“Sarah, tunggu!” teriakku dengan langkah kian kupercepat, tapi gadis itu berlari makin kencang. Langkah lebar kakiku tak bisa menandingi kecepatan ayunan kakinya.
“Sarah, please berhenti!” seruku diiringi tatapan mata beberapa teman kuliah.
Sebelum aku sempat menyejajari langkah gadis itu, dia sudah melesat dengan sepeda motornya. Aku menarik napas, menatap Sarah yang kian menjauh. Aku lagi berusaha mendekati Sarah, gadis pujaan hati. Informasi yang kudapatkan dari beberapa teman, gadis yang kini lagi kuincar ini, masih sendiri. Cocok nih, pikirku. Kami sama-sama jomblo. Tawaranku padanya untuk menjemput ke rumah dan mengantarnya usai kuliah, tampaknya belum membuahkan hasil. Dia tetap keukeh menolak tawaranku.
Segala gombal dan bujuk rayu mautku, sedikit pun tak membuatnya meleleh. Terbuat dari apa sih, hati gadis itu? Masa sih, dia enggak klepek-klepek sama lelaki yang nyaris sempurna seperti diriku. Memiliki postur tubuh semampai, ditambah wajah nan rupawan, dan berasal dari keluarga kaya raya, seharusnya aku dengan mudah bisa menggapainya. Namun, di mata gadis itu, segala kelebihanku tampaknya tak bisa meluluhkan hatinya.
Aku duduk di bangku taman kampus, setelah agak lelah berjalan cepat mengejar gadis itu. Kupikir dengan segala yang kupunya, aku bisa mendekatinya lalu kami pacaran, dan kemudian menikah. Entah dengan cara apalagi aku menyakinkan Sarah, kalau aku serius ingin memperistrinya. Sidang skripsi sudah di depan mata. Aku berencana setelah wisuda akan melamar gadis itu.
Namaku Randi, anak pertama dari dua orang bersaudara. Adik perempuanku bernama Mita, sekarang duduk di kelas XI di sekolah swasta. Kebahagiaan keluarga kami cukup sempurna sebenarnya. Papa yang memiliki perusahaan property, didampingi seorang istri yang berhati lembut, dan penuh limpahan kasih sayang.
Namun, kebahagiaan kami, rupanya dalam ketetapan Tuhan harus cukup sampai di sini. Setahun yang lalu, papa dan mama mengalami kecelakaan di jalan tol. Nyawa keduanya tak terselamatkan.
Menyesali takdir karena kepergian kedua orang tua tercinta, kulampiaskan dengan melakukan hal-hal yang jelas dilarang Tuhan. Terkadang aku keluyuran, dengan menghabiskan malam di diskotik.
***
Sebenarnya alasan terkuatku mendekati Sarah, selain karena dia cantik dan juga baik, ada alasan lain yang mendorongku untuk ngotot pedekate dengannya. Aku sangat yakin, dengan menjadikan Sarah sebagai pendamping hidup, akan bisa mengobati luka hati Mita, satu-satunya adikku, karena kehilangan orang tua kami. Kupastikan, Mita akan berjumpa dengan calon kakak ipar yang tepat.
Semenjak papa dan mama berpulang, Mita yang biasanya selalu terlihat ceria, mendadak jadi pendiam. Rautnya yang kerap murung, membuat hati ini sesak. Aku sudah berusaha menghiburnya, meskipun hati ini kacau balau.
Kupikir dengan mendekati Sarah dan menikahinya, Mita akan punya tempat untuk berbagi cerita. Barangkali kalau dengan Sarah, –karena sama-sama perempuan–Mita bisa leluasa mencurahkan segala risau dan galaunya. Mungkin karena aku laki-laki, bisa jadi Mita segan untuk curhat, meskipun kami saudara kandung.
***
Mataku perlahan mengabur, saat menatap kartu undangan pernikahan yang masih dalam bungkus plastik itu.
Kenapa sih, perempuan itu tak mengatakan saja kalau ada seseorang di hatinya?
Aku benar-benar shock dengan kejutan yang diberikan Sarah. Aku belum pernah melihatnya berjalan dengan laki-laki, tiba-tiba dia memberikan undangan pernikahan.
Seharusnya tak kusia-siakan waktu untuk memikirkan dan mengejar-ngejarnya, seolah aku ini tak punya harga diri. Kuremas rambut, mengingat hari-hari yang kulalui dengan perjuangan, mencoba mencuri perhatiannya. Kurutuki kebodohan ini. Ya bodoh, karena sudah menjadi budak cinta.
Aku mengerjapkan mata yang mulai basah, agar tak ada titik air yang jatuh di pipi. Suara bel dari arah teras memaksaku bangkit, untuk membuka pintu. Aku tersenyum lebar menatap adikku ini. Mita baru pulang dari rumah temannya, katanya belajar kelompok. Agak lama dia memandangku.
“Abang kenapa, kok, matanya berkaca-kaca gitu? Ada masalah apa, Bang?”
Nih anak peka banget, tahu aja kalau abangnya lagi galau, gumam batinku.
Aku tersenyum tipis sambil menepuk punggungnya.
“Udah masuk aja dulu, terus makan, nanti abang cerita ya,” ucapku.
