Cincin Akik Mbah Miskun

0
105

Aku sedikit terkejut saat melihat sosok Mbah Miskun yang dibonceng Huda keluar dari kantor, entah menuju ke mana. Sekilas Huda terlihat berseri, sementara Mbah Miskun—seperti biasa, wajahnya datar dan kering ekspresi. “Kalau anaknya Pak Zabid sembuh, aku akan minta penarik jodoh dari Mbah Miskun juga,” suara Huda tempo hari kembali mengiang.

Perasaanku memburuk begitu teringat surat pensiun yang sudah kuketik dengan perasaan lega kemarin. Langsung kuambil HP, menghubungi Sahrul yang beberapa hari lalu sempat menanyakan lowongan kerja di kantor ini.

* * *

“Daniel semalam nggremeng terus, teriak-teriak ke sana-kemari, sampai kami begadang semalaman. Beberapa tetangga yang melihatnya bilang, sepertinya anakku ketemper. Kau tahu sendiri kan, kemarin aku memang ikut turun langsung saat penebangan pohon asem tua dekat jembatan timbang Lebuawu itu,” wajah Pak Zabid, atasanku, serius. Kedua kantung matanya sedikit bengkak. Beberapa sapaan yang menyalaminya lewat begitu saja tanpa balas.

“Jangan-jangan Daniel punya masalah terpendam, Pak.”
“Masalah apa?”
Belum juga kuutarakan pendapatku, lelaki botak itu sudah terhubung entah dengan siapa. “Siapa Anggraini itu?” kedua matanya menyipit. Suara di seberang menyahut lagi. Sepertinya teman Daniel.

“Pacarnya? Oh, ditolak?” sahut Pak Zabid dengan dahi mengerut dan ekspresi kecut. Wajah itu bertambah penuh kecemasan setelah menutup percakapannya.
“Bisa panjang kalau urusannya begini,” gumamnya kemudian, sebelum kemudian bertanya, “Apa kau punya solusi? Padahal aku masih ingin dia sekolah lagi. Agar titelnya cukup untuk bekal cari kerja.”

“Lebih baik ke psikiater, Pak. Mumpung belum telat.”
Aku ingin menyesali kalimat terakhirku itu, tapi telanjur telat oleh tatapan sinis atasanku ini. “Mbah Miskun ada di mana ya?” ujarnya kemudian. Dan tanpa menunggu jawaban dariku, Pak Zabid melenggang begitu saja. Mencari Mbah Miskun.

* * *

“Kubuka dari harga lima ratus ribu saja, deh,” Lukman membuka acara lelangnya di jam istirahat kantor. Suasana perlahan menjadi ramai. Meja kerjanya menjadi pusat kerumunan.
“Lima puluh ribu, aku ambil. Akik begituan ada banyak di Pasar Pecangaan dan pasar loak Kali Gelis Kudus sana!” suara Lutfi.
“Enak saja! Aku belinya dua juta. Rugi berapa itu kalau kau beli segitu?”
“Siapa suruh kamu manut Mbah Miskun? Ya sudah, seratus ribu deh…”
“Akiknya Mbahmu po… kecil-kecil gini, dapatnya juga dari wangsit, semedi…”

Terjadi sahut-menyahut. Tawar-menawar harga. Dan sesekali ejek dan tawa. Keramaian itu pun berhasil menyita perhatian Pak Zabid sejenak.
“Lukman, Pak. Kemarin dia sempat beli cincin berakik Ruby seharga dua juta dari Mbah Miskun. Katanya sih buat penglarisan. Tapi tokonya masih saja sepi. Cincin itu dijualnya lagi buat tambah biaya pindah lokasi,” kuiringi langkah lelaki paruh baya itu ke lobi kantor. “Sepertinya belakangan orang tua itu semakin rajin sekali cari penghasilan tambahan.”

