Simfoni Bunga Rumput 15

2
102

“Hai, Kak!” teriak Tracy begitu melihat kelebatan Kin di perpustakaan.

“Assalamu’alaikum!” Kin melambaikan tangannya.

“Walaikum salam!” Tracy menunjuk ke beberapa buku tebal di tangannya. “Kak, kamu harus bantu aku!”

“Ada apa? Ada apa?” Kin mendekat dengan wajah simpatik.

“Aku dapat tugas bikin makalah tentang penegakan HAM di Barat. Nah, aku pengin mengangkat kasus kaum negro Amerika. Punya usulan, nggak, Kak?”

“Wah! Bagus itu. Kamu bisa lihat mulai dari Abraham Lincoln, sampai gerakan Nation of Islam yang dimotori Fard Muhammad, Elijah Muhammad, Malcolm X sampai Louis Farakhan. Mereka kan sebenarnya muncul karena adanya ketertindasan kaum kulit hitam di negeri yang katanya kampiun demokrasi itu.”

“Iya, mbak. Topik itu menarik banget. Kita ngelihat, Amerika suka gembar-gembor HAM, nyatanya … dia punya sejarah kelam tentang penegakan HAM di negerinya.”

“Sampai sekarang pun, Amerika masih menjadi pelanggar HAM terbesar di dunia, Cy! Kasus penyiksaan tawanan perang Irak di penjara Abu Ghraib juga bisa kamu angkat, tuh!”

“Wah, menarik nih … untuk didiskusikan!” sepasang mata indah Tracy berbinar-binar, membuat diam-diam Kin menaruh kekaguman. Tak disangka, Tracy memiliki kadar intelektualitas yang di atas rata-rata. Setelah beberapa kali mendampingi para mahasiswa baru, Kin sebagai asisten dosen, sudah bisa memetakan, mana-mana mahasiswa yang cukup berisi kepalanya. Tracy termasuk dalam kategori itu. Ini menarik. Mungkin tendensius ya, kalau menyebut banyak selebritis memiliki otak yang kurang smart. Tetapi, nyatanya, memang banyak seleb yang begitu. Berbeda dengan yang satu ini, boljug… boleh juga. Sepertinya dia ini memang bibit unggul.

“Kalau semisal saya angkat tema ini, terus saya bikin artikel literature review, bagus nggak, kak?”

“Ya bagus aja, asal pembahasannya mendalam. Coba kamu bikin dulu sebisanya, Cy. Ntar aku cek deh. Ini tugas mata kuliahnya siapa sih?”

“Pak Danu, Doktor Danu Kuncoro.” Tracy mengedipkan mata sebelah.

Kin tertawa. “Wah, pantesan kamu minta tolong ke gue.”

“Hei, lagi pada ngapain nich!” sapa Icha yang muncul tiba-tiba. Kin melambaikan tangannya.

“Adik kita ini, lho! Ternyata lumayan jenius,” ujarnya. “Bicara soal HAM ngelotok juga dia. Tunggu saja, sepuluh tahun mendatang pasti adik kita ini udah jadi pengacara yang ditakutin semua hakim dan jaksa.”

“Amiin,” ucap Icha. “Asal jangan cuma ngurusin kasus para artis saja, Dik!”

“Emang kenapa kalau ngurusin selebritis?” celetuk Tracy. “Artis juga butuh keadilan. Saat ini, banyak artis yang dieksploitasi habis-habisan oleh kalangan industri. Jika mereka mencoba berontak, selalu saja kaum kapitalis itu bisa membabat mereka, baik melalui jalur hukum maupun jalur yang ilegal. Banyak artis sinetron, penyanyi, ataupun model yang menjadi korban keserakahan para produsernya. Kreativitas dipangkas habis, dan mereka pun ditempatkan sebagai mesin-mesin pendulang uang yang bekerja pada sebuah mekanisme yang tidak manusiawi. Itu yang selama ini aku perhatikan.”

“Wah, analisismu tajam juga, ya?” Kinanti manggut-manggut.

