Leno manyun mendadak. Membuat Seila dengan sigap memahami keadaan. Leno tidak berkenan dengan kejar tayang yang dijadwalkan Seila. Maka Seila harus meredam ketergesaannya barang sejenak. Walau tak urung matanya berkali-kali melirik kalender. Memastikan, bahwa hari yang dinanti itu benar-benar tinggal tiga hari lagi. Sungguh dia tidak berharap Leno akan mandeg di tengah jalan. Untuk itu, sedikit bersabar sungguh diperlukan saat ini.
“Bagaimana sayang?”
“Leno capek,” ucap Leno tanpa menatap ibunya.
“ibu buatkan susu ya?”
Leno menggeleng. Dia mengangkat kakinya ke atas sofa, dan merebahkan diri.
“Leno lapar?” tanya Seila lagi, dengan nada lebih lembut.
“Leno tidak lapar.”
“Hmm, kalau begitu, ibu setelkan CD-nya saja ya? Leno sambil rebahan juga tidak apa-apa. Sambil rebahan, sambil mendengarkan.”
Leno meraih bantal kursi dan menutupkan ke mukanya. Dia tidak menyukai permintaan ibunya. Seila mendesah panjang. Dia tidak bisa memaksa lagi. Semakin dipaksa, anak itu akan semakin tertekan dan stress. Biasanya Leno menikmati, tapi entah beberapa hari ini, dia kelihatan gelisah.
Seila mengambil undangan di atas buffet. Lomba Kreatifitas Autisme se-Jawa Timur. Dan Leno adalah utusan dari Yayasan tempat Leno menjalani terapi selama ini. Bukan tanpa alasan, Yayasan mengirim Leno. Leno memang luar biasa. Dia mampu menghafal apa saja yang baru didengarnya, tanpa ada satu kata pun yang terlewat. Baik itu pembicaraan yang selintas lalu didengarnya, berita di televisi, atau orasi yang panjang dan lebar. Dan pihak Yayasan menyarankan untuk meningkatkan kemampuan Leno dengan melatihnya mendengar orasi-orasi panjang dari tokoh-tokoh se-Indonesia. Besar kemungkinan, orasi-orasi itulah yang akan diperdengarkan saat Lomba nanti. Mengingat kata-kata dalam orasi bukanlah kata-kata yang biasa didengar Leno sehari-hari dan tidak mudah dipahami. Maka akan menjadi nilai lebih bagi Leno nantinya, bila dia bisa mengulang dengan tepat.
“Leno, nanti sepulang dari Surabaya, kita ke Water Park? Bagaimana?”
Leno membuka bantalan kursi yang menutupi mukanya. Seila tersenyum sumringah. Leno suka bermain air. Maka, dia tidak akan menampik apa pun tugas yang diberikan, asalkan mendapat reward atau hadiah bermain air.
“Leno ke Water Park?”
“Iya. Tapi harus mendengarkan dulu pidato Bung Karno ini. “
Leno duduk dengan sigap. Seila menyetel CD pidato Bung Karno. Setumpuk CD yang dia bawa dari Yayasan hampir semuanya sudah didengar dan ditirukan Leno. Dan semuanya tanpa ada satu katapun yang terlewat. Seila tersenyum, lalu duduk di samping putranya, seraya mengalungkan lengannya di leher Leno. Memperlakukan Leno dengan santai. Tubuh mereka berdua sama tinggi. Bedanya, Seila lebih gemuk dari Leno.
OoO
Leno punya kebiasaan aneh sebulan ini. Dia selalu bangun sebelum subuh, dan duduk di teras samping rumah. Seila semula tidak begitu memperhatikan, tapi dia senang Leno tidak perlu dibangunkan untuk berangkat terapi. Anak itu akan betah duduk di kursi rotan di teras rumah sampai matahari terbit. Seila tinggal menyuguhkan sarapan tanpa perlu lagi merayu-rayunya.
“Jangan dibiarkan dia berlama-lama di situ, “ saran Candra, suami Seila.
“Aku rasa, dia perlu banyak istirahat menjelang lomba itu, Mas. Kadang kulihat dia komat-kamit, sepertinya sambil mengingat-ingat hafalannya.”
