Kisah-Kisah yang Membawaku Menemukanmu

4
98

Aku serius, bolehkah aku datang ke rumah?

Pesan WhatsApp itu telah kamu baca berkali-kali. Namun begitu, tanganmu masih belum bisa memberi balasan. Ada bimbang dalam hati, juga kalut dalam pikiran.
Tentu kamu sudah sangat kenal dengan si pengirim pesan. Yah, meskipun perkenalan itu sebatas dunia maya saja. Kamu pun yakin, bahwa lelaki bernama Ja’far itu adalah orang baik yang ingin serius menjalin hubungan. Tetapi … pikiran buruk membuatmu ragu.
Bisakah dia menerimaku apa adanya? Apa dia tidak akan mundur setelah tahu kekurangan yang aku miliki?
***

Kamu masih sangat ingat kejadian di sore kemarau dua tahun lalu. Saat tubuhmu rebah bersama kelopak melati yang jatuh tertiup angin. Pekarangan belakang rumah dengan aroma bunga putih itu, menjadi saksi. Hatimu remuk setelah sebuah pesan WhatsApp masuk mengabarkan pembatalan pernikahan yang akan dilaksanakan satu bulan lagi.
Gedung resepsi, catering, make up dan gaun pengantin, bahkan souvenir dan undangan telah siap. Tapi apa mau dikata, calon suamimu justru mundur. Ia tidak bisa menepis khawatir, kalau-kalau kelainan kulit yang kamu idap akan menurun pada anakmu kelak. Memang salahmu, baru memberitahukan kelainan itu setelah lamaran.
Kamu gadis pengidap ichtyosis vulgaris, kelainan yang menyebabkan kulit kering dan bersisik. Bersyukur, kelainan yang kamu alami tidak parah karena hanya menyerang area tangan dan kaki. Sementara bagian tubuh lain normal, termasuk wajah.
***

Gimana, Dik?
Layar ponselmu menyala, pesan dari laki-laki yang tempo hari ingin main ke rumah kembali menyapamu.
Kamu memang keterlaluan, telah tiga hari pesan itu kamu baca, tapi tidak ada satu huruf pun yang kamu kirim sebagai balasan.
Maaf, ya, Dik. Maaf jika permintaanku membuatmu tidak nyaman.

Kali ini, entah datang dari mana, keberanian itu akhirnya muncul. Kamu balas chat lelaki itu dengan satu kalimat pendek.
Nanti akan aku kabari, maaf lama baru bales.

Kamu pun segera menghubungi Ikrimah, sahabat yang telah lama menjadi tempatmu berkeluh kesah. Kamu luapkan segala gundah yang membelenggu. Tentang hatimu yang masih takut akan kejadian buruk di masa lalu.
Lalu, Ikrimah menjadi pendengar yang sangat baik. Ia mengerti bagaimana harus bersikap.
“Dia pembaca tulisan-tulisanku di fiksiislami.”
“Ciye … pembaca setia, ya?”
“Mungkin.” Kamu menjawab dengan wajah sedikit merona. Seakan-akan, di kedua pipimu muncul buah tomat matang. “Dia sering share tulisanku di facebook, kadangkala, dia juga meninggalkan jejak komentar di postingan.”
“Artinya, dia menyukai kepribadianmu lewat tulisan-tulisan itu. Bukankah ini pertanda baik?”
“Tapi dia tidak tahu tentang ichtyosis vulgaris yang ada padaku.”

Keadaan menjadi hening. Baik kamu atau pun Ikrim, sama-sama memikirkan tentang kemungkinan buruk yang akan terjadi.
“Kerjaannya, apa?”
“Dia relawan Rumah Zakat.”
“Emm … kalau menurutku, sebaiknya kita coba saja dulu.” Sahabat baikmu itu, mendekat dan mengelus tanganmu. “Kita punya Allah, kita pasrahkan semua pada-Nya.”
“Tapi ….” Emosimu mulai naik, bayang-bayang kegagalan kembali menyerang kesadaran. Ribuan duri tiba-tiba saja menancap pada hatimu, sakit dan perih.
“Allah Maha Rahim, kita harus percaya. Dia tidak akan membuat hamba-Nya bersedih terus-menerus. Mungkin, ini saat bagimu untuk bahagia.”
***

Hai, jika kamu serius, kita ta’ruf dulu ya … Kirimkan biodatamu ke alamat ini.
Akhirnya kamu memberi kabar kepada lelaki itu, Ja’far Al Mansyur. Sebuah balasan super cepat pun kamu terima.
Jadi, kamu mau kasih aku kesempatan? Makasih ya.
Jangan makasih dulu, tunggu sampai kamu baca biodataku.
Sebuah emoticon dua tangan yang bertangkup menutup chat antara kamu dan Ja’far. Proses perkenalan ini berlanjut melalui grup WhatsApp dengan moderator sahabat karibmu, Ikrimah dan suaminya yang seorang ustad.