“Kemarin beliau juga menawariku sebuah keris?”
“Bapak beli juga?” langkahku terhenti.
Detik selanjutnya Pak Zabid menarikku ke kantin. Kami biasa membicarakan pekerjaan perencanaan pembangunan kota di situ, juga kadang membicarakan beberapa anak buahnya yang ‘kena radar’—kurang beres. Sembari menunggu pesanan datang, beliau pun menjelaskan…

“Ini…,” diambilnya dompet dari saku belakang celana. Beliau pun mengeluarkan sebilah keris seukuran kelingking bocah dari dalam dompet itu. “Katanya pusaka ini didapat dari makam Syekh Abdul Aziz di Teluk Awur sana. Belum ada penunggunya. Dan aku diberi tugas Mbah Miskun untuk memanggil khodam yang sekarang tememplok dalam tubuh Daniel agar mau pindah ke sini.”
“Caranya, pak?” tanyaku, hampir tertawa.
“Caranya dengan memperlakukan keris ini seperti anakku sendiri.”
Aku berusaha menguasai emosiku sendiri sebelum kemudian berujar, “Pak Zabid percaya begitu saja?”

Beliau terdiam.
“Tadi Bapak lihat Lukman kan?”
Soto pesanan kami datang tepat di saat kami butuh sedikit jeda.
“Saya memang bukan ahli agama, Pak. Tapi perkara-perkara model begini katanya mendekati syirik, menyekutukan Tuhan.”
Lelaki itu terburu menyantap soto kudusnya yang masih mengepulkan asap. “Apa aku harus membuangnya?” tanpa menoleh kepadaku.

Cincin berakik Zamrud di jari tengahku tanpa sadar telah mengalihkan perhatian. Suara-suara Hana saat pertengkaran kami kembali terngiang di telinga. Sebenarnya aku masih sangat mencintainya, tapi aku membenci gaya hidupnya yang terbiasa dimanja kedua orangtuanya. Penghasilanku yang pas-pasan tak mampu membuatnya percaya terhadap rencanaku membangun masa depan. Padahal pernikahan kami baru jalan lima bulan.

“Aku baru tiga hari membelinya,” lelaki paruh baya itu terlihat tak berselera dengan makanannya.
“Apa masa pensiunnya kita percepat saja, Pak? Biar enggak semakin tambah yang kena dobolan-nya ?” jemariku mengusap sebuah pesan WA. Sahrul bilang, ia bersedia membayar sejumlah nominal yang pernah kubilang.
Lelaki itu tak menjawab. Kembali terlihat lahap menyantap makanannya.

* * *

Lelaki itu langsung berdiri setelah menerima kabar dari telepon genggamnya. Aku berusaha memahami arah percakapan beruntun mereka.
Aku turut berdiri demi rasa penasaran saat melihat wajahnya yang tiba-tiba berbinar. Aku yakin bukan urusan pekerjaan.
“Daniel turun di Kanal. Dan sekarang minta dijemput,” ujarnya kepadaku, tanpa kutanya. “Tolong bilangkan ke Mbah Miskun, aku tunggu di rumah sekarang juga. Aku mau jemput Daniel.”

Tanpa menunggu jawaban dariku, dia langsung beranjak begitu saja. Membuatku menggerutu panjang lebar di sepanjang langkah mencari Mbah Miskun. Kemarin beliau memang sempat cerita perihal Daniel yang mendadak senang berjalan mondar-mandir tanpa bisa dicegah.

Kakiku bahkan terasa berat sekali setelah menemukan sosok yang tengah membakar sampah di pekarangan belakang kantor itu. Telingaku sudah jenuh mendengar segala kibulan berbau tuah dan gaib darinya.
“Sudah kubilang, anak itu sedang ketemper. Kalau pamomongnya sudah dapat tempat yang nyaman buatnya, pasti anaknya akan sadar,” ujarnya setelah mendengarku.