“Kalau begitu, sambil kamu setelkan CD-nya.”
“Dia tidak mau. Dia ingin suasana sepi.’
Candra hanya manggut-manggut. Mereka berdua sarapan tanpa Leno. Anak itu tidak mau diusik sampai matahari mulai bersinar hangat dan menyilaukan pandangan matanya. Hari ini adalah gladi bersih. Leno akan menampilkan kebolehannya menghafal di depan para pengurus Yayasan. Dan besok, adalah hari penting bagi keluarga Candra.
OoO
Suasana mendadak tegang. Mas Rendy, pendamping Leno menatap Seila berkali-kali. Pengurus Yayasan kasak kusuk. Gladi bersih tidak berjalan sesuai rencana. Beberapa siswa sudah menunjukkan keahliannya masing-masing di depan pengurus Yayasan. Dan semuanya memuaskan. Berbagai lomba akan diikuti di Lomba Kreatifitas Autisme se-Jawa timur itu. Menari, melukis, bermain musik, menyanyi, drama. Dan Leno adalah satu-satunya andalan Yayasan untuk Lomba Menghafal.
Dan Leno membuyarkan harapan para pengurus Yayasan. Dia mencampur aduk pidato Soekarno dengan surat-surat pendek Al-Qur’an.
Mas Rendy meminta Seila dan suaminya masuk ke ruangannya. Seila tidak merasa melakukan kesalahan dalam mempersiapkan Leno. Tapi, mengapa Leno bisa mengucapkan ayat-ayat dalam Al-qur’an? Padahal dia tidak pernah memperdengarkannya
“Bu Seila, bagaimana ini bisa terjadi? Lombanya sudah besok, lo Bu. Kok bisa Leno bisa kacau seperti itu?”
Seila melirik suaminya, seraya menelan ludah.
“Saya bahkan tidak pernah mengajari dia bacaan Al-Qur’an. Yang saya setel tiap hari hanya pidato. Malah, suami saya tidak pernah mengajak dia sholat di Mesjid, supaya dia tidak mendengar suara yang lain.”
Rendy diam, tidak bisa menjawab. Anak autis terbentuk dari sekelilingnya. Bagaimana pembimbingnya, dan bagaimana orang tuanya sehari-hari. Mengabaikannya akan membuat kondisinya menetap, apalagi tanpa memberi dia masukan akan mengembangkan potensinya. Tinggal memilih, ingin mengembangkan potensi yang mana. Maka di situlah, orang-orang di sekelilingnya harus berperan untuk mendukungnya.
“Hmm, pihak Yayasan kuatir, besok di tempat acara, Leno akan semakin ngelantur. Jadi tolong, dicari sumber masalahnya. Sebelum berangkat, Leno akan kami tes lagi. Kebetulan, jadwal Lomba Menghafal menjadi acara penutup. Jadi masih banyak waktu buat Leno, tolong dimanfaatkan baik-baik. “
Candra menggenggam tangan Seila yang dingin. Dia tahu, Seila sudah berusaha semaksimal mungkin dan berusaha tidak membuat kesalahan. Tapi, bagaimana bisa Leno menyimpang sejauh itu? Kalau saja pidatonya terbalik dengan pidato tokoh lain, Candra dan Seila memaklumi. Tapi ini adalah hafalan baru Leno, bukan terbalik dengan hafalan lain.
OoO
Leno masih duduk di teras samping. Tentu saja dia tidak menyadari kepanikan ayah dan ibunya. Dia hanya melakukan apa yang diperintahkan oleh ayah, ibu dan pembimbingnya selama ini. Leno merasa nyaman duduk berlama-lama di teras samping rumahnya. Di situ, entah mengapa dia merasa begitu tenang. Apalagi, suara-suara indah dari rumah sebelah, yang hanya berbatas tembok setinggi dadanya. Suara-suara itu sangat dinikmatinya, lebih dari suara-suara pidato itu. Bahasanya aneh, tapi Leno menyukainya. Dan perlahan, bibirnya mengikuti.
