“Ck ck ck, dia lagi,” decak Anindita dengan ekspresi tidak senang.
Hasna yang sedang menyesap teh hangat spontan menoleh. Teman akrabnya itu dari tadi masih saja asyik dengan ponsel. Entah apa yang sedang terjadi di dunia maya sehingga begitu menarik perhatian Anindita.
“Ada apa sih, Nin?” tanya Hasna bingung.
“Kamu ingat dengan Tiara, teman kita sealmamater?” tanya Anindita.
Hasna mengernyitkan kening. Ya, dia ingat dengan Tiara. Meskipun berasal dari fakultas yang berbeda, Tiara aktif membuat postingan di grup Facebook alumni sehingga tentu saja dia ingat.
“Memangnya kenapa dengan Tiara?” tanya Hasna tak paham.
Anindita tertawa lirih. Ada perasaan geli yang tidak mampu dia tahan.
“Biasa, dia curhat lagi masalah rumah tangganya di grup,” sahut Anindita.
“Oalah, apa yang aneh? Kan dia sering melakukannya. Kukira semua anggota grup paham kebiasaan Tiara,” ucap Hasna datar.
Bibir Anindita mengerucut. Dia merasa jawaban Hasna sangat aneh.
“Persoalan rumah tangga sesuatu yang privat. Kenapa mesti diumbar di medsos? Apa tidak malu jika puluhan ribu orang membacanya?” tukas Anindita berapi-api.
Hasna terdiam. Pendapat Anindita memang benar. Rasanya memang tak pantas jika seseorang mengumbar ranah domestiknya ke media sosial.
“Mungkin di dunia nyata Tiara tidak punya teman dekat untuk bercerita,” jelas Hasna lembut, mencoba berprasangka baik.
“Mungkin, tapi itu bukan pembenaran untuk membongkar urusan privat yang seharusnya dia simpan rapat-rapat, kan?” sergah Anindita bersikeras.
Hasna mengangguk. Dia enggan berdebat lebih lanjut.
********
Keheningan seketika menyergap hati Anindita kala memasuki rumah mungilnya. Suara derit pintu seakan mengucapkan selamat datang. Tangan Anindita mencari saklar lampu. Tak menunggu lama, rumah pun bermandikan cahaya.
Bersandar di dinding, Anindita memejamkan mata. Dia masih bisa mengingat semua peristiwa.
Beberapa tahun yang lalu, senyum bahagia merekah di bibirnya kala lengan kuat itu menggamit lengannya.
“Jadilah ratu rumah tanggaku, Anindita,” bisik Irawan lirih.
Anindita tersipu menerima perlakuan mesra suaminya.
“Rumah ini mungkin tak seindah impianmu, tetapi aku berjanji akan menjadi surgamu di dunia,” sambung Irawan lagi.
“Insyaallah,” bisik Anindita terharu.
Anindita tidak pernah menuntut Irawan memberikan segala kemewahan. Kesungguhan Irawan untuk meluluhkan hatinya jauh lebih bermakna. Irawan begitu berbeda dengan setiap lelaki yang menawarkan cinta untuk Anindita. Lelaki itu dengan gagah berani menemui ayah dan menyatakan niatnya untuk memperistri Anindita.
Demi menyaksikan besar tekad Irawan, dinding tebal yang menyelimuti hati Anindita luruh perlahan. Penghujung tahun menjadi hari yang mereka pilih untuk mengikat janji di depan penghulu.
Waktu berjalan, kegembiraan mewarnai rumah tangga Anindita. Irawan mejadi alasannya untuk tersenyum. Irawan adalah tempatnya untuk pulang. Irawan menjelma menjadi tempat bersandar ternyaman untuk Anindita.
Namun, kebahagiaan mereka ternyata memiliki batas waktu. Tiga tahun berlalu, belum ada tanda-tanda Anindita berbadan dua. Setiap bulan rasanya hati Anindita berdebar tak keruan melihat hasil yang tertera pada testpack. Setiap bulan pula dia harus mengembuskan napas kecewa karena garis dua tak kunjung tampak.
Bukannya tanpa usaha, Anindita rajin berkonsultasi kepada Bidan Anisa, tetangga sebelah rumah. Setiap kali kegagalan itu mendera, Bidan Anisa membesarkan hatinya.
“Ajaklah Mas Irawan ke dokter kandungan, Mbak. Periksa kondisi suami dan istri secara lengkap. Nanti akan ketahuan permasalahannya di mana,” saran Bidan Anisa tatkala melihat bilur luka di mata Anindita.
Anindita pun membujuk Irawan untuk menemui dokter kandungan ternama yang disarankan oleh teman-temannya.
“Pergilah sendiri. Coba tanyakan kepada dokter, apa yang membuatmu sulit hamil,” jawab Irawan dingin.
Anindita tercenung. Penolakan Irawan membuatnya muram. Lebih jauh, Anindita tidak pernah menyangka lelaki itu tega mengeluarkan ucapan yang lebih serupa dengan tuduhan.