Aku memonyongkan bibir saat mengikuti langkahnya dari belakang.
“Bagaimana kabar istrimu? Apa dia tetap ngeyel, ndak mau tinggal di rumahmu?”
“Iya, Mbah. Cincin ini pingin aku jual saja lah, Mbah…,” jawabku, sembari mencuri-curi lihat ekspresi wajahnya.

“Kalau hawa panas dalam rumahmu ndak terserap oleh cincin zamrud itu lagi, kamu boleh saja menjualnya. Sebab, efek hawa panas yang tak tertampung itu bisa membangunkan sifat serakah dan iri hati orang-orang di sekitarnya.”
“Apa Mbah Miskun mau…”

“Ya jangan dijual ke aku lagi. Juallah ke orang lain yang membutuhkan…”
Rahangku mengeras. Tangan kananku mempermainkan posisi cincin seharga hampir dua jutaan itu. Sepanjang langkah aku mengumpat tanpa suara.
* * *

Tak seperti beberapa hari kemarin, wajah atasanku belakangan terlihat cerah sekali. Beberapa proyek yang biasanya ia tinjau sendiri, diwakilkannya ke kami, berganti-ganti, demi bisa pulang cepat. Meski menggerutu, tapi kami maklum. Tak ada yang berani protes. Tadi pagi beliau bahkan mentraktir semua bawahannya di kantor—termasuk, tentu saja, Mbah Miskun. Membuatku harus jaga mulut dulu untuk tak mengungkit-ungkit soal kepensiunan si dukun tersebut.
“Rip, ini ntar tolong antarkan ke rumahnya Mbah Miskun ya. Kasihan kalau beliau harus menjinjingnya sendirian.”

Kuanggukkan kepala saja saat menerima dua kantung plastik besar yang tampaknya berisi buah-buahan, jajan, dan pakaian. Mbah Miskun memang selalu jalan kaki tiap berangkat ke kantor meski jarak rumahnya hampir dua kilo. Gajinya sebagai tukang kebun sekaligus pelayan dalam kantor, pas-pasan untuk menghidupi keenam anaknya yang semenda-semendi . Istrinya sendiri juga buka warung nasi untuk membantu keuangan keluarga. Maka bisa dibayangkan jika keenam anak itu duduk di bangku sekolah semua.

“Ya jangan sampai berprasangka buruk begitu lah, Rip. Sumber rezeki orang, mana kita tahu?” mentang-mentang mau ada perlu, Huda pun membelanya.
“Diakui atau tidak, memang kenyataannya begitu kok. Sekian tahun menghidupi dan menyekolahkan keenam anak, mana mampu kalau tidak lewat jalan itu?”
Bujangan tua itu menggeleng ke arahku.

“Apa?” sengitku.
“Pantas kalau doa beliau tak sampai kepadamu.”
Kuhalau kejadian kemarin itu dengan usapan tangan ke wajah.
“Memangnya syukuran apa sih, Pak?” tanyaku dengan nada hati-hati.
“Kata Mbah Miskun, aku sebaiknya bikin syukuran kecil-kecilan setelah Daniel mau pulang dan makan tidur di rumah sehari. Biar dia kerasan, kata beliau.”
Ini kesempatan yang kutunggu-tunggu.

“Mmm, Pak, apa Pak Zabid mau membeli cincin berakik zamrud ini? Kata Mbah Miskun, dia bisa memancarkan aura penyejuk mata dan penenang syaraf orang-orang di sekitarnya.”

“Kok kamu jual?”
Dengan berat aku berujar, “Besok pagi adalah sidang perceraian pertamaku, Pak.  Aku sekalian minta izin tidak masuk kantor.”
“Lhah, mestinya kamu kan butuh ini?” menolak tanganku yang mengulurkan cincin berakik zamrud.
“Bapak percaya dengan Mbah Miskun, kan?”
Atasanku itu menatapku tajam.*

Demak, 2020.


LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here