“Leno?”
Leno tidak menoleh ke sumber suara yang memanggil namanya, seperti biasa. Sehingga Seila menghampirinya dan duduk di sampingnya. Seila mengusap kepala anaknya. Malam minggu seperti ini, dia tak hendak memaksa Leno untuk mendengarkan pidato-pidato itu. Kenapa tadi pagi bisa kacau seperti itu, Seila harus menanyakannya perlahan-lahan pada Leno.
“Leno? Ibu mau bertanya.”
Leno tidak mengindahkan. Mulutnya komat kamit. Seila tersenyum. Dia mendekatkan telinganya ke bibir Leno. Tapi sejurus kemudian, dia terkejut.
“Leno! Kamu menghafalkan apa?”
Leno menoleh ke ibunya, dan dia memperkeras komat kamitnya, “Wan naazi’aati ghorqo. “
“Leno?”
Seila menelan ludah. Dia tahu apa yang dibaca Leno, sepotong ayat Al-qur’an, seperti yang dia peragakan tadi pagi di Yayasan.
“Darimana kamu dengar itu, nak?” tanya Seila perlahan. Dia tidak ingin menghakimi Leno, tapi dia harus tahu dari mana Leno mendapatkan kalimat yang baru saja dia ucapkan.
Leno tidak menjawab, tapi dia memperkeras komat-kamitnya. Dia senang, akhirnya ibunya menanyakan kalimat-kalimat yang sudah dihafalnya sejak sebulan ini. Dan sayup-sayup. Seila mendengar suara indah itu. Dari balik pagar yang membatasi rumahnya dengan rumah tetangga. Tetangga baru, yang sejak sebulan lalu menempati rumah baru mereka. Rumah itu sebelumnya kosong, dan mereka membeli serta merenovasinya. Seila belum begitu mengenal keluarga itu, karena dia sibuk mempersiapkan Leno.
OoO
Candra dan Seila merasa, ini bukan saat yang tepat untuk bertamu. Tetangga sebelah rumah mereka, sedang menggelar tikar di ruang tamu mereka. Sang ibu dan dua anak perempuannya masih memakai mukena. Dan sang ayah juga masih memakai baju koko, sarung dan kopiah.
“Maaf, kami mengganggu, “ ucap Candra, tidak enak hati, “Ada acara pengajian?”
“Oh, tidak, Pak Candra. Kami biasa seperti ini selepas maghrib dan subuh. Jadi mohon maaf. Kami juga belum punya di kursi, “ ucap Handoko, sang kepala keluarga ramah.
Maka Candra dan Seila pun dengan rikuh duduk di tikar.
“Ada perlu apa ya Pak Candra?” tanya Handoko setelah meminta kedua anaknya merapikan Al-Qur’an dan masuk ke dalam.
“Begini, Pak, “ ucap Candra seraya melirik istrinya, “Besok, Leno, anak saya mau Lomba di Surabaya.”
“Oh ya? Leno? Subhanallah, saya dengar Leno punya bakat istimewa, ya Pak Candra. Cepat menghafal. Terus kenapa Pak? Ada yang bisa saya bantu?”
“Emm … begini, Pak. Leno sudah sangat hafal semua pidato-pidato tokoh-tokoh terkenal di Indonesia, cuma beberapa hari ini, dia agak terganggu dengan …”
Pak Candra semakin berat hendak mengutarakan maksudnya, entah kenapa. Tapi istrinya bergegas menimpali. “Hafalan Leno jadi kacau sejak sering mendengar anak-anak Pak Handoko mengaji.”
Handoko dan istrinya terkejut mendengar pernyataan Seila. Mereka saling berpandangan. Bukankah mereka selama ini mengaji dengan suara biasa saja, cukup didengar oleh orang serumah? Mengapa Leno bisa terganggu?
“Mohon maaf, Pak Candra. Tapi selama ini, kami mengaji dengan suara … ya seperti saya sekarang ini berbicara. Mohon maaf apabila ini mengganggu. Kami akan mengaji di dalam kamar saja.”
