Kang Sobri betul-betul senang. Saat rasa suntuk menjerat semangat hidupnya, saat itu pula Allah pertemukan dia dengan Kang Amin. Teman sesama santri kalong di Pesantren Al-Ikhlas. Tempat ia biasa mengikuti kajian selapanan yang diisi Kiai Latif, pemilik pondok pesantren di daerah Krandegan, Bayan, Kutoarjo.
“Pantes lama ndak ketemu sampeyan,” ucap Kang Sobri begitu mendengar Kang Amin telah pindah. “Lha ternyata sampeyan sudah jadi saudagar kaya toh!”
Yang dipuji hanya mesem-mesem sambil mengelus dada. “Ndak sekaya yang sampeyan katakan,” elak Kang Amin. “Aku itu cuma menjalankan amanah bapak mertua.”
“Lha ya sama aja to? Meneruskan usaha dagang bapak mertua sama dengan mendadak jadi saudagar kaya raya.”
Obrolan masih berlanjut, hingga kedua laki-laki teman lama itu berjalan beriringan. Ternyata, mereka menuju warung kopi di pinggir jalan. Dahulu, warung kopi itu adalah langganan para jamaah santri kalong, termasuk Kang Amin dan Kang Sobri, untuk ngopi sepulang dari pengajian di Pesantren Al-Ikhlas.
“Apa sampeyan masih level ngopi di warung pinggir jalan kayak gini?” tanya Kang Sobri sembari memesan dua cangkir kopi tubruk arabika. Ia kemudian duduk di lincak sambil mengamati panganan yang terhidang di atas nampan. Ketan goreng, rondo royal, kacang rebus, dan tidak ketinggalan garing khas Purworejo.
Kang Amin kembali tersenyum. Ia memang tipe laki-laki yang kurang pandai bicara. Berlawanan dengan Kang Sobri yang sangat gemar bercerita. Hal itulah mungkin yang membuat mereka cocok. Kang Sobri bisa panjang lebar bercerita tanpa ada yang memotong keasikannya, dan Kang Amin merasa nyaman, ia cukup mendengarkan dan tersenyum jika diminta pendapat.
“Oya, mbok sampeyan cerita bagaimana asal muasalnya kok sampeyan bisa mujur banget kayak gitu. Dapat istri cantik, jadi saudagar pula.”
Kali ini Kang Amin kaget, ia diminta bercerita. Duh, dia jadi salah tingkah.
“Ayuk toh, bagi pengalamannya!” bujuk Kang Sobri. Sementara tangannya menyobek bungkus garing, matanya memandang Kang Amin dengan penuh harap.
“Pengalaman yang mana, Kang?”
“Lha itu! Pengalaman yang membuatmu jadi saudagar kaya.”
“Kang Sobri, saya itu hanya meneruskan usaha bapak mertua. Bukan saya yang saudagar.”
“Ya, itu! Itu!” ucap Kang Sobri belepotan. Mulutnya penuh mengunyah garing. “Ceritakan bisa-bisanya sampeyan dapat mertua yang kaya.”
Kang Sobri tentu heran, lah iya, dia dan Kang Amin kan kastanya sama. Sama-sama kuli. Kok ya bisa teman ngajinya itu mendadak kaya.
Lagi-lagi Kang Amin tersenyum. Kopi tubruknya ia seruput sedikit demi sedikit, sembari berfikir apa yang mau disampaikan pada temannya yang super bicara itu. Sejujurnya, ia pun bingung mau memulai dari mana. Semuanya seakan sangat cepat. Ia juga kadang masih bingung dan tidak menyangka hingga pada kehidupan yang saat ini, mapan dan berkecukupan.
“Anu, hmm ….”
“Sampeyan itu kok kayak anak gadis saja! Pakai anu-anu segala.”
“Begini,” Kang Amin membetulkan letak duduknya. Dipandanginya Kang Sobri yang sudah tidak sabar. “Sampeyan inget ndak kapan saya mulai absen ngaji di Pesantren?”
“Sudah lama sekali itu.”
“Lha, iya, sampeyan ingat kapan?”
“Dua tahun ada kayaknya, ya?”
“Iya, dua tahun lebih tiga bulan tepatnya,” jawab Kang Amin. “Seusai Pak Kiai menceritakan tentang kisah kakek buyut Imam Syafi’i.”
Perbincangan pun semakin seru. Semua berawal dari pengajian dengan tema kejujuran dan menjaga perut dari barang haram yang disampaikan Kiai Latif dua tahun lalu. Saat itu, diam-diam Kang Amin tersentil. Pasalnya, ia pernah mengambil dan memakan buah mangga di pohon seorang juragan.
Entah kapan tepatnya, Kang Amin yang pekerjaannya memang tidak tetap, diminta salah seorang saudagar untuk mengunduh mangga dari banyak pohon di kebun seorang penjual. Singkat cerita, saat berada di atas pohon, Kang Amin merasa sangat haus dan lapar. Maklum, ia hanya berdua dengan seorang kawan sesama kuli. Sedangkan pohon mangga yang harus dipanjat jumlahnya puluhan.