“Eh, Cy …,” potong Icha. “Tadi aku kan kuliah bareng sama anak-anak semester satu. Hehe, ngulang pelajaran. Kok aku nggak lihat Liza dan Angel, ya?”

“Oh, aku lupa ngasih tahu,” ucap Kin. “Kalau Liza, sekarang ada di rumahku sekarang. Why? Nanti aja deh, aku ceritakan. Nah, kalau Angel, aku nggak tahu!”

“Mungkin Remo sakitnya tambah parah, kali…,” tebak Tracy. “Gimana kalau kita main ke sana? Aku tahu alamatnya. Kita cari bareng-bareng.”

“Wah, ide yang bagus! Tapi, apa kamu nggak sibuk?” tanya Icha. “Seleb kayak kamu kan jadwalnya seabrek-abrek.”

“Aku lagi mencoba konsen ke kuliah. Yah … bosen juga sih, terus-menerus jadi model. Kata Papa, aku harus mulai mikir masa depan. So, beliau setuju sekali aku lebih mementingkan kuliah.”

“Ngomong-ngomong, kapan kamu mulai terjun ke dunia model, Cy?” tanya Icha lagi, penasaran.

“Sejak masih bayi, aku sudah jadi bintang iklan,” cengir Tracy. “Setelah itu, tawaran datang bertubi-tubi. Sudah puluhan produk gue bantuin promonya.”

“Kalau sinetron?”

“Ada lima judul. Banyak sih, yang nawarin … tetapi aku rada malas ngikutin jadwal syuting yang padat dan seringnya molor. Aku lebih konsen ke dunia modelling. Pernah aku bercita-cita, suatu saat harus menang kontes Miss Universe. Terus terang … aku ini orangnya obsesif banget, penuh dengan mimpi. Aku terus menerus berlatih … balet, bahasa Inggris, piano, banyaklah …. Ibaratnya, aku sudah ngorbanin masa remajaku dengan kerja … kerja dan kerja. Nggak sia-sia sih, sekarang, impianku nyaris tercapai, tetapi … sejak peristiwa di Pomaru kemarin, aku tiba-tiba nyadar .. kalau ternyata begitu banyak hal yang belum aku miliki.”

“Apa itu?”

“Persahabatan yang tulus, cinta … dan kehidupan yang bebas!”

“Wah!” decak Icha. “Kamu ini ternyata romantis sekali.”

“Aku sangat lekat dengan seni, Kak! Jadi … banyak orang bilang kalau aku ini lembut. Cuma, karena aku menceburkan diri pada dunia yang tanpa kusadari telah mengikat kebebasanku, bawaanku jadi sering bete melulu. Nah, sejak peristiwa kemarin … aku mendadak telah menemukan, siapa diriku yang sebenarnya.”

“Luar biasa!” puji Kin. “Lantas …?”

“Lantas, ayo kita go ke rumah Angel. Menjalin persahabatan itu ternyata begitu indah.”

“Oke! Kita go!” ujar Icha, riang. Kin hanya senyum-senyum kecil seraya ikut beranjak bangkit.

Dari balik jendela perpus, sepasang mata menatap keakraban itu dengan sinar mata terluka.

Kalian bisa menikmati dunia dengan kesejatian… sementara aku telah lama tersuruk dalam kepura-puraan.

Pemilik mata itu menghela napas panjang, gundah. Tika.

* * *

Setelah berputar-putar sekian lamanya, termasuk terjebak pada arus macet yang memusingkan, akhirnya mereka sampai juga ke komplek rumah Angel. Sebuah gang padat penduduk, mirip dengan kontrakan Kin, namun yang ini jauh lebih kumuh dan berantakan. Parit yang memanjang di depan rumah telah menghitam, menyebarkan aroma busuk menyengat. Sampah menggunung di kanan kiri gang, dihinggapi satu imperium lalat yang cerewet sekali dengan suara berdengingnya. Sesekali tikus-tikus got sebesar kucing keluar dari tumpukan sampah dan berkejaran satu sama lain. Kin bergidik, tikusnya saja sebesar itu. Bagaimana mungkin si kucing berani menghadapinya?