Dia mengangguk pelan, sambil berjalan mendahuluiku.
Mita hanya manggut-manggut setelah selesai aku bercerita.
“Mungkin abang kurang kencang doanya ke Allah, makanya Allah enggak jodohi Abang dengan Kak Sarah,” ucapnya.
Dia menepuk punggung tanganku dan lanjut berkata, “Udah, abang tenang aja, perempuan, kan, bukan hanya dia seorang. Barangkali menurut Allah, dia bukan yang terbaik untuk abang. Yakin aja sama Allah, Bang. Kata pak ustaz, Allah sesuai dengan prasangka hamba-Nya. Kalo kita baik sangka sama takdir Allah, pasti akan ada hadiah terindah dari-Nya untuk Abang,” ujarnya.
Bicaranya yang sudah kayak ustazah dengan gaya sok dewasa membuatku tersenyum geli. Spontan tanganku mengacak-acak rambutnya.
“Ih Abang apaan sih, aku udah sisiran nih! Berantakan lagi rambutku!” omelnya dengan bibir cemberut.
Aku cuma tergelak meresponnya.
***
Huweeek! suara yang keluar dari mulutku berbarengan dengan isi perut yang sebagian kumuntahkan. Kepala ini rasanya berat. Entah sudah berapa gelas minuman keras kutenggak dari diskotik ini. Melihat keadaanku yang terlihat berjalan terhuyung-huyung, beberapa teman yang prihatin melihat kondisiku, berinisiatif mengantar pulang.
Tubuh kekarku dipapah oleh Dika dan Andi. Mulutku terus mengoceh tiada henti sepanjang perjalanan. Putus asa dengan kenyataan hidup, saat dia yang kudamba tak bisa kumiliki, mendorongku berbuat begini. Nongkrong dan menenggak minuman haram di diskotik, kupikir bisa mengusir laraku.
Saat tiba di depan rumah, Dika dan Andi memencet bel. Tak lama pintu rumah terbuka. Aku yang masih berada di awang-awang, tak pernah tahu akan raut sedih adikku. Aku dibawa oleh Dika dan Andi langsung ke kamar. Samar-samar kudengar suara Mita yang terisak mengucapkan terima kasih pada kawan-kawanku.
Aku terjaga saat lamat-lamat tertangkap di gendang pendengaranku, suara lantunan ayat-ayat suci. Aku berusaha bangkit, tapi badan rasanya mau remuk. Kupaksakan juga walaupun sakit seluruh persendian ini. Suara orang yang sedang mengaji terdengar lagi, itu suara Mita. Aku mengingat-ingat peristiwa semalam. Ah ya, aku mabuk berat.
Rasa bersalah datang, sebagai anak sulung seharusnya aku bisa memberi contoh yang baik untuk adikku. Alih-alih jadi teladan, aku justru berbuat yang tidak benar.
“Maafkan abang ya, Mit, belum menjadi abang yang baik untuk kamu,” lirihku.
Aku masih terdiam lama di tepi ranjang, mendengarkan Mita yang masih mengaji.
Saat dia mengakhiri ngajinya, aku belum juga beranjak. Aku menoleh, ketika Mita masuk dan mengucap salam.
“Abang udah bangun? Abang salat ya! Mita enggak bisa lihat Abang seperti ini. Please, jangan hancurkan hidup Abang, hanya gara-gara ditinggal perempuan. Abang enggak kasihan sama Mita? Abang enggak sayang sama papa dan mama?”
Suaranya yang semula lembut perlahan agak meninggi. Mungkin dia kecewa melihatku.
Dia belum berhenti, masih terus lanjut, “Kalo Abang sayang sama orang tua kita, jadikan diri Abang anak yang soleh, tetap patuh pada perintah Allah, bukan malah menjerumuskan diri kayak gini.”
Tangis itu akhirnya pecah. Aku terkejut dengan semua perkataan adikku ini. Betapa dia lebih dewasa dibandingkan aku. Cara dia menyikapi takdir, benar-benar membuatku kagum.
***
Hari ini, aku dan Mita menghadiri kajian majelis taklim di masjid dekat rumah kami. Mita benar, obat gundahku saat ini adalah menerima dengan lapang dada dan ikhlas atas apa yang menimpa.
“Dekatkan diri Abang sama Allah, pasti hati tenang,” begitu kata Mita, saat kami berjalan dari rumah ke masjid.
“Baik Ustazah,” godaku sedikit terkekeh.
“Ih apaan sih,” cemberutnya.
Aku penasaran apa yang membuat Mita bisa move on dengan takdir. Aku ingat betul, bagaimana histerisnya dia saat menerima kabar, akan kepergian papa dan mama buat selamanya. Sejak itu dia jadi pemurung. Jawabannya seketika membuatku terdiam lama.
“Alhamdulillah, Allah beri Mita petunjuk. Allah tuntun hati ini, Bang, supaya berlari dan mengadu hanya pada-Nya.”
Aku duduk di saf depan ketika seorang ustaz memberikan tausiyahnya. Tausiyah yang terasa pas betul dengan kondisiku sekarang. “Ketika kamu ikhlas dan menerima semua kekecewaan hidup, maka Allah akan membayar tuntas kekecewaanmu dengan beribu-ribu kebaikan.”
*****