Berbekal alamat yang diberikan Pak Halim, Icha dan Kin mencoba melacak tempat tinggal Ayu. Meski alamat tersebut sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya di kawasan Pejombongan, Bendungan Hilir, nyatanya praktek mencari alamat tersebut lumayan—atau bahkan sangat sulit. Pemukiman yang dituju, begitu padat penduduk, dengan gang-gang kecil dan tata letak perumahan semrawut.
Setelah berputar-putar selama dua jam, menjelang maghrib, akhirnya mereka sampai juga di alamat yang dicari. Sebuah rumah sempit, tak sekumuh tempat tinggal Angel memang, namun dibanding dengan tempat tinggal Ayu sebelumnya, jelas sangat menyolok perbedaannya. Rumah terletak di sebuah gang yang hanya bisa dilewati kendaraan roda dua, sehingga Icha harus mencari tempat parkir agak jauh dari lokasi. Mereka berjalan kaki sekitar 200an meter, dan harus menahan dari bau got yang sarat dengan air comberan, jentik-jentik nyamuk, serta segala macam kotoran.
Seorang lelaki tua, rambut memutih dan acak-acakan, berkaos oblong kusut dan celana selutut, dengan botol bir di tangannya membukakan pintu. Ia berjalan terhuyung-huyung. Sepasang matanya merah, tampaknya tengah mulai mabuk. Aroma sengak alkohol yang sangat kuat menerpa syaraf-syaraf olfaktori kedua gadis itu, membuat mereka serentak menahan napas. Air comberan kalah bersaing dengan bau alkohol yang bikin mual itu.
“Kalian cari siapa, heh?” tanyanya, serak. Menusuk. Tak ramah.
Icha mencengkeram lengan Kin, sepertinya mulai gentar.
“Ayu… apa benar ini rumah Ayu?” jawab Kin, cepat. “Kami teman Ayu, ingin bertemu dengan ….”
“Ayu… Ayu barusan pergi!”
“Hmm… pergi kemana?”
“Cari duit!”
“Kemana?”
“Tak tahu… kalau Lo mau cari Ayu… di sana! Diskotik…! Atau di lokasisasi. Dia cuma bisa cari duit di sana. Dasar anak bodoh!”
“Hmm…, tapi Pak … bolehkah kami….”
“Lo orang gak usah gangguin gue!”
“Maaf, Pak … kami hanya….”
Brakk! Pintu mendadak ditutup, dibanting oleh lelaki itu. Kin dan Icha saling pandang.
“Gimana, Kin?”
“Lha gimana lagi, pulang aja, yuk!”
“Tapi Ayu?”
Kin menarik tangan Icha. Mereka berjalan menjauhi rumah itu, menyusuri gang. Icha berjalan dengan langkah kurang seimbang sehingga beberapa kali nyaris tersandung. Beberapa orang menatap mereka dengan wajah menyimpan rasa penasaran.
“Nyariin siapa sih, Neng?” tanya seorang ibu berdaster yang sedang menjemur pakaian di depan rumah, sehingga separuh gang tertutup jemurannya. “Bapak aneh itu, siapanya situ?”
Kin berhenti, Icha ikut berhenti. “Kami juga kurang tahu, tapi sepertinya, beliau ayah dari teman yang kami cari,” jawab Kin.
“Ibu kenal bapak itu?” tanya Icha.
Si ibu menggeleng. “Mana gue tahu? Mereka baru sekitar semingguan kontrak rumah Babe. Katanya sih, namanya Pak Ferdi. Dia bareng anaknya, cewek, namanya gak tahu. Tapi pulangnya selalu larut malam. Mungkin perempuan gak bener. Bokapnya juga kerjaannya mabuk melulu. Tiap pagi selalu ada botol bir di tempat sampah.”
Kin menggigit bibir. “Ibu tahu tidak, di mana anaknya kerja?”