Rumah-rumah kecil berhimpitan lebih tak teratur lagi. Beberapa rumah yang dibangun bertingkat, bagian atasnya penuh dengan lambaian pakaian-pakaian yang tengah dijemur, membentuk semacam parade bendera yang semerawut. Di gang yang sempit, anak-anak kecil berlarian memenuhi gang, sementara para ibu lebih memilih bergerombol di dekat pintu rumah-rumah petak yang dibiarkan terbuka lebar-lebar, menampakkan isinya yang juga tak kalah berantakan.

Benarkah Angel tinggal di kampung sekumuh ini? Lalu dari mana dia selama ini mendapatkan penghasilan? Bukankah biaya kuliah di Unmaja itu termasuk yang termahal di Jakarta?

Ketika Kin c.s. masuk ke dalam gang tersebut, beberapa mata pemuda pengangguran yang tengah bermain kartu di gardu ronda menatap mereka jelalatan, terutama kepada Tracy yang memang ekstra geulis itu. Kin menjadi cemas. Aduh, mengapa membawa gadis secantik Tracy ke lingkungan seperti ini?

“Cari siapa, Neng?”

“Cari gue, ye? Ini lho … abang ada di sini!”

Geulis, euy! Mau dong, jalan bareng!”

Untung tidak ada yang tahu kalau Tracy ini bintang sinetron. Kalau tidak, barabe! Bisa ada histeria massa. Fans ketemu idola!

Rumah Angel sendiri tak kalah sempit dengan yang lain. Hanya sebuah petak yang tampaknya terdiri dari satu ruang memanjang yang disekat-sekat oleh papan. Di teras kecilnya, sebuah meja berisi satu set alat pembuatan gado-gado lengkap dengan bahan-bahannya tertata rapi. Seorang wanita setengah baya tampak tengah meracik gado-gado yang dipesan oleh seorang pembeli. Sebuah kipas angin kecil tampaknya sengaja dinyalakan untuk mengusir lalat-lalat yang beterbangan di sekitarnya.

“Assalamu’alaikum!” seru Kin. Wanita yang sedang sibuk bekerja itu menghentikan kegiatannya sejenak. Ia menatap wajah Kin c.s. dengan tatapan bingung.

“Assalamu’alaikum!” sapa Kin lagi, ramah.

“Wa… walaikum salam. Aa … Neng cari siapa?”

“Apa betul ini rumah Angel? Angelika Ekabudi ….”

“Oh, betul! Neng ini temannya?”

“Iya, Bu! Teman di kampus.”

“Oh … silahkan … silahkan masuk! Aduh, maaf … rumahnya kecil. Kotor lagi … tadi si Remo barusan mberantakin.” Tergopoh-gopoh ibu itu mempersilahkan mereka untuk duduk di ruang sempit yang sengaja disekat menjadi ruang tamu yang kini terlihat sangat berantakan. Seperangkat kursi rotan berjumpalitan, taplak dan vas berisi bunga plastik terguling, taplak meja tertarik ke bawah, sementara lantai penuh dengan mainan-mainan plastik yang berserakan. Seorang anak kecil tampak tengah asyik bermain puzzle. Kehadiran para tamu itu tak mengusik ketenangannya menghadapi permainan yang cukup menguras pikirannya itu.

“Bentar ya, Ibu bersihin dulu! Ini si Remo … kalau sedang main, semua alat dikeluarin,” ujar si ibu sambil menata letak kursi dan barang-barang lain ke posisi semula. “Mo, mainnya berhenti sebentar dong! Ada tamunya Mama nich.”

“Angel-nya ada, Bu?” tanya Kin.

“Tadi Mama izin pergi kemana, sayang?” tanya ibu itu pada Remo.

“Ke pasal, Nek!” jawab anak itu, cedal. Dia adalah Remo, anak dari hasil perkosaan itu? Parasnya yang ganteng sangat mirip dengan Angel. Tampaknya ia memang cukup menyenangkan. Ketika bersalaman dengan Kin c.s., sepasang matanya yang bundar berputar-putar jenaka. Pantas Angel begitu menyayanginya.

