Simfoni Bunga Rumput 17

0
96

Gadis itu keluar dari Gedung Dekanat dengan langkah gontai. Wajahnya yang jelita tertunduk, tampak lesu. Icha yang barusan keluar dari ruang BEM dan menangkap kelebatan sosok itu  seketika menohok rusuk Kin agak keras.

“Sst … bukankah itu Ayu?”

Kin menajamkan pandangannya yang agak terasa samar. Barusan kacamata minus tiganya tertinggal di mushola. “Ayu?”

“Ia baru muncul setelah menghilang sekian lama. Kita sapa, yuk!” kata Icha lagi. Icha berjalan cepat menuju sosok itu.

“Hei, Yu!”

Gadis itu tertegun, diam sejenak, menghentikan langkah. Namun ketika melihat Icha dan Kin mendekat, dia justru kembali berjalan, bahkan semakin mempercepatnya.

“Ayu!” teriak Kin sambil berlari mengejar gadis itu, diikuti oleh Icha. Merasa terus diikuti, Ayu akhirnya berhenti dan berbalik menghadap kedua seniornya itu.

“Kak Kinanti, Kak Icha?” ia mencoba menyinggungkan senyumnya, namun terasa sekali kehambarannya. Senyum itu jelas sekali muncul karena terpaksa, tidak merekah hangat seperti biasanya.

“Kelihatannya kok tergesa-gesa sekali?” tanya Kin, ramah.

“Ngg … ada keperluan mendesak.”

“Sebenarnya saya cuma mau tanya, kayaknya Ayu kok nggak pernah pergi ke kampus, ya?” ujar Kin, hati-hati.

Gadis itu terdiam, tampak berpikir sejenak. Menggigit-gigit bibir. Wajahnya yang sejak tadi tampak lesu, kini semakin terlihat sedih. Ayu terlihat jauh lebih tua dari usia sebenarnya yang sebenarnya masih termasuk remaja.

“Gimana kemarin kemahnya?” tanya Ayu, mencoba berkelit.

“Begitulah! Kayaknya akan lebih seru kalau Ayu ikut, deh!” jawab Icha sambil memamerkan senyum lebarnya.

“Ayu sakit, ya?” ujar Kin, serius.

“Ti … tidak! Aku … sehat-sehat saja. Maaf ya, Kak! Aku sedang ada urusan penting, harus segera pergi!”

“Baiklah kalau begitu. Maaf ya, kalau udah mengganggumu!” ucap Icha, retoris.

“Aku pergi dulu, Kak! Daaag!”

Gadis itu benar-benar tampak sangat tergesa-gesa.

“Aneh,” desis Icha.

“Apanya yang aneh?”

“Dia serius apa nggak, sih … kuliahnya. Katanya mau jadi advokat profesional, tetapi kok bolos melulu. Masak sudah hampir sebulan kuliah berjalan dia nggak sekalipun nongol di kuliahan. Padahal, dia kan mahasiswa baru.”

“Mungkin dia lagi ada masalah!”

Sesosok tubuh jangkung dengan paras bertampang Arab tiba-tiba mendekat, Zaky. Ia melempar senyum innocent-nya. “Hei, lagi pada ngapain?”

Sebulan setelah peristiwa perkemahan, entah mengapa Zaki kini tampak semakin menarik dengan gaya rambutnya yang agak sedikit gondrong. Rambutnya yang lurus dan legam, terlihat semakin terawat. Mungkin Zaky memakai sampho perawatan khusus. Diam-diam Kin merasa konyol dengan dirinya. Ngapain memikirkan rambut segala, rambut Zaky pula. Kurang kerjaan amat!

“Yang jelas nggak sedang nggosipin kamu, Zak!” tukas Icha.

“Eh, tadi kulihat kalian ngobrol sama Ayu. Bukannya Ayu itu sudah dikeluarkan dari kampus?”

“Apa?” ujar Icha dan Kin berbarengan. “Ayu dikeluarin? Gosip darimana?”

“Yaah, kalian ini! Berita ini kan sudah menjadi gosip seantero kampus. Kalian malah nggak tahu. Gimana, sih?!”

“Emangnya  kita ini bigos, biang gosip,” ucap Icha, manyun.

“Ya gak harus jadi bigos lah, tapi setidaknya nggak kudet dengan gossip ini, kan?” Zaky menyeka sebagian poni rambutnya yang jatuh ke dahi. Ih, apa nggak akan mengganggu kekusyukan shalatnya? Pikir Kin lagi. Tapi, dia kan bisa pakai kopiah atau peci.

“Gosip? Jadi baru gosip?” kejar Kin. Dih, poni rambut Zaky benar-benar merusak fokusnya.

