Simfoni Bunga Rumput 16

0
107

“Nggak kusangka, kehidupan Angel ternyata begitu memprihatinkan,” desis Icha seraya berkonsentrasi memegang kemudi. “Dia cuma SPG yang gajinya nggak seberapa. Sedang ibunya hanya penjual gado-gado….”

“Tetapi dia kuliah di Unmaja. Nekad sekali dia,” bisik Kin. Sama persis seperti dia. Tapi, dia kan dapat bea siswa. Gratis, bahkan dari jatah bulanan, Kin masih bisa menabung sedikit-sedikit. Mengapa Angel mendaftar kuliah di Unmaja? Benar-benar hanya nekad, atau ada hal lain?

“Sebenarnya, Angel memang dapat keringanan dari kampus. Dia pernah cerita ke aku,” ujar Tracy.

“Oya?” Kin melirik Tracy.

“Prestasi Angel di SMA bagus, nilainya tinggi. Dan dia punya beberapa prestasi tingkat nasional semasa SMA dulu. Tapi, karena banyak kendala, Angel nggak langsung lanjut kuliah. Dia kerja di sebuah supermarket. Ternyata, supermarket itu milik Pak Adam, salah seorang pejabat di kampus kita. Kak Kinanti kenal?”

“Oh, Prof Adam? Beliau wakil rektor.”

“Beliau yang kemudian mengarahkan Angel untuk kuliah, dan menjamin Angel, sehingga dapat keringanan. Gak bisa seratus persen gratis, tapi lumayan banget menghematnya.”

“Oh, jadi Angel kerja di perusahaan Profesor Adam? Memang baik sih, Prof Adam itu,” lanjut Icha. “Meski dikenal pelit nilai, hehe. Mata kuliah Prof Adam, gue gak ada yang tembus di atas B. Kin doang yang bisa dapat A, haha.”

“Berarti, selain kuliah, Angel juga kerja, ya?” tanya Kin.

“Iya, kak. Tapi dia selalu bisa memilih shift. Misal kuliah pagi, shiftnya sore, atau sebaliknya. Untungnya semester pertama ini, kuliah kita banyak pagi, ya.”

“Dan … dia masih harus mengurusi Remo?”

“Setelah ibunya keluar dari penjara, karena ada banyak keringanan hukuman, Angel merasa lebih terbantu.”

“Ya Allah….”

“Ya begitulah. Tekadnya begitu luar biasa. Kehidupan yang keras, telah menempanya menjadi setegar batu karang,” Tracy menghela napas panjang. “Awalnya, jujur, gue meremehkan dia banget, bahkan agak ngeri dengan kehidupannya yang menurut gue serem. Tapi, akhir-akhir ini, gue dan Angel mulai dekat. Dan semakin ngerti kondisi hidupnya, gue jadi ngerasa semakin nggak punya arti. Selama ini, gue hidup di antara kehidupan yang gemerlapan. Gue nggak pernah peduli pada nasib sesama… betapa egoisnya gue. Pantas, gue ngerasa selama ini hidupku terasa gersang. Gue memang tak pernah sendirian, gue selalu ada di tengah keramaian… namun gue merasa sunyi….”

“Sekarang, sunyi itu masih terasa?” tanya Icha.

“Tidak!” teriak Tracy tiba-tiba, lepas tanpa beban. “Gue merasa jiwa berseri-seri. Gue ngerasa dunia sekarang penuh dengan warna-warni ceria. Kakak-kakakku yang baik… aku sayaaaang sama kalian!”

Icha melirik ke arah Kin yang langsung mengacungkan jempol begitu menyadari ekor mata temannya itu menghujam ke arahnya. Mereka pun merekahkan senyum kebahagiaan mereka.

“Aku punya banyak tabungan, Kak. Duitku banyak, haha, kan artis, eh mantan artis, haha. Bagaimana kalau sisa tunggakan kontrakan Angel gue yang lunasin?”

“Ikhlas, Lo?” Icha mengernyit.

“Banget!”

“Keren Lo, Tracy, cepet banget Lo dapat hidayah.” Icha terbahak.

* * *

Begitu sampai di rumah, Kin mendapati Liza tengah asyik berbaring-baring di perpustakaan mininya yang sempit namun lumayan nyaman itu. Mas Danu memang sudah berangkat ke Solo tadi pagi. Jadi bisa lebih bebas-lah.

“Apa orangtuamu nggak bingung nyari-nyari kamu, Liz?” tanya Kin.

“Papa ke Eropa selama satu bulan. Alex, nggak tahu tuh … sekarang ada dimana dia ….”

“Alex?”

“Abangku yang satunya. Yang sudah meninggal itu Andre.”