“Ditunggu bentar, ya Neng! Ini, ibu juga sedang nyelesein pesanan!” ujar si ibu lagi. “Nanti kalian juga mau ibu bikinin gado-gado yang paling enak!”

“Wah, jangan repot-repot, Bu!” ujar Icha, yang langsung disambut dengan ledekan Kin.

“Bilang aja tengkyu! Perutmu udah kukuruyuk, tuh!” bisiknya.

“Ih, kamu! Buka aib teman aja.”

Tiga piring gado-gado terhidang plus tiga gelas jus tomat. Tampaknya sedap sekali. Kin yang sudah merasa lapar diam-diam menelan air liur.

“Silahkan, Neng! Seadanya. Paling-paling nggak ada seperempat jam, Angel pulang. Kenalkan, saya … ibunya si Angel!”

“Saya Icha, Bu. Ini … yang cantik ini, Tracy. Terus, yang kalem tapi diam-diam ngelirik gado-gado terus itu, namanya Kinanti!”

“Ih, bisa aja, kau!” sodok Kin.

“Nama saya, Maemunah. Kemarin Eka juga cerita tentang kalian.”

“Eka?”

“Eh, maksudnya … Angel. Kalau di rumah, Ibu manggilnya Eka. Soalnya sulit, buat ngucap nama ‘Angel’. Kayak orang bule saja. Nah, Eka itu bilang ke ibu, katanya yang namanya Kinanti itu orangnya baeeek banget.”

“Baik kalau lagi ada maunya, Bu!” canda Icha.

“Wah, dia mah nggak mau dengar orang lain dipuji, Bu!” lirik Kin pada Icha. “Nggak rela dia. Maunya, dia seorang yang dibilang baik.”

Si ibu tertawa renyah. “Ibu terus terang seneeeng banget, ada orang yang pada mau perhatian sama Eka. Dia itu …,” suaranya mendadak berubah serak. “Anak yang sangat malang.”

Cengar-cengir Icha c.s. mendadak surut dengan pergantian emosi di wajah Bu Maemunah.

“Benar-benar malang. Sejak kecil … ia hidup menderita. Sampai sekarang ini … tetap menderita!”

Dua tetes air membasahi pipi yang sudah mulai keriput itu. “Dan itu semua … karena kesalahan Ibu juga.”

Suasana berubah hening.

“Dulu, sewaktu ayah Eka masih ada, kami hidup bahagia. Ayah Eka seorang pedagang yang ulet. Kami pun hidup berkecukupan. Ayah Eka orangnya baik dan sangat sayang sama keluarga. Sayang, umur beliau pendek. Ia meninggal karena kecelakaan pada saat Eka berumur delapan tahun.”

Innalillaahi!” desah Icha, Kin dan Tracy, nyaris berbarengan.

“Ibu pun hidup menjanda. Sebenarnya bencana tak perlu terjadi jika Ibu tetap memilih untuk menjanda dan membesarkan Eka sendirian. Sayangnya, Ibu tergoda bujuk rayu seorang lelaki yang kemudian menikah dengan Ibu. Itulah awal dari penderitaan panjang yang dialami oleh Eka. Ternyata suami ibu, namanya Dadang … yang lima tahun lebih muda dari Ibu … tak lebih bajingan belaka!”

Kin menelan ludah, menahan risi yang muncul karena ucapan kata-kata kasar itu.

“Moralnya sangat bejat. Dia sering menyiksa Eka, menyakiti Eka, namun Ibu diam saja. Keadaan itu berlangsung selama bertahun-tahun, hingga Eka duduk di kelas 3 SMP. Baru setelah pada suatu malam … pada suatu malam …,” tangis Bu Maemunah pecah. Sesaat ia tenggelam dalam isak, dan baru bisa melanjutkan cerita dengan terbata-bata setelah Kin menyodorkan segelas air putih dan meminumkannya.