Sesuai kesepakatan, Ja’far dan kamu akan mengumpulkan biodata pada Ikrim dan suaminya. Tetapi, biodatamu yang akan diberikan dulu pada Ja’far. Jika dia memutuskan untuk lanjut, barulah kamu akan membaca biodatanya. Jika tidak, maka proses akan selesai.
Simpel dan ringan bagi hatimu. Jika tidak berlanjut, memang sebaiknya kamu tidak tahu profil pribadi Ja’far. Buat apa, kan? Hanya menambah kecewa dan memperpanjang angan.
Setelahnya, hanya doa saja yang terus kamu rapalkan. Memohon pada Allah supaya memberikan hal terbaik. Sengaja, kali ini kamu tidak melambungkan harapan terlalu tinggi, takut sakit ketika tidak terkabul.
***

Ini hari kesembilan setelah biodatamu diberikan pada Ja’far. Hatimu sedikit resah, mengapa kabar belum juga datang. Padahal kesepakatan awal, seminggu kemudian Ja’far akan menyampaikan keputusannya.
Pucuk dicinta ulam tiba, rupanya kegundahanmu terjawab melalui pesan yang baru saja Ikrim kirimkan padamu.
Wir, ada kabar kurang baik, nih.
Bibirmu tersenyum samar, sudah menebak kabar apa yang akan disampaikan Ikrim.
Ya, aku enggak apa-apa. Memang takdirku begini.
Emang kamu tahu, apa kabar yang akan aku sampaikan?
Apa? Ta’arufnya gagal kan? Enggak apa-apa Ikrim, aku sudah lebih kuat.
He-he-he … Bukan! Si Ja’far minta tambahan waktu untuk istikharah. Genapkan dua pekan katanya. Sabar ya ….
Kamu kembali menata hati, kembali bersabar menunggu waktu keputusan. Meskipun dalam kenyataannya, hatimu kerap gelisah. Apalagi, tulisanmu yang tayang pekan ini tidak mendapat komentar dari Ja’far. Mendadak kamu merasakan sesuatu yang kosong. Seperti ada yang kurang lengkap.
Memang, selama proses, segala interaksi yang bersifat pribadi tidak boleh dilakukan sementara waktu. Bahkan akun sosmed pun diblokir sementara demi menjaga hati supaya netral.

Hatimu mulai berdamai dengan penantian. Tetapi, justru dari arah lain, guncangan datang membuat perasaanmu berantakan.
Kamu kaget, ketika memarkir motor di halaman rumah dan mendapati vespa warna metalik terparkir manis di bawah pohon mangga yang mulai berbunga. Penglihatanmu seperti tak asing dengan vespa itu, seperti pernah melihat. Tapi di mana?

“Wir!” Suara Ibu mengagetkanmu, wanita anggun itu seperti anak kecil, berlari-lari menyongsongmu. “Kenapa lama sekali baru pulang? HP juga enggak aktif dihubungi,” bisik ibu sambil menggandeng tanganmu.

Kamu yang masih bingung, terus saja digandeng ibu hingga masuk ke rumah. “Ayuk buruan mandi! Ibu sudah siapkan ganti di kamar.”
Kamu semakin melongo, ibu terus saja berbicara memberi instruksi seperti menyuruh anak kecil. Bahkan kamu merasa, ibu sudah berlebihan.
“Ada apa, sih, Bu?”
Pertanyaanmu tidak ibu jawab, malah handuk dan gamis biru langit telah ibu sodorkan. “Cepet!”

Mau tak mau, kamu pun menurut. Ibu memang wanita cerewet yang kadangkala masih menganggapmu seperti anak kecil. Terlebih, setelah peristiwa sedih dua tahun lalu, perhatian ibu bertambah-tambah.

Selesai mandi dan mengenakan gamis pilihan ibu, kamu duduk di kasur siap mendengarkan berita heboh dari wanita yang paling kamu sayangi.
“Bentar lagi Bapak pulang bersama Nak Raihan.”
“Raihan? Ra-Ra-Raihan siapa?” tanyamu kaget, hampir saja kamu terloncat karena kaget.
“Raihan yang itu. Kamu lupa?”
Teka-teki keanehan ibu terjawab. Rupanya Ibu menginginkanmu menerima kembali lelaki yang dulu sudah membatalkan pernikahan. Ibu pun bercerita, kalau saat ini Raihan telah siap menerima kekuranganmu. Ia menyesal telah menjadi pengecut dan meninggalkanmu.

Tetapi karena kamu tidak pulang-pulang dan HP tidak bisa dihubungi, maka Bapak mengajak Raihan pergi ke luar. Lelaki yang selalu menanyakan kondisi hatimu itu, mengajak Raihan bicara serius sebagai lelaki, hanya berdua saja. Bapak memboncengkan Raihan meninggalkan rumah.

Dadamu bergemuruh, terbayang lagi kesedihan yang dulu kamu rasakan. Seminggu lamanya kamu tidak keluar kamar kecuali untuk urusan ke kamar mandi. Bahkan makan pun kamu lakukan di atas kasur. Kamu masih ingat, dulu sangat syok dan merasa dicampakkan.