“Mama?”

“Mamaku?” Liza merendahkan novel islami koleksi Kin yang tengah dibaca, lalu menatap Kin, pandangan terluka. Ups, cepat Kin menutup mulutnya. Bagaimana mungkin ia bisa lupa kalau Mama Liza sudah lama bercerai dan telah menikah lagi.

“Mama sekarang nggak tahu di mana. Kabarnya, ia udah nikah sama bos minyak dan tinggal di California,” jawab Liza, getir, membuat Kin semakin menyesali keteledorannya. Maka buru-buru ia pun memindah topik.

“Barusan aku, Icha dan Tracy silaturahim ke rumah Angel. Sayang kamu tidak ikut. Kalau berempat, kan lebih seru.”

Liza tidak menjawab. Ia memang menolak pergi kemana-mana. Ia bolos kuliah dan seharian mengurung diri di rumah Kin.

“Tadi Icha titip salam buat kamu. Sayang dia menolak kuajak menginap, karena kebetulan lagi ada tugas kuliah lumayan banyak. Eh, ngomong-ngomong kamu lapar nggak?”

Liza menggeleng. “Sudah makan, Kak. Tadi beli gado-gado di warung sebelah. Aku malah beli dua, yang satu buat kakak. Nggak tahu, udah basi apa belum.”

Suara salam dari bel elektronik di pintu bawah tiba-tiba berbunyi. Kin spontan meraih kerudungnya dan berlarian turun ke bawah. Siapa ya, yang datang sore-sore gini. Cepat ia membuka pintu dan lantas tertegun.

Seorang lelaki bertubuh jangkung berambut gondrong dengan beberapa anting di telinga. Sebuah tatto kalajengking tergores di lengan kirinya yang dibiarkan terbuka, karena lengan kemejanya sengaja digulung tinggi-tinggi. Ia sebenarnya cukup tampan. Tetapi penampilannya yang seram mirip preman, cukup membuat Kin merasa sedikit jeri juga.

“Maaf, cari siapa ya?” tanya Kin. Ia tak kenal lelaki itu.

“Saya cari teman saya.”

“Teman?”

“Namanya Eliza, biasa dipanggil Liza.”

Ups! Jangan-jangan…. “Anda siapa, ya?”

“Saya teman Liza.”

“Nama anda?”

Dia menatap Kin tajam. “Robert.”

Kinanti melangkah mundur. Dadanya berdebar kencang, antara marah, geram, tapi juga takut. Ugh! Lelaki brengsek itu? Bandar narkoba yang telah sukses menceburkan Liza ke jurang kehancuran. “Maaf, ini rumah saya, Kinanti, bukan rumah Liza.”

“Tetapi Liza ada di sini, bukan?” desak Robert.

“Kenapa anda begitu yakin?”

“Sejak kemarin aku mengamati rumah ini, dan aku tahu … Liza ada di sini. Suruh dia keluar! Aku ada urusan penting sama dia.”

“Liza tidak ada di sini!”

“Jangan bohong!” gertak Robert. “Atau aku geledah rumah ini?!”

“Kamu mengancam?” Kinanti balas menggertak. “Ingat, saya tuan rumah di sini, dan saya tidak ada urusan apapun dengan kamu!”

“Justru karena tidak ada urusan apapun, sebaiknya kamu tidak perlu terlibat dalam urusan ini. Suruh Liza keluar! Dia punya utang sebanyak seratus juta lebih kepadaku.”

“Utang apa?”

“Itu bukan urusanmu! Cepat suruh dia keluar. Aku nggak mau nggangguin kamu, tetapi kalau kamu usil, aku nggak bisa menjamin keselamatan kamu, mengerti!”

“Robert!” teriak Liza tiba-tiba.

Kin mengerutkan kening. Kenapa anak itu malah menampakkan diri? “Sebaiknya kau pergi saja dari sini! Jangan membuat kekacauan disini!”

“Nah, betul, kan …?” sengit Robert. “Kau ada di sini. Brengsek! Ayo bayar utangmu! Seratus dua belas juta! Itu baru sejumlah uang yang tidak kau setorkan. Belum dari barang yang kau pakai sendiri!”

“Aku nggak punya uang sebanyak itu, Rob!”

“Kalau begitu, kau harus kerja!”

“Tidak! Aku nggak mau lagi menjerumuskan orang lain ke dunia kehancuran dengan barang laknat itu. Aku sendiri tengah berusaha untuk lepas dari candu yang kamu berikan itu!”

“Kau tidak bisa lepas begitu saja, brengsek! Kau harus bayar hutang!”

“Aku tidak punya uang!”

“Papa kamu kan kaya raya! Kalau kamