!”
“Gue mau bunuh cewek gatel ini! Tega-teganya dia menggoda suami orang? Heh, kamu memang muda dan cantik … tetapi Lo nggak ada apa-apanya dibanding babe gue, tahu nggak!” Leny, mahasiswi hukum seangkatan Kinanti dan Icha itu terus menerus berteriak histeris. Ia menunjuk-nunjuk muka Ayu dengan marah.
“Apa-apaan, ini?” tanya Ayu, gugup.
“Kemarin gue lihat, Lo jalan bareng sama Babe gue. Lo telah membuat Babe gue tergila-gila dan lupa sama keluarga! Benar-benar wanita murahan! Dasar pelacur! Lo mau hancurin keluarga gue, hah?! Gue bunuh Lo … mampuuus Loooo!!!” kembali Leny menyerang Ayu dengan cakarannya, namun cepat dicegah teman-temannya, termasuk Kin dan Icha yang dengan cepat bertindak. Kalau tidak, wajah Ayu bisa koyak moyak. Kuku-kuku Leny itu lho … panjang-panjang dan tajam!
“Len, tenang Len …!” hibur Kinanti. “Sebaiknya jangan hadapi permasalahan ini dengan emosional!”
“Kin, Lo jangan campuri urusan ini! Please … biar gue hajar cewek tak punya malu ini! Biar kapok! Dia sudah membuat keluarga gue berantakan, tahu nggak?! Gue benci banget sama dia … gue pengin bikin perhitungan sama dia …!! Please, jangan campuri urusan gue! Lo nggak pernah kan, ngerasain punya keluarga porak-poranda? Rumah gue sekarang tak lebih sebagai neraka! Dan ini semua gara-gara gadis sialan ini!” ujar Leny, berapi-api.
“Sudahlah, Len!” beberapa teman yang lain menarik tubuh Leny, menjauh. “Sebaiknya Lo pulang aja! Ayo … gue antar!”
“Brengsek Lo, cewek murahan! Brengseeeeek!!”
Teriakan Leny lama-lama terdengar samar. Kinanti dan Icha saling pandang. Sementara Ayu tertunduk dengan wajah merah. Tiba-tiba tangis gadis itu pecah, lalu ia menghambur, berlari pergi!
“Yu … Ayu!” panggil Angel seraya mengejarnya. Namun Ayu tetap berlari, menuju pintu gerbang, menyetop sebuah taksi yang kebetulan lewat. Taksi itu pun beranjak meninggalkan kampus. Angel tampak tertegun. Ia berbalik menatap Kin, Icha dan Liza yang masih termangu sesaat. Lalu, tanpa persetujuan, ia mengikuti jejak Ayu. Menyetop bus kota, kabur juga.
“Lho, pada pergi semua?” Liza bengong.
“Nggak papa! Kali ini, kita khusus mentraktir adik kita yang manis!” Kin merangkul pundak kerempeng Liza, hangat. Icha tertawa geli, sementara Liza hanya tersenyum tipis. Mendung yang bergumpal di matanya … kapan akan sirna?
CATATAN PENULIS
Novel “Simfoni Bunga Rumput” ditulis pada tahun 2005 dan pernah terbit sebagai buku di FBA Press. Penayangan di website ini setelah melewati proses rewrite dengan penambahan bab-bab baru. Karena ditulis tahun 2005, setting novel ini tentu sangat berbeda dengan Jakarta saat ini. Baca novel ini sejak bagian pertama? Klik saja: NOVEL SIMFONI BUNGA RUMPUT
Makin seru, lanjoooot