Maka, tanpa meminta izin terlebih dahulu, Kang Amin mengambil dan memakan buah mangga yang masak di atas pohon. Bagi seorang dengan pemahaman agama yang masih dangkal, hal tersebut tidaklah menjadi masalah. Kang Amin tidak pernah berfikir apakah mangga yang ia makan halal atau tidak.
Barulah saat mengikuti kajian di Pesantren Al-Ikhlas, ia sangat malu. Kisah buah delima yang tidak sengaja dimakan kakek buyut Imam Syafi’i yang disampaikan Pak Kiai membuat hatinya resah. Sungguh resah.
Hampir saja Kang Amin menangis mendengar kakek buyut sang Imam yang sangat hati-hati dalam menjaga makan. Sampai-sampai, sang kakek Imam rela menebus beberapa gigitan buah delima yang hanyut di kali itu dengan bekerja di kebun si pemilik buah. Tidak sampai di situ saja, bahkan sang kakek Imam diminta menikahi wanita yang lumpuh, buta, tuli, dan bisu.
Badan Kang Amin menggigil. Ia teramat takut. Bagaimana nasibnya yang telah makan dua buah mangga bahkan dengan sengaja dan sangat menikmati kesegaran dan rasa manisnya. Tentu balasannya lebih dari menikahi wanita lumpuh, tuli, bisu, dan buta. Lelaki serabutan itu pun istighfar berkali-kali.
Untung Pak Kiai kemudian menceritakan akhir dari kisah kakek buyut Imam Syafi’i. Akhir yang sangat indah dan penuh hikmah. Si gadis yang dinikahi sang kakek Imam ternyata teramat cantik dan menjaga kesuciannya. Bahagialah sang kakek Imam.
“Itu adalah balasan bagi hamba yang taat, jujur, dan menjaga diri dari makan barang haram meski sedikit,” tukas Kiai Latif.
Kang Amin lega dan hampir saja melupakan rasa resahnya terhadap dua buah mangga yang ia makan tanpa ijin. Beruntung, kemudian ada peserta pengajian yang bertanya: “Bagaimana jika tidak sengaja mengambil barang milik orang dan keburu meninggal sebelum meminta halal dari sang pemilik?”
Pak Kiai menjelaskan, ahli warisnya harus meminta kehalalan barang itu. sebab, barang yang dimakan atau digunakan tidak atas izin sang pemilik menjadi ganjalan atau halangan seseorang untuk masuk surga.
“Meskipun hanya secuil batang pohon yang diambil tanpa izin untuk mencongkel sisa makanan di gigi.” tukas Pak Kiai.
“Iihh … ngeri!
Bagi Kang Amin, pengharapannya tentu bahagia di akhirat. Hidupnya di dunia ini kan sudah susah, masa iya mau susah juga di akhirat. Jangan sampai, surga yang ia harapkan lenyap gara-gara dua butir mangga kala itu. “Duh Gusti ….”
Maka, selepas kajian, Kang Amin bergegas pulang. Ajakan Kang Sobri untuk ngopi di warung pinggir kali ia tolak. Padahal saat itu Kang Sobri bilang mau mentraktirnya. “Ndak usah, aku ada urusan,” tolak Kang Amin dengan tergesa.
Sampai di kontrakan, laki-laki kuli itu kemudian berkemas dan menuju terminal, ia mencari bis yang menuju ke suatu daerah. Tempat yang lebih sejuk dari tempatnya tinggal saat ini. Ketawang nama desanya, rumah seorang juragan yang dahulu pohon mangganya ia unduh. Rumah itu, mempunyai pekarangan lebih setengah hektar dengan jumlah pohon mangga hampir seratus buah disusul pohon rambutan dan klengkeng.
Tentu niat Kang Amin murni ingin menghalalkan dua buah mangga yang ia makan tempo hari. Ingin supaya amalnya yang masih sedikit tidak bertambah lenyap karena kecerobohannya memakan barang yang belum jelas kehalalannya.
Kang Amin pun menemui tuan rumah yang ternyata juragan kain di pasar Kutoarjo. Atas pengakuan dan permohonan maaf serta kesiapan Kang Amin menebus halal dua mangga yang ia makan, sang juragan pun terkesima.
“Kapan kejadiannya itu?” tanya juragan kain, Pak Rahmat namanya.
“Sampun dangu juragan, kinten-kinten setunggal tahun ingkang kepungkur,” jawab Kang Amin pelan. Ia malu kenapa baru sekarang menyadari kekeliruannya.
“Oh ….”
Dari percakapan singkat, Kang Amin diperbolehkan pulang dan telah diikhlaskan, dihalalkan dua buah mangga yang ia makan. Tapi, Kang Amin tetap merasa kurang. Ia berfikir, harus ada yang ia lakukan untuk membalas budi kepada sang juragan karena kebaikannya mengikhlaskan apa yang telah ia makan tanpa ijin.
