Kyai Rasidi

9
357

Kegelapan telah menyapu pelataran masjid ketika aku memasukinya. Alunan alquran berkumandang menentramkan jiwa-jiwa yang kering akan jauhnya dari cahaya Ilahi.
Hawa terasa panas walau gelap telah datang. Tanganku gemetar ketika membuka pintu masjid—ada sesuatu yang menggeliat di dalam dada, begitu kaki masuk ke masjid dengan karpet berwarna hijau.

Di dalam masjid hawa langsung berubah sejuk, tidak panas seperti di luar sana. Kulihat jam menunjukkan maghrib hampir tiba. Dengan dada berdebar lebih kencang dari biasanya, seorang lelaki tua tersenyum ke arahku—dan aku pun membalas senyumnya.

Nama lelaki itu Kyai Rasidi, atau begitulah penduduk di desa memanggilnya. Dulu, ketika usiaku masih kecil, aku dengar cerita tentang Kyai Rasidi, konon beliau mantan preman yang suka berbuat onar di kampung. Semua penduduk sudah hafal di luar kepala tabiat Kyai Rasidi, dia suka memalak pedagang di pasar, merampok pendatang, dan tak jarang pula terdengar desas–desus kalau dia mempunyai ilmu hitam untuk kekebalan tubuhnya.

Masa lalu Kyai Rasidi mengingatkan refleksiku beberapa tahun yang lalu. Dulu, aku memang dikenal sebagai pemuda yang sangat rusak. Aku sering minum alkohol dan berzina. Sudah tak terhitung berapa banyak dosa yang aku lakukan di masa lampau. Bahkan aku sampai dipenjara beberapa tahun karena kedapatan mencuri motor salah satu warga kampung yang berimbas pada meninggalnya ayah. Ayah yang memang mempunyai riwayat penyakit jantung tak kuasa menahan malu dan marah ketika penduduk berbondong‐bondong datang ke rumahku.

“Cepat suruh maling itu keluar!” Seru salah satu penduduk. “Atau kami bakar rumah ini.” Teriakan beberapa penduduk yang terprovokasi membuat suasana kala itu sangat gaduh.
“Hamdan tidak ada di rumah,” ucap Ayah kala itu. “Sudah seminggu dia tidak pulang.”
“Pokoknya aku mau ganti rugi. Kalau sampai besok motorku tidak kembali, akan aku bakar rumah ini.”
“Ya, bakar saja rumahnya!” Seru beberapa penduduk memprovokasi. “Biar kapok, kalau anaknya maling, pasti keluarganya juga maling.”

Ayah hanya terdiam dengan wajah kalut, kemudian langsung pingsan dan dua hari kemudian Ayah dinyatakan meninggal karena serangan jantung.
Meninggalnya Ayah menjadi sebuah pukulan yang sangat berat buatku. Perasaan salah dan menyesal jalin jemalin di dalam dada. Andai saja waktu itu aku tidak nekat mencuri, pasti semua itu tidak akan terjadi. Pasti Ayah masih hidup dan aku masih bisa melihat senyumnya yang teduh.

Kematian memang selalu menyadarkan seseorang yang ditinggalkannya. Setelah kematian Ayah, barulah aku menyadari bahwa apa yang aku lakukan semua ini salah besar. Selama seminggu lebih aku menangis di dalam penjara, menangisi kepergian Ayah yang tidak akan pernah lagi kudengar suara dan aroma tubuhnya.

“Tidak penting berapa buruk masa lalu itu, Nak…” Ucap Kyai Rasidi lembut kala itu. “Yang terpenting bagaimana kita mengubah diri kita mulai sekarang, Allah masih menyayangimu dengan cobaan ini. Tak banyak manusia yang mendapatkan cahaya hidayah sepertimu.”

Di rumah Kyai Rasidi, aku belajar agama dengan tekun. Aku selalu menangis setiap kali mendengar suara merdu Kyai Rasidi melantunkan ayat suci, selalu bergetar setiap kali beliau menjelaskan beberapa ayat dalam kitab suci yang menjelaskan berapa pedihnya neraka, mengingat betapa banyak dosa yang selama ini aku lakukan di masa lalu.

***

Hawa sejuk kembali menyadarkanku dari masa lalu. Kyai Rasidi kembali tersenyum ketika menyuruhku mengumandangkan adzan Maghrib. Aku memandang jam di dinding, memang sudah waktunya. Dengan tangan sedikit gemetar, aku mulai mengumandangkan panggilan suci.

Suaraku bergaung di dalam masjid ketika menyebut keagungan Allah, mataku berkaca ketika menyerukan panggilan untuk menghadap Ilahi. Beberapa penduduk mulai berdatangan, wajah–wajah mereka yang tersapu air wudu nampak teduh. Seorang lelaki tua berdiri di sampingku ketika aku selesai mengumandangkan adzan, lelaki itu kemudian melakukan salat sunah dua rokaat. Fisiknya yang sudah lemah tak membuat semangatnya untuk beribadah menurun.