“Nak Raihan mau minta maaf sama kamu.”
Gemuruh dalam dadamu menjelma banjir di sudut mata. Kamu menumpahkan segala sesak yang dirasa dengan tangis nelangsa.
Beberapa lama kemudian, suara motor terdengar merapat ke halaman. Disusul kemudian suara Bapak menanggapi lawan bicaranya.
Kamu berdiri meski dengan tubuh bergetar, mengintip dari jendela kamar. Bapak berjalan beriringan dengan seorang lelaki berkemeja biru. Kamu tahu, lelaki itu adalah Raihan, lelaki yang telah menancapkan duri dalam hatimu.
“Wirdi enggak sanggup ketemu Raihan, Bu.”
***

“Jadi bagaimana?” Ikrim memandangmu prihatin. Tangannya mengelus pundak dan mencoba memberikanmu kekuatan.
“Berikan aku nasihat,” pintamu memelas. “Hatiku masih sakit saat ingat pembatalan pernikahan itu.” Wajahmu masih saja berhias air mata. Sampai-sampai mata yang sipit itu semakin tak terlihat. Matamu memang begitu, mudah bengkak saat menangis.

“Bagaimana dengan Bapak dan Ibu?”
“Mereka menyerahkan keputusan padaku.” Kamu kembali mengambil tisue dan menempelkannya pada pipi yang lagi-lagi basah. “Bapak juga berpesan, jika hatiku belum bisa menerima, sebaiknya aku tolak saja ajakan Raihan untuk balikan.”

“Bagaimana dengan Ja’far? Apa kamu ada kecenderungan padanya?”
Kamu terdiam, menatap Ikrim dengan penuh tanya. Bagaimana mungkin kamu punya kecenderungan, sementara Ja’far juga belum memberi keputusan. Kamu sungguh tak berani memintal harap meski hanya sebuah kecenderungan.
“Semalam, suami bilang, Ja’far memberi keputusan ingin melanjutkan proses ta’aruf.”
***

Setelah drama penuh air mata, akhirnya kamu memutuskan membaca biodata Ja’far dan menyanggupi untuk lanjut pada tahap nadzor. Untuk tahapan ini, kamu meminta Bapak dan Ibu ikut serta.
Melihat calon pasangan merupakan sunnah nabi. Salah satu tujuannya supaya hati mempunyai kecenderungan dan menghilangkan prasangka. Saat nazhor, seseorang diperbolehkan melihat bagian tubuh calonnya untuk niat ibadah, bukan untuk mengolok atau pun mengambil keuntungan. Maka, Ja’far pun diperkenankan melihat tangan dan kakimu yang terjangkit ichtyosis.
“Cukup,” ucap Ja’far saat betis hingga telapakmu diperlihatkan tanpa kain penutup.
Setelah tanya jawab dan nadzor selesai, proses ini pun ditutup dengan pemberian waktu untuk mengambil keputusan antara satu hingga dua minggu.
***

Kamu telah lulus dalam ujian kesabaran menunggu jodoh. Ta’arufmu dengan Ja’far berjalan baik. Namun, entah bagaimana perasaanmu. Saat ini, kamu bahkan tak bisa menelan makanan walau hanya satu suap. Matamu awas memerhatikan gerak jarum jam. Ternyata, menanti jodoh selama dua tahun itu, tidak ada apa-apanya dibanding menanti prosesi akad selama setengah jam. Jantungmu terasa melompat-lompat. Takut, cemas, dan entah apalagi.
Namun begitu, wajahmu sungguh cantik hari ini. Riasan tipis dengan lipstik warna nude, eyeshadow brown, dan celak serta maskara berlabel halal membuatmu berbeda.

Dalam kecemasan dan kalutnya pikiran, kamu pun teringat, detik-detik setelah Ja’far menyampaikan keputusan ingin mengkhitbahmu.
“Apa yang membuatmu tidak takut terhadap ichtyosis yang ada padaku?” Kamu tidak mau gegabah dan langsung bersuka-cita. Olehkarenanya, kamu perlu tahu, apakah Ja’far yakin dengan keputusannya?
“Karena aku telah mengenal kehalusan dan keharuman budimu melalui tulisan-tulisanmu. Aku mau, anakku kelak, dididik oleh perempuan sepertimu.”

Wajahmu bersemu, sungguh pujian yang barusan kamu dengar membuat dunia seakan menyempit dan hanya ada kamu dan Ja’far.
“Masalah ichtyosis, aku pasrahkan pada Allah. Dia yang menganugerahkan itu padamu, jadi Dia juga yang akan menjagamu, juga menjaga anak-anak yang lahir dari rahimmu kelak.
Tepat saat lamunanmu terisi senyum Ja’far yang kau curi saat nazhor, saat itu juga, pemilik senyuman lembut dan hangat itu telah berada di depan penghulu dan mengucapkan akad lalu disambut riuh suara ‘sah’ dari para hadirin.

***


4 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here