“Dengernya memang begitu! Katanya, pihak kampus tidak mau memiliki mahasiswa dengan latar belakang yang tidak baik seperti dia.”

“Tidak baik? Maksudnya tidak baik?”

“Kalian nggak tahu, ya? Dia itu … pelacur kelas tinggi, tahu!”

“Apa sudah ada bukti kongkrit?” Kin mengerutkan kening. Padahal dia sendiri juga pernah memergoki Ayu di mall malam itu.

“Mana aku tahu?” Zaky angkat bahu. “Aku kan juga nggak paham dunia kayak begituan. Aku kan cowok baik-baik. Nggak pernah macam-macam soal beginian. Teman-teman yang banyak cerita. Beberapa teman cowok malah ngakunya udah pernah kencan bareng sama dia. Gila nggak!”

“Kita harus minta penjelasan dari pihak Dekanat, Cha!” ujar Kin, lemas. “Kita pastikan, ini semua bukan gosip.”

“Oke!”

“Aku ikutan ya, tanya Pak Dekan,” ujar Zaky, lagi-lagi sambil menyeka poninya. Poni lagi, poni lagi. Cukur rambutmu, Zak! Cukur… tapi, terus terang kamu makin ganteng dengan gaya rambutmu yang sekarang ini, batin Kin. Ah, rupanya menundukkan pandang juga tidak hanya saat seorang pria melihat perempuan cantik. Kin melihat poni Zaky pun sebenarnya sudah menjadi alasan kuat untuk menundukkan pandang.

* * *

Sepanjang perjalanan, Kin tenggelam dalam lamunan. Demikian juga Icha yang kali ini benar-benar memusatkan perhatiannya ke arah kemudi, mencoba mencari celah di antara jalanan yang macet di sana-sini. Mereka tak berhasrat untuk banyak bicara.

Tadi siang, mereka sudah meminta penjelasan dari pihak Dekanat. Mereka menemui pihak Dekanat yang mengurusi soal kemahasiswaan. Ternyata berita bahwa Ayu dikeluarkan memang bukan gosip belaka.

“Sebenarnya ini bukan urusan kampus, Kin!” jelas Doktor Aditya Salim, wakil dekan  bagian kemahasiswaan yang sudah kenal baik Kinanti. “Bagi kami, mahasiswa itu memang makhluk yang dipandang sudah dewasa. Dia sudah bisa mempertanggungjawabkan apa yang dilakukan. Tetapi, pihak yayasan bersikeras memecat Ayu. Katanya sih, perbaikan reputasi. Kau tahu, ayam kampus di sini banyak! Bahkan kampus ini terkenal sebagai gudangnya ayam kampus.”

“Iya, Pak! Banyak. Tetapi kok cuma Ayu yang di-DO? Itu kan nggak adil?”

“Karena laporan yang jelas-jelas masuk itu baru Ayu. Lainnya baru sebuah dugaan, tidak ada bukti jelas.”

“Jadi, yang mengeluarkan keputusan ini adalah Yayasan?”

“Benar. Pihak yayasan yang bersikeras. Mereka yang mengantongi bukti-buktinya. Katanya, Ayu sudah punya jam terbang sangat tinggi. Padahal, dia masih sangat muda, tapi sudah professional, kata mereka. Ya, kalau kami kan hanya sekadar menjalankan keputusan Yayasan. Mungkin ada motif politis tersendiri. Sst, off the record, ya Kin. Kita sama-sama tahu. Ketua yayasan kita kan kandidat yang cukup kuat untuk jadi wapres. Paling tidak, kembali jadi menteri untuk departemennya. Jadi ia ingin membuat dirinya terkesan bersih. Wah … urusan akademi dicampuradukkan dengan masalah politik seperti ini. Sebenarnya saya tidak rela. Tetapi, bagaimana lagi? Dan kalau memang benar Ayu melakukan hal tersebut, ya kan memang melanggar peraturan, kan?”

Kinanti tak bisa berkata apa-apa, sampai Icha memberikan usul untuk berkunjung ke rumah Ayu.

“Kita belum bisa ngomong apa-apa kalau belum mendengar cerita Ayu secara langsung. Bagaimana kalau kita coba menemui Ayu di rumahnya?”

“Kamu tahu alamatnya?”

“Dia pernah menuliskan alamatanya di buku catatanku.”

“Eh, aku juga punya alamatnya, sih.”

“Sepertinya, aku lumayan paham daerah itu. Yuk, kuantar!”

Icha, lagi-lagi menjadi pahlawan. Bersama Kinanthi, dia menyopir mobilnya menuju alamat yang dimaksud.

“Mudah-mudahan Ayu ada di rumah.”

Setelah menyetir sekitar 30 menit, Icha membelokkan setir ke kiri, masuk ke sebuah gang. “Ini kan, jalan Terate?”