“Pada suatu malam … di depan mataku sendiri … Dadang memperkosa Eka. Ya tuhan! Ia benar-benar lelaki tak tahu malu! Saat itu juga kesadaranku pulih. Aku mengambil sebilah pisau dapur, dan kutusuk tubuh lelaki itu berkali-kali … lalu … lalu ….”

Tangis Bu Maemunah kembali pecah.

Kin menghela napas panjang, mencoba menenangkan ibu setengah baya yang tengah kalap itu.

“Aku bersalah! Patutlah jika aku dipenjara selama dua tahun … aku menerima hukuman itu bukan karena aku menusuk Dadang hingga terluka. Aku tidak akan sudi dihukum karena Dadang. Aku rela masuk penjara sebagai imbalan yang setimpal atas kejahatan yang kulakukan terhadap Eka …. begitulah, Nak! Dua tahun aku dipenjara, sedang Dadang mendapat vonis sepuluh tahun, karena … di luar itu pun, ternyata dia adalah seorang penjahat kelas kakap. Kami jatuh miskin gara-gara kegemaran Dadang akan judi dan mabuk-mabukan …. Semua harta peninggalan almarhum ayah Eka habis dijual buat main judi sama Dadang keparat itu. Dan … setelah kejadian di malam terkutuk itu … Eka hamil … ia melahirkan tanpa ada seorang pun keluarga yang menemani. Kini, masa depannya telah hancur! Semua itu gara-gara saya.”

“Siapa bilang masa depanku telah hancur?” sebuah suara tiba-tiba menyentakkan mereka. Angel, alias Eka … ia berdiri dengan dagu tegak. “Barangkali, aku memang hanya sampah. Tetapi aku mampu menjadikan diriku sebagai makhluk yang tetap tinggi nilainya di muka bumi ini! Yah … meski mungkin hanya aku sendiri yang mau menghargai diriku sendiri.”

Kin dan kedua temannya terkesima.

“Aku akan buktikan, bahwa aku akan tetap bisa menggapai masa depan, meski harus kumulai dari puing-puing kehancuran. Akan kubesarkan Remo dengan tanggung jawab penuh sebagai seorang ibu yang mencintai anaknya, meskipun jika aku bertemu dengan ayahnya, barangkali aku akan sanggup membunuh lelaki itu.”

“Wah … wah, siapa yang mau ente bunuh, Ka? Ente semua lagi pada ngomongin ane, ya?” seorang laki-laki setengah baya berpeci putih mendadak nyelonong begitu saja melewati pintu yang memang dibiarkan terbuka lebar itu. “Maap, tadi ane ngelihat Eka pulang, makanya ane ikutin sampai kesini. Eh, Mun … siape orang-orang ini?”

“Eh, pak Haji!” ujar bu Maemunah, gugup. “Ini teman-temannya Eka, lagi main ke sini!”

“Kebetulan. Kelihatannya kalian ini anak-anaknya orang kaya, ye? Ane ngelihat dari tongkrongan kalian yang mobil mewah itu, makanya ane buru-buru datang kesini.”

“Maksud Pak Haji apa, sih?” sentak Angel, curiga.

“Hehe … jangan mikir yang macam-macam. Ane ini pak haji yang paling baek sedunia, nggak bakalan ngelakuin yang ngerugikan orang laen. Ane cuma mau nanya nih, sama teman-teman Eka yang anak gedongan ini. Kalian ini sayang kagak, sama temen kalian yang namanya Eka ini?”

Kin, Tracy dan Icha saling pandang.

“Ayo dong pada ngejawab!”

“Maksud bapak?” Kin mengerutkan kening.

“Ah … kalian ini, cantik-cantik tapi tulalit. Ane cuman mau nanya, kalian sayang kagak sama si Eka ini? Ditanya gitu aje … pada bingung. Payah!”

“Angel … eh, maksudnya Eka ini kan teman kami, tentu kami sayang sama dia,” ujar Tracy, masih bingung.

Pak Haji tertawa. “Bagus! Sebagai sesama teman, kalian memang harus saling sayang-menyayangi. Sesama muslim itu harus saling melindungi, saling mengasihi. Begitu kan?”