Si ibu mengangkat bahu. “Bukan urusan gue! Hei, Neng … ini Jakarta. Sebaiknya Lo urus diri Lo aja sendiri, gak usah ngurusin masalah orang. Ntar Lo malah terbawa masalah itu. Apalagi Lo berdua ini, kayaknya orang baik-baik. Gak usah gaul sama orang berengsek, ntar Lo ketularan berengseknya. Gue nasihatin ini lho, yaa… jangan salah paham.”
“Hmm… baik Bu, terimakasih nasihatnya.”
“Jarang-jarang lho, orang Jakarta mau kasih nasihat. Yang lain, adanya cuek.”
“Baik, Bu… mohon izin pamit dulu.”
“Yaa… ati-ati, yak!”
Icha membuka pintu mobilnya dengan badan masih agak limbung. Di jok, di duduk dengan termenung. Tangannya bertumpu di atas kemudi, tetapi mesin mobil tak juga dinyalakan. Matanya menatap ke depan, lesu.
“Cha, kamu gak papa, kan?”
“Gue… gue rasanya kok capek banget, ya, Kin?”
“Capek fisik, atau capek psikis?”
“Keduanya. Sekarang, gue ngerti beban Lo, Kin. Ternyata, masuk dalam permasalahan orang, yang ternyata sangat pelik, itu melelahkan, ya? Padahal, kita cuma melihat saja, bukan menjalani.”
Kin diam. Membiarkan Icha terus berbicara.
“Gue udah minta Lo mainin simfoni, tapi nyatanya, semua itu gak mudah. Perlu energi yang sangat besar, dan tampaknya, gue nggak kuat.” Icha menghela napas panjang. “Ternyata dakwah itu berat, ya, Kin?”
“Ya, tentu. Makanya, ibarat sedang berlari, kita nggak bisa main sprint, kita harus bermain marathon. Menjaga agar nggak kehabisan napas. Menjaga energi agar nggak habis, sementara di depan sana masih ada yang kudu kita urusi. Futur itu kadang bukan karena kita nggak ngapa-ngapain, justru karena kita terlalu banyak ngapa-ngapain.”
“Futur itu apaan?”
“Ya, kayak semacam rasa malas, mandek setelah gerak, berhenti setelah berlari, putus setelah tadinya nyambung, gitu deh.” Kin memijit pundak Icha yang tampak lelah. “Cha, di depan sana ada rumah makan, tampaknya cukup bersih. Gimana kalau kita minum-minum teh hangat dulu, sama makan siang?”
“Makan siang?” Icha melirik jam tangannya. “Udah hampir lima, nih.”
“Ya, sekalian jamak qosor dengan makan malam.”
“Ya udah, kita makan dulu yuk, gue juga udah kelaparan berat, nih. Tadi pagi juga cuma sarapan sepotong roti.”
“Okay, sip! Sekali ini, aku yang traktir, ya Cha.”
“Ih, gak boleh!” Icha melotot manja.
“Sesekalilah, Cha. Masak kamu terus yang traktir. Sesekali, boleh kan aku memberikan sesuatu untuk sobatku tercintya ini.”
“Lo punya duit emang?”
“Beasiswaku dah cair. Bapak juga barusan transfer lumayan, hehe. Panen kali ini berlimpah di kampung.”
“Wah, ikut senang.” Icha tertawa. “Kalau camer sukses panen, kan ikut kecipratan. Eh, canda doang, Kin! Awas jangan disampaikan ke Mas Danu lho ya?”
Mereka baru saja turun dari mobil jenis city car warna gading milik Icha ketika sesosok tubuh jangkung, berambut gondrong dan lengan penuh tato tiba-tiba menghadang mereka. “Mau kemana kalian?”
“Hm… kami….”
“Duit!”
“Maksud abang?”
“Seratus ribu. Uang keamanan.”
Wah, kena palak, batin Kin. “Kok tiba-tiba harus setor uang keamanan? Abang ini siapa? Aparat? Aparat juga nggak akan malak orang seenaknya begitu?”