Suasana menjadi tidak enak, tapi Candra sebagai tamu dengan cepat mencairkan suasana. Dia pun mulai menanyakan tentang pekerjaan, asal daerah dan pertanyaan-pertanyaan umum lainnya kepada Handoko. Maklum, mereka baru sebulan bertetangga. Seila pun menimpali dengan menceritakan beberapa prestasi yang diraih Leno dalam Lomba Menghafal, bahkan beberapa media yang sudah meliput anaknya.
Menjelang kepulangan Candra dan Seila, Handoko mengantar keduanya sampai ke halaman depan. Mereka pun menjadi akrab.
“Pak Candra, salam buat Leno. Saya jadi iri sama pak Candra, punya anak hebat seperti Leno, cepat dan mudah menghafal.”
Candra dan Seila merasa lega. Handoko ternyata bisa menerima komplain mereka dengan mudah.
“Anak-anak seperti Leno memang harus diasah potensinya, Pak Handoko, “ ucap Candra seraya menjabat erat tangan Handoko.
“Iya, nih. Kapan-kapan biar anak-anak saya minta resepnya biar cepat dan mudah menghafal. Selama ini, harus tiap hari dibimbing. Habis maghrib dan subuh, tapi masih belum hafal juga.”
Candra mengernyitkan kening. Jadi, Handoko juga mengajari anaknya menghafal seperti Leno? Tapi, apakah sama hafalannya?
“Memangnya, anak Pak Handoko menghafal pidato siapa?”
“Pidato? Bukan Pak. Anak-anak saya menghafal Al-qur’an.”
Candra dan Seila tertegun.
*****
Wajah Mas Rendy merah padam. Dia tidak menyangka Candra dan Seila membatalkan keberangkatan Leno ke Surabaya. Bukannya melatih Leno lebih intensif, mereka malah mundur begitu saja.
“Kenapa?” ucapnya kasar, tanpa sopan santun seperti biasa.
“Kami merasa, hafalan itu akan membebani Leno, “ jawab Candra mantab, “Dia sekarang ingin menghafal yang lain.”
Mas Rendy sebagai Ketua Yayasan menahan nafas, menahan amarah. Mukanya merah padam. Selama ini, tidak pernah ada wali murid yang membuatnya benar-benar marah. Dia akan kehilangan muka di Surabaya. Gembar-gembor Leno sudah terdengar gaungnya di Surabaya. Membatalkan begitu saja, sama dengan mencoret-coret mukanya dengan crayon.
“Oke, kalau begitu, Anda harus membayar ganti rugi biaya, yang tentunya tidak sedikit. Ini berkaitan dengan segala fasilitas yang sudah kami berikan untuk menunjang bakat Leno,” ancam Mas Rendy. Dia yakin, sepasang suami istri di hadapannya akan berpikir beribu kali untuk mengganti biaya ganti rugi yang tidak sedikit.
“Akan saya bayar dan saya kembalikan semua fasilitas penunjang lainnya.”
Mas Rendy terhenyak, tidak menyangka dengan jawaban suami istri di hadapannya.
“Kemampuan Leno harus diasah terus, Bu. Sayang kalau dia dibiarkan begitu saja tidak menghafal.” Tiba-tiba Mas Rendy melunak. Mengganti strategi, berharap Candra dan Seila berubah pikiran.
“Dia akan terus menghafal. “
“Lalu apa yang akan dia hafal kalau semua fasilitas Anda kembalikan?”
“Dia akan menghafal Al-Qur’an. Itu hafalan terbaik bagi dia dan kami.”
Mas Rendy kembali terhenyak. Benarkah itu hafalan terbaik? Berapa harga yang didapat dari menghafal Al-Qur’an? Hanya sebuah buku, yang bahkan tidak mudah dimengerti begitu saja jika membacanya. Lelaki itu geleng-geleng kepala, tidak bisa melogika. Namun, Candra dan Seila telah memutuskan yang terbaik untuk anaknya.
*****
Bikin merenung… apa yang benar-benar penting untuk dikejar 🙂 Terima kasih sudah menuliskan cerpen ini, Kak.
Alhamdulillah, terima kasih sudah membaca, Kak.