“Betul. Rumah Ayu nomor tiga puluh empat.”

Mobil itu beringsut memasuki jalan sempit yang semakin dipersempit oleh beberapa pedagang kaki lima yang membuka warung tendanya di kanan kiri jalan.

“Itu dia!” Kin menunjuk ke sebuah rumah bercat putih yang dibatasi pagar besi setinggi satu meter. Rumah itu bertipe 36 dengan beberapa tanaman merambat di halaman sempitnya. Cukup asri, apalagi cat warna pastelnya cukup serasi dengan keramik yang terpasang di lantai dan sebagaian dindingnya. Angka 34 terbuat dari logam berwarna keemasan terpampang jelas di dinding rumahnya. Namun alis Kin terangkat sebelah ketika mendapati sebuah papan bertulisan: ‘disegel’ tergantung di pintu gerbang.

“Disegel?”

“Cari siapa, mbak?” tanya seorang ibu yang tinggal di rumah sebelah, seraya mendekat ke mobil Icha.

“Benar ini rumah … Ayu?”

“Ayu … yang suka keluar malam itu, kan? Cewek nggak beres itu?” si ibu tertawa sinis. “Ya, dulu perek itu memang tinggal di sini.”

“Maaf, Bu … Ayu itu …?”

“Oh, kalian rupanya tidak tahu, ya? Yang namanya Ayu itu memang gadis panggilan kelas tinggi. Semua orang, dari anak kecil sampai kakek-kakek semua tahu. Dulu dia sama ayahnya tinggal disini. Tetapi sudah tiga hari ini mereka pergi.”

“Pergi?”

“Ayahnya itu yang berengsek. Kerjaannya cuma judi dan mabuk-mabukkan. Nggak kerja, nganggur melulu! Anak sendiri disuruh jadi perek, hiiy! Laki-laki bejat! Sekarang, rupanya dia kalah judi melulu. Rumah ini … disita bank karena dia nggak bisa nyicil utangnya yang juga buat judi itu.”

Icha dan Kin saling pandang.

“Mm … maaf, sekarang Ayu tinggal dimana, ya?” tanya Icha.

“Kalian ini siapanya Ayu?”

“Teman di kampus, Bu!”

“Wah … sebaiknya kalian ini hati-hati sama Ayu. Ayu itu orangnya ibarat pagar makan tanaman. Sudah dibaikin bertahun-tahun, eh … tega suami orang direbut. Sst … tetangga samping kanan itu, suami istri sampai bercerai gara-gara Ayu. Dasar perek! Nggak tahu malu! Kalau dia berani menggoda suami saya, pasti sudah kugorok lehernya sampai patah jadi empat!”

Kin menelan ludah. Si ibu ini … bigos banget. Biang gosip! Tetapi, kalau memang benar kelakuan Ayu sejauh itu, pantesan para ibu menjadi sangat marah. “Ibu tahu tidak, sekarang Ayu tinggal dimana?”

“Mana saya ngurusin tempat tinggal cewek kotor macam dia?” si ibu berkacak pinggang. “Ngabisin waktu saja. Situ cari saja alamatnya sendiri.”

“Cari alamat Ayu yang baru?” seorang lelaki tiba-tiba keluar dari rumah si ibu, mungkin suaminya. Ia menyerahkan secarik kertas. “Ini, kebetulan saya kemarin dikasih alamatnya. Di daerah Pejompongan, Mbak!”

“Idih, Papa ini! Mau-maunya nyimpen alamat perek,” sembur si ibu.

Kin yang tak mau berpanjang kata segera meraih secarik kertas itu. “Makasih, ya Pak!”

“Salam ya, buat Ayu! Dari pak Halim! Suruh sering-sering main kesini. Bilang saya kangen sama dia. Kalau bingung mau nginap dimana, rumah saya terbuka kok, buat dia,” ujar si bapak. Si ibu tampak sewot.

“Jangan-jangan si bapak ini penggemar Ayu juga,” bisik Icha, sangat pelan, tentu saja. Kalau kedengaran si ibu, hiiy bisa-bisa lehernya juga dipatahkan jadi empat. Galaaak niaaan.

BERSAMBUNG KE BAGIAN 18.

CATATAN PENULIS:
Novel “Simfoni Bunga Rumput” ditulis pada tahun 2005 dan pernah terbit sebagai buku di FBA Press. Penayangan di website ini setelah melewati proses rewrite dengan penambahan bab-bab baru. Karena ditulis tahun 2005, setting novel ini tentu sangat berbeda dengan Jakarta saat ini. Ingin baca novel ini secara lengkap? Silakan klik NOVEL SIMFONI BUNGA RUMPUT.


LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here