Akhirnya Kang Amin menawarkan diri menjadi kuli angkut kain yang akan diantar ke sekolah-sekolah atau kantor pemerintah langganan toko Pak Rahmat.
“Sekalian saya belajar, jika Juragan Rahmat berkenan.”
Drama kehidupan Kang Amin pun berubah setelah hampir dua tahun bekerja jadi kuli angkut kain. Kinerja Kang Amin yang bagus, sikap jujurnya, juga kondisi Pak Rahmat yang mulai sakit-sakitan membuat sebuah kesempatan datang padanya. Tentu kesempatan itu atas titah Allah, Gusti Kang Maha Asih, yang selama ini menyayangi Kang Amin meski ibadahnya masih pas-pasan.
“Kalau kamu mau nolong saya, kamu gantiin saya ngorder dan jual kain ya?” pinta Pak Rahmat suatu ketika saat ia terbaring di rumah sakit karena darah tinggi.
“Kang Amin mau nolong saya lagi? Jagain rumah ya sama rawat kebun di pekarangan?” pinta Pak Rahmat di saat yang lain.
“Kang Amin, maaf saya harus minta tolong lagi. Sampean rawat dan jaga Damar ya? Jadiin dia anak Kang Amin, bisa?”
Tidak seperti sebelum-sebelumnya, dimana Kang Amin hanya menunduk dan berkata, “Inggih Juragan.” Permintaan terakhir itu membuat Kang Amin bisu. Kaget, merasa tidak pantas, dan tentu saja linglung. Menjadikan Damar sebagai anak sama artinya menikahi Lutfah, anak Juragan Rahmat yang janda itu sebagai istri.
Kang Sobri manggut-manggut mendengar akhir kisah sahabatnya itu. Dalam benak seorang kuli yang berpemahaman sangat sederhana seperti dirinya, kisah luar biasa yang dituturkan Kang Amin menjadi semacam lecutan semangat, bahwa menjadi jujur adalah modal menjadi kaya. Ya! Untuk kaya, seseorang harus berlaku jujur serta mengakui kesalahannya di masa lalu.
Maka, ketika Kang Amin pamit pulang sembari membayari makanan mereka berdua, Kang Sobri telah mempunyai rencana. Sebuah usaha agar dirinya ikut mujur seperti sahabatnya itu.
********
Lama laki-laki itu termenung. Memikirkan drama kehidupannya yang tidak sesuai rencana. “Duh Gusti, apa yang salah padaku? Bukannya mujur, kok malah begini.”
Rasa dongkol itu masih ada, tapi apalah daya, toh tidak ada yang menyuruhnya untuk mengakui dosa itu. Dosa menguntit lauk di warung Pak Daim.
Awalnya Kang Sobri berniat baik. Ia menemui Pak Daim, pemilik warung makan yang kaya raya itu. Di warung itulah, Sobri dan beberapa kawan sesama kuli angkut biasa ngebon makan.
Bukan soal bon makan sebetulnya yang membuat Kang Sobri harus menemui Pak Daim secara langsung. Tapi maksud Kang Sobri menemui Pak Daim adalah guna mengakui beberapa kecurangan yang pernah ia lakukan. Kecurangan menimbun daging di bawah nasi dan kuah gule kemudian membayar di kasir dengan tagihan nasi kuah seharga lima ribu.
“Pantas! Pantas!” ucap Pak Daim sembari menggoyangkan kepalanya tak habis-habis. “Pantas saja sering nombok! Gara-gara orang mcam kamu ternyata!”
Reaksi Pak Daim sungguh di luar dugaan Kang Sobri. Lebih-lebih, kehalalan yang diminta Kang Sobri ternyata harus ia tebus dengan denda. Membayar daging rendang yang dimakan dengan sembunyi-sembunyi dan penuh debaran.
Mendengar kata denda, Kang Sobri teringat pada rencana awal. Ia tahan rasa malu dan secara pelan mulai menawar keputusan Pak Daim.
“Dendanya saya ganti tenaga pripun Pak?” tanya Kang Sobri hati-hati.
“Tenaga?”
“Nggih,” jawab kuli panggul itu dengan sedikit menunduk. “Saya kerja di warung Pak Daim, ndak usah digaji.”
“Ndak! Ndak bisa!”
“Atau ….” Kang Sobri ragu. Ia pandangi wajah Pak Daim yang tidak bersahabat itu dengan tatapan harap. Semoga saja ada kesempatan untuk niat baiknya. Gumamnya dalam hati.
“Atau apa?”
“Atau saya bersedia menikahi putri Pak Daim meskipun lumpuh, buta, tuli, dan bisu.”
“Apa?” Pak Daim berdiri, wajahnya sudah sangat-sangat tidak bersahabat. Mata yang sedari tadi menyimpan bara, kini benar-benar terbakar. “Wong guendeng!”
*****
Bagus sekali cerpennya Bu Sri, barakallah
Matur nuwun Bu Rizky