Keabadian Itu
Kita telah memilih jalan
Dan tak pernah memutuskan untuk pulang
Tatkala itu, jiwa muda kita menyala seperti matahari pagi
daun-daun trembesi
dan tujuh belas mata air
yang menyiram kita dengan sepi
Keabadian itu
Keabadian itu
Kita telah memilih jalan
Pada suatu malam di pelabuhan
Ketika duabelas pasang bintang
melarung kata-kata gaib yang merah
—menyalalah!
Kita telah memilih jalan
yang membentang di antara reruntuhan pohon sa’dan
dan kita telah sama paham
: kepedihan adalah tangkai-tangkai mawar
yang mengantar kita pada istana manikam
Kita telah memilih jalan
dan tak pernah memutuskan pulang
Sebab kita telah sampai
Keabadian itu
Keabadian itu
Sidoarjo, 18 Agustus 2023
Dalam Pusaran Sepi
Inilah sepi yang kutunggutunggu
Kesendirian yang hanyut
dan mengapung di atas pusaran waktu
Aku menggigil
–lebam dan dingin
Aku menghirup udara sekitar,
dalam-dalam
udara yang menyekap bau anyir kematian, gemeresik ranting-ranting yang patah, debur ombak raksasa yang menggulung rumah-rumah, letusan-letusan gunung api dan gempa yang mengguncang bertubi-tubi
Aku basah kuyup oleh air mataku sendiri
tak kuasa lagi mengunyah kehilangan demi kehilangan, nestapa demi nestapa, luka demi luka
anak-anak yang ditinggal ibu bapaknya
mereka yang menghadapi maut tanpa siapasiapa
Sendirian
Benar-benar sendirian
Inilah sepi yang kupanggilpanggil di perjamuan kudus
untuk kutuangkan doadoa ke dalamnya
–juga sesal, dan beribu-ribu nama Tuhan
Inilah sepi yang membawaku pulang
setelah perjalanan panjang membawaku pada lorong-lorong gelap
yang kusangka
keabadian!
Sidoarjo, 28 Januari 2020
Tragedi Kehilangan
Betapa banyak yang hilang dan berceceran dari rumah nurani kita
Namun kita tidak menyadarinya
Kita merasa manusia
Tetapi sejatinya lebih serigala dari serigala
Kita merasa masih manusia
Tetapi sejatinya lebih iblis dari iblis
Kemanusiaan kita dirampok
Kemanusiaan kita dibeli, dijarah, dihancurkan
Tapi kita membusungkan dada, memamerkan jabatan, memamerkan kekayaan, memamerkan aib-aib yang lebih busuk dari bangkai
Kita telah kehilangan segalanya
Tapi merasa memiliki segalanya
Segala pujian yang diucapkan oleh lisan para penjilat kita anggap sebagai bongkahan permata, padahal ia adalah api yang menyala-nyala, yang membakar habis seluruh isi ruang nurani kita!
Oh, betapa memalukannya kita mengaku manusia
sementara iblis terang-terangan membangkang pada Tuhan, kita menyembah Tuhan dalam ritual, tapi tak menyisakan ruang untuk-Nya di hati terdalam.
Kita membungkus segala kepalsuan di dalam kepalsuan
Kita mengira kepurapuraan akan memasukkan kita ke dalam surga
Kita menipu Tuhan dan lupa bahwa Tuhan membaca setiap lintasan pikiran yang setiap saat hanya berisi ketamakan
: dunia yang kita perebutkan!
Kita adalah makhluk yang kosong
Tapi merasa penuh
Kita kehilangan akal, kehilangan budi, kehilangan malu, kehilangan kejujuran, kehilangan seluruh pakaian batin yang diselempangkan oleh Tuhan
Agar kita layak disebut manusia
Kita telah sampai pada titik nadir
Tak punya apa-apa
Tapi masih ada harapan, mengembalikan itu semua
Tanggalkan semua kepalsuan. Masuklah ke rumah Tuhan. Dengan tersedu-sedu.
Sidoarjo, 29 Juni 2020
02.36
Penulis:
Rafif Amir, lahir di Pamekasan, 8 Agustus. Menetap di Sidoarjo. Saat ini aktif sebagai Sekjen BPP FLP dan Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Sidoarjo. Buku puisinya “Sejarah dan Kisah” dan “Kepak Cahaya”.
cakep ih puisinya