“Memangnya kalau perempuan sulit hamil itu faktornya hanya dari istri? Bisa saja kan kondisi suami menjadi penyebabnya, Mas,” sahut Anindita geram.
“Sudah jelas, kan? Janin akan hidup di rahim perempuan, maka istri adalah faktor penentunya,” tukas Irawan kasar. Laki-laki itu telah kehilangan segala kharismanya selama ini di mata Anindita. Anindita terluka. Air matanya luruh seketika. Irawan yang menjanjikan surga dunia nyata-nyata telah menciptakan neraka dalam kehidupannya.
Semenjak saat itu, semua tidak lagi sama.
Komunikasi mereka memburuk. Anindita merasakan sikap Irawan sedingin bunga es. Tidak ada lagi kehangatan yang menyemarakkan rumah mungil mereka. Tidak ada lagi sentuhan mesra yang menghangatkan malam-malam dingin. Tidak ada lagi tatapan penuh cinta yang membuat Anindita selalu rindu.
Di depan keluarganya, Anindita berupaya menyembunyikan segala lara. Tersenyum ceria menjadi topeng tebal yang selalu dia pakai kala ayah dan ibu menanyakan keadaan rumah tangganya. Pun di antara teman-teman kerja, Anindita berperan apik menjadi sumber keriangan yang selalu dinantikan kehadirannya.
Anindita perempuan kuat. Anindita tidak mudah mengeluh. Anindita tidak akan kalah oleh masalah. Demikian afirmasi yang selalu Anindita dengungkan setiap saat.
Namun, di tahun kelima Anindita tidak mampu lagi menahan tangis kala Irawan menjatuhkan talak. Dia memang tidak bahagia bersama Irawan. Namun, talak yang terucap tetap saja mengejutkannya.
Derai lara menyayat hati Anindita. Rumah mungil itu tak pernah lagi seperti dulu. Irawan memutuskan untuk pergi, meninggalkan ketidakjelasan status perkawinan mereka. Bayangan suramnya kesendirian mengikis mental Anindita. Dia benar-benar tidak siap menjawab berbagai tanya tentang perkawinannya.
Setelah hampir setahun mengumpulkan segenap keberanian, Anindita mendaftarkan gugatan ke pengadilan agama. Ayah ibu tidak mengira pernikahan Anindita terhempas badai yang memporak-porandakan bahtera.
“Kamu sudah yakin dengan keputusanmu, Nin?” tanya ibu sedih.
Anindita mengangguk. Memangnya apa yang harus dia lakukan kalau Irawan sudah tidak menghendaki kehadirannya? Tidak diinginkan berarti saatnya melangkah pergi.
*****
Hasna mengaduh, kakinya batal menuruni tangga masjid. Cengkeraman tangan Anindita membuatnya kesakitan. Hampir saja dia melontarkan protes. Namun saat melihat paras pucat Anindita, Hasna tahu ada sesuatu yang tidak beres.
“Irawan,” desis Anindita nyaris tak terdengar.
Hasna tahu Irawan adalah mantan suami Anindita. Namun, sangat jarang Anindita menyebut nama lelaki itu.
“Anak Irawan,” gumam Anindita lagi. Pandangannya tertuju ke satu titik.
Refleks Hasna mengikuti pandangan mata Anindita. Di halaman masjid yang mulai sepi, tampak seorang lelaki sedang menggendong anak perempuan.
“Mama!” teriak anak perempuan itu kepada sosok perempuan bergamis biru tua.
Irawan tersenyum saat perempuan itu mendekatinya. Dengan mesra perempuan itu menggamit lengan Irawan. Kemudian mereka berlalu dengan tawa ceria.
Tanpa membuang waktu, Hasna menggandeng Anindita. Dibawanya Anindita yang pucat pasi ke sudut tersembunyi di dalam masjid. Hasna menyadari ada sesuatu yang tidak beres dengan sahabatnya itu.
“Anak Irawan. Wajah mereka sangat mirip,” racau Anindita, pandangannya kosong.
“Hah?” tanya Hasna semakin bingung.
Anindita tidak pernah menceritakan masa lalunya. Dia menutup rapat semua hingga Hasna pun tidak mengetahuinya.
“Irawan memiliki anak. Aku yang mandul,” desis Anindita muram.
Hasna tak tahan lagi menyimpan kebingungannya. Dia mengguncang bahu Anindita, lalu bertanya, “Hei, apa maksudmu, Nin?”
Guncangan itu menyadarkan Anindita. Cepat-cepat Anindita menutup mulut dengan tangan. Dia menyadari ada yang lepas di luar kendalinya.
“Ah, tidak! Tidak ada apa-apa,” elaknya panik.