“Iya, Pak!”

“Nah, kalau kalian ini punya rasa setia kawan, ente semua harus pada bantu die, si Eka ini! Die sama ibunye yang sudah gaek ini, sedang terancam angkat kaki dari rumah ini karena nggak bisa bayar kontrakan.”

“Pak Haji!” sentak Angel yang mulai mengerti arah pembicaraan lelaki setengah baya itu, marah. “Mereka itu teman-teman saya, mereka nggak tahu apa-apa tentang urusan ini!”

“Eh … ane ini cuma mau nolongin ente! Ente ini sudah harus bayar uang kontrak, tetapi ente bilang kagak ada duit. Makanya ane minta ke teman-teman ente supaya bayarin. Cuma dua juta sebulan masak mereka kagak ada duit. Naiknya saja mobil mewah!”

“Tetapi mereka itu nggak tahu apa-apa. Sudahlah pak, nanti kita bicarakan lagi masalah ini! Sekarang Pak Haji pulang aja dulu … nanti kita ngomongin lagi soal itu.”

“Lah … ini orang malah ngusir ane lagi.”

“Pak, soal yang kontrakan itu pasti akan saya lunasin!”

“Ente mau kasih janji-janji palsu lagi? Ah, gombal! Jangan bikin ane marah, ye. Ane ini sudah cukup bersabar, tetapi kalian aje yang pade bandel. Ane ini sudah haji, rasanya tidak pantas jika ane ngusir-ngusir ente sekeluarge buat keluar dari kontrakan ini, tahu nggak?”

“Iya … saya akan lunasi uang kontrakan, tetapi tolong! Jangan bicarakan sekarang!”

“Harus sekarang!” lelaki berpeci putih itu bersikeras. “Mumpung ada saksi yang ngelihat ente kasih janji. Hayo … ente mau bayar kapan uang kontrak ke ane?”

Angel terdiam sesaat, dadanya turun naik menahan marah. Sementara Bu Maemunah sudah sejak tadi menangis terisak-isak. Kin, Tracy dan Icha sendiri hanya bisa garuk-garuk kepala yang tak gatal, merasa serba salah sendiri. Kok jadi begini sih, akhirnya.

“Saya akan usahakan … bulan depan?”

“Apa? Bulan depan? Kenapa kagak nunggu sampai kiamat aje? He… Eka, apa ente pikir, rumah ini milik moyang ente? Terus ente bisa seenak saja tinggal tanpa bayar, gitu? Enak aja! Zaman sekarang, tak ada yang gratis di dunia ini, ngerti nggak?”

“Saya akan bayar, tetapi tidak bisa sekarang!”

“Bukannya ente kemarin baru gajian?”

“Uangnya tidak cukup. Lagipula, saya juga harus bayar uang kuliah!” jerit Angel, kesal.

“Itulah kalau ente bergaya jadi orang kaya. Orang ente cuma SPG di supermarket, pakai kuliah segala, di kampus swasta lagi. Jadi orang itu mikir dikit knapa sih? Pake tuh otak, jangan cuman disimpen di batok kepala ente. Entar otak ente berubah jadi singkong baru tahu rasa. Anak ane saja kagak ada yang ane kuliahkan. Biaya kuliah sekarang ini mahal, tahu!”

“Jadi gimana? Bulan depan ya, Pak?” suara Angel melunak.

“Kagak bisa! Kalau ente mau hutang, hutang saja sama teman ente ini. Masak naiknya mobil mewah, tapi kagak mau minjemin duit. Kagak punya rasa setia kawan!” omel pak ‘Haji’ itu dengan logat Betawinya yang kental.

Kinanti melirik Icha sekilas. Ternyata Icha pun tengah meliriknya.

“Gimana?” bisik Icha.

“Gue cuma ada dua cepek, tapi … buat bayar bengkel,” jawab Kin, jujur. Uang 500 ribu itu saja diberi mas Danu.