Begitu juga dengan Kyai Rasidi, di usianya yang senja, dia semakin khusuyuk dalam beribadah. Padahal kemarin aku melihat beliau terbaring sakit di rumahnya. Istri Kyai Rasidi mengatakan penyakit tifus yang dideritanya kambuh.

“Tidak dibawa ke dokter, Bu?” tanyaku kemarin.
“Bapak nggak mau,” jawab istrinya. “Bapak bilang nanti juga bakal sembuh kalau dibawa istirahat sebentar.”
“Iya, Nak Hamdan, nanti bapak juga kalau istirahat sebentar pasti sembuh.”
“Tapi bagaimana kalau tambah parah, Pak?” Kenangan saat kehilangan Ayah kembali membuat luka di dada menganga. “Sebaiknya ke dokter saja, aku bisa antar.”
“Nggak usah, Nak. Beneran bapak nggak apa-apa, kalau sudah istirahat pasti sembuh.”
Aku hanya menarik napas dan tersenyum, lalu bergegas mengundurkan diri ketika mendengar adzan Ashar berkumandang.

***

Beberapa jamaah sudah mulai memenuhi masjid, hawa yang tadi sejuk berubah hangat. Aku kembali memandang jam, dan waktu salat sudah tiba. Setelah mengumandang ikamah, para jamaah mulai meluruskan shaf dengan rapi dan dengan tubuh rentanya, Kyai Rasidi menjadi imam salat Maghrib kali ini.
Suara Kyai Rasidi tetap merdu seperti biasanya, setiap lantunan surat yang dibacanya seolah melebur dan menyatu ke dalam darah jamaah. Suaranya bergetar di beberapa bagian surat yang menjelaskan tentang balasan pedihnya siksa neraka. Bahkan aku juga mendengar jamaah di sebelahku sesekali terisak.

Salat Maghrib berjalan dengan khusyuk, seolah angin dan pepohonan yang tumbuh di sekitar masjid ikut memuji keagungan Allah bersamaan lantunan suara Kyai Rasidi. Hawa benar–benar berubah hangat dan damai, namun entah kenapa aku merasa hawa ini membuatku sedih. Aku tidak tahu arti rasa sedih ini, rasa ini seperti saat aku kehilangan Ayah dulu.

Mendadak aku teringat ibu. Apakah di sana ibu baik-baik saja?
Sudah beberapa tahun ini aku sengaja tidak pulang ke rumah untuk menghindari rasa bersalah terhadap masa lalu. Aku belum siap untuk kembali ke rumah.
Setelah mengucapkan salam, perasaan itu semakin kuat merasuk. Aku berdoa semoga Ibu di sana baik–baik saja. Beberapa penduduk tampak khusyuk berdoa, begitu juga denganku, mendoakan Ayah agar mendapatkan tempat yang layak di sisi Allah.

Beberapa jamaah sudah mulai meninggalkan masjid, aku dan Kyai Rasidi menjadi jamaah terakhir yang keluar dari masjid. Perasaan itu semakin kuat, dan aku memutuskan untuk menceritakannya kepada Kyai Rasidi.
“Sepertinya ibumu kangen, Nak Hamdan,” ucap Kyai Rasidi lembut. “Bukannya sudah tiga tahun kamu tidak pulang?”

“Tapi aku belum siap, Pak.”
“Percaya padaku, Nak. Ibu pasti merindukanmu. Pulanglah, itu pasti akan membahagiakan ibumu.”
Perasaan aneh itu semakin kuat. “Jadi aku harus pulang?”
Kyai Rasidi tersenyum dan menganguk. “Besok pulanglah, sampaikan salamku untuk ibumu.”

Aku tersenyum. “Bapak mau pulang bareng?”
“Kamu pulanglah dulu, Nak…” Tolak Kyai Rasidi seperti melihat kekalutan di wajahku. “Aku masih ada urusan di sini sebentar.”
Aku menyalami Kyai Rasidi untuk pamit. Perasaan itu semakin kuat ketika meninggalkan masjid. Entah kenapa bayang–bayang Ayah kembali berkelebat di dalam kepala, perasaan kehilangan itu semakin kuat. Setelah ini aku memutuskan menulis surat kepada Ibu. Menanyakan keadaannya, dan pulang sesuai perintah Kyai Rasidi.

* * *

Seorang perempuan paruh baya berlari kecil ke arahku. Dia adalah Umi Tarmi, istri Kyai Rasidi, demi melihat wajahnya yang begitu kalut, aku jadi bertanya-tanya yang tengah terjadi.

“Nak Hamdan…” Katanya terisak… “Bapak, Nak… Bapak…”
“Bapak kenapa, Umi?”
“Bapak meninggal, Nak. Bapak meninggal lima belas menit yang lalu di puskesmas.”

Jantungku seolah berhenti berdetak. Perasaan kehilangan itu semakin kuat. Aku tak sanggup berkata apa–apa. Tak mungkin Kyai Rasidi meninggal, bukannya baru tadi beliau memimpin salat Mahgrib di masjid ini?

9 COMMENTS

    • Kayak sutradaranya aja ya pak kiki🤭 tapi saya juga sudah menduga kyai rasyidinya meninggal, tapi setelah temu kangen hamdan dengan ibunya dulu

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here