“Cukup, Anindita! Berhentilah berpura-pura kuat. Wajah pucat dan ucapan anehmu sangat jelas mengungkap ada luka yang kamu sembunyikan,” sergah Hasna prihatin. Dipegangnya bahu sahabatnya itu kuat.
Tangis Anindita meledak. Sejak dulu dia berupaya menjadi perempuan kuat. Namun, semua runtuh kala melihat bocah cilik itu. Anindita tahu Irawan telah menikah lagi dengan gadis yang masih terhitung saudara jauhnya. Hal itu sama sekali tidak membuat Anindita terkejut. Namun, kehadiran darah daging Irawan seakan mempertegas tuduhan lelaki itu bahwa Anindita memang perempuan mandul.
“Ceritakan laramu, Anindita,” pinta Hasna lembut.
Anindita menggeleng kuat-kuat. Bahkan di saat luka batinnya berdarah, dia masih berupaya untuk mengelak.
“Aku baik-baik saja,” tolak Anindita. “Jangan khawatir.”
“Sebegitu kerasnya kah kamu mencoba memakai topeng, Anindita?” tanya Hasna pelan tapi menusuk.
“Apa maksudmu?” sergah Anindita tak suka.
“Sejak kamu sering mencela orang yang curhat masalah pribadi, aku menyadari mekanisme pertahanan diri yang sengaja kamu bangun. Kamu berpura-pura kuat menyimpan lukamu sendiri. Namun, kala toleransi itu terlampaui, akhirnya kamu meledak juga,” ucap Hasna sambil mengelus punggung Anindita.
Anindita tidak mendebat argumentasi Hasna karena memang demikian kebenarannya.
“Kamu sekarang pasti bisa merangkai puzzle cerita itu kan, Hasna? Irawan menceraikanku karena aku mandul,” gumam Anindita pahit.
“Memangnya kamu sudah periksa ke dokter kandungan?” selidik Hasna.
Anindita menggeleng.
“Nah, bisa jadi saat itu Allah memang belum menghendaki kamu hamil. Bisa jadi waktunya memang bukan bersama Irawan, tetapi suatu saat di masa depanmu,” jelas Hasna.
“Kamu hanya ingin menghiburku, kan? Memangnya aku bisa hamil saat usia merambat tua?” sergah Anindita geram.
Hasna menghela napas panjang melihat temannya yang keras kepala.
“Kenapa kamu selalu menyiksa diri dengan prasangka, Nin? Kalau Allah berkehendak, apa yang mustahil bagi-Nya?” sanggah Hasna jengkel.
“Entahlah, aku hanya merasa diriku tidak cukup berharga,” keluh Anindita.
“Hei, lihat! Baru kali ini Anindita yang kuat mengakui kelemahannya,” seru Hasna.
Anindita cemberut. Tidak mudah baginya menyatakan kebenaran yang menyakitkan.
“Nin, menceritakan masalah tidak mengubahmu menjadi lemah. Manusia memang butuh mengungkapkan isi hati dan didengarkan, kok,” ujar Hasna.
Anindita mengangguk. Sisi hatinya membenarkan perkataan Hasna.
“Makanya ada tipe orang seperti Tiara yang hobi curhat di medsos. Aku berbaik sangka, mungkin dia tidak memiliki teman berbagi di dunia nyata. Itu sebabnya dia mencari pelukan virtual dari kawan-kawan maya, Nin. Meski aku tidak menyarankan kamu curhat di medsos, tapi cobalah melihat dari perspektif lain agar jiwamu lebih damai,” papar Hasna.
“Iya,” ucap Anindita pelan.
“Dan kamu jangan khawatir, kapan pun kamu butuh telinga untuk menyimak, aku insyaallah ada untukmu,” janji Hasna.
Anindita mengangguk. Matanya memancarkan sejuta ungkapan terima kasih. Dia tidak tahan untuk segera memeluk sahabatnya.
“Ternyata tidak berpura-pura kuat menyenangkan juga, ya?” bisik Anindita lega.
*****
Biodata Penulis
Nama : Evy Sofia
Kota Asal : Solo
Pendidikan : S-1 Fakultas Psikologi UGM dan S-2 Magister Sains Psikologi UMS
Karya:
1. Pupus, Novel, Lovrinz Publishing, 2019
2. Underachiever, Murid Pintar Prestasinya Rendah, Penerbit Tiga Serangkai, 2019
3. Reina, Kampus Biru Tempat Segalanya Bermula, Novel, Sheila Publisher (Imprint Penerbit Andi), 2019
4. Antologi Dongeng 100 Kota, Diva Press, 2019
5. Antologi Curcol Anak Kos, Diva Press, 2019
6. Antologi Cerpen “Melangitkan Mimpi”, Lovrinz Publishing, 2020
7. Maharani, Cinta kan Mencari Jalan Pulang, Novel, Sheila Publisher (Imprint Penerbit Andi), 2021
8. Miranti, Novel, Proses terbit di Sheila Publisher (Imprint Penerbit Andi).