“Aku juga gak bawa cash? Tapi kita bisa transfer, atau ambil di ATM terdekat. Kita kasihkan saja?”

Mendengar bisik-bisik Kin dan Icha, wajah Angel semakin merah padam.

“Tolong jangan kalian dengerin omongan pak tua pelit ini!”

“Pak tua pelit? He … jangan asal ngomong ente! Ane udah tiga bulan ngebiarin ente sekeluarga buat tinggal disini secara gratis. Itu artinya, Pak Haji ini adalah orang terbaik di dunia. Kalau sekarang ente bilang ane pelit, awas ye … ane bisa usir ente sekeluarga dari rumah ini sekarang juga! Ini rumah milik ane. Ente ane ijinin nempatin tidak secara gratis, tahu!”

“Memang berapa sih, bayaran kontrakan rumah ini?” tanya Icha akhirnya, tak tahan.

“Kagak mahal, cuma 2 juta sebulan! Tapi si Eka ini sudah tiga bulan kagak bayar.”

“Maaf pak, kalau untuk tiga bulan saya pas gak bawa cash, tapi kalau Cuma sebulan, saya ada ….” Icha mengeluarkan dompetnya, mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu. Tetapi dengan cepat Angel meraih tangannya.

“Jangan! Jangan kasih haji pelit itu uang!”

“Hei, ente ini jangan ngalang-alangin orang dapat duit, ye!” lelaki tua berpeci putih itu mendekat ke Icha, lalu merebut dua puluh lembar ratusan ribu yang tergenggam di tangan Icha. “Ini hak ane!”

“Kembalikan uang itu!” bentak Angel. Tetapi pak Haji hanya senyum-senyum menyebalkan.

“Kembalikan? Enak saja. He, Mpok! Kalau ente mau minta tagihan utang, urusan sama si Eka ini, ye?! Ini baru bayaran sebulan, lho! Masih ada utang 2 bulan. Tapi sementara ini aye izinkan tetap di sini,” kata si Haji itu pada Icha. Lalu ia ngeloyor keluar setelah sebelumnya bicara kepada Eka dan ibunya. “Ente berdua harus pada berterimakasih sama Mpok ini! Berkat die, ente tetap bisa tinggal di sini! Hehe… kalian ini benar-benar teman-teman yang baek. Pak Haji doakan, kalian mendapat rijki yang banyaaak!”

Dih, kali ini orang naik hajinya dari hasil ngerampok, desis Kinanti, bete.

Angel mendesis-desis seraya mengepalkan tangan, menahan kemarahan yang seakan ingin meledak dahsyat. Melihat itu, Icha segera bangkit, meraih pundaknya, menepuknya perlahan.

“Sudahlah, Angel! Nggak usah dipikirin lagi kejadian tadi. Anggap aja angin lalu,” hiburnya.

“Uang itu… pasti akan aku bayar!” desis Angel, getas.

“Tidak usah dipikirin!”

“Aku tidak mau berhutang budi!” tukas Angel, “terhadap siapa pun!”

“Termasuk kepada kami? Sahabat-sahabat kamu?” Kin ikut bangkit, mendekati Angel.

“Jangan beri aku harapan! Karena aku nggak mau terseret pada dunia semu yang merupakan mimpi belaka. Aku ingin hidup lebih baik, tetapi aku tidak sudi jika itu terjadi karena belas kasihan. Aku pasti akan ganti uang Kak Icha, tenang saja!”

Icha dan Kin saling pandang, lalu sama-sama angkat bahu dan mengembuskan napas panjang.

BERSAMBUNG KE BAGIAN 16

CATATAN PENULIS:
Novel “Simfoni Bunga Rumput” ditulis pada tahun 2005 dan pernah terbit sebagai buku di FBA Press. Penayangan di website ini setelah melewati proses rewrite dengan penambahan bab-bab baru. Karena ditulis tahun 2005, setting novel ini tentu sangat berbeda dengan Jakarta saat ini. Ingin baca novel ini secara lengkap? Silakan klik NOVEL SIMFONI BUNGA RUMPUT.


2 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here