Icha mengkeret, lalu merangkul Kin dan berbisik, “Kin, gak usah cari masalah, kasih aja.”
“Ssst, kamu gimana sih, Cha? Masak calon advokat takut sama pemalak.”
“Tapi ….”
“Lo mau lawan gue?!” bentak lelaki gondrong itu. “Berani ya, sama John Lee, ya? Gue preman paling ditakuti di kawasan Pejombongan ini, tahu?”
“Kenapa harus takut? Kami tidak….”
Wuuut! Tiba-tiba tangan kekar pria itu menyodok kepala Kin. Namun….
Plak! Sebuah tangan kekar lain menangkap tangan itu. Kin bergerak mundur dengan perasaan sangat kaget. Kini dia melihat dengan jelas sesosok tubuh yang berusaha meredam serangan si preman tersebut. Seorang pria yang sangat dia kenal…
“Kin, mundur!”
Icha menarik tangan Kin dan mereka mundur beberapa langkah. Mereka membiarkan kedua laki-laki itu saling berbaku hantam. Sepasang mata Kin melotot, melihat betapa lincahnya lelaki muda itu melawan jurus-jurus John Lee, bahkan tampak betapa dia lebih tertata dalam menghadapi serangan brutal preman itu. Si pemuda itu mahir bela diri. Dan dia baru tahu.
“Pergi Lo, dan jangan pernah lagi mengacau di sini maupun di manapun!” bentak pemuda itu.
John Lee meringis kesakitan. Lalu berbalik tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Berlari pergi.
“Hebat Lu! Hampir tiga tahun kita kuliah bareng, dan gue baru tahu kalau Lu ternyata pendekar.”
Pria muda itu tersenyum. Dan entah mengapa, senyumnya kali ini terlihat sangat manis. Kin berdebar. Zaky!
“Gue ngikutin kalian sejak dari kampus. Gila, kalian berani amat masuk ke wilayah-wilayah seperti ini.”
Zaky mendekat. Debar di hati Kin makin kencang.
“Ma … makasih ya, Zak!”
“Besok, kalau Lo berdua mau pergi ke tempat-tempat kayak gini, ajak gue ya?”
“Zak, sejak kapan Lo jago beladiri? Itu apa namanya tadi? Pencak silat? Yudo.” Icha berdecak.
“Karate. Gue belajar sejak SD. Sekarang udah sabuk hitam.”
“Pantesan preman paling ditakuti di kawasan Pejompongan Lo sikat!” Icha tertawa. “Makasih ya, udah ngebantu kami.”
Kin masih saja tak mampu berbicara. Dia kehilangan kata. Kalaupun sanggup berbicara, itu pun tergagap-gagap. Bahkan ketika Icha menarik lengannya dan membawanya ke mobil, Kin masih gugup.
Mobil Icha meluncur, diikuti Zaky dan motornya yang mengikuti dari belakang. Dada Kin masih saja berdebar tak menentu.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 19
CATATAN PENULIS:
Novel “Simfoni Bunga Rumput” ditulis pada tahun 2005 dan pernah terbit sebagai buku di FBA Press. Penayangan di website ini setelah melewati proses rewrite dengan penambahan bab-bab baru. Karena ditulis tahun 2005, setting novel ini tentu sangat berbeda dengan Jakarta saat ini. Ingin baca novel ini secara lengkap? Silakan klik NOVEL SIMFONI BUNGA RUMPUT.
Mantap. Selalu menanti kelanjutan ceritanya…
Makasih, Neto…
Random baca dari part 3 ke part 18 😅
Dan langsung salfok sama Pejombongan apa Pejompongan mana yang bener, Kak?!
Soalnya jadi inget Gudeg sama ibunya Bang Bule ituh..
ituh pokoknya ^_^
Typo, yang benar Pejompongan wkk…
Zakyyyyyy 😆
“Apa, mbak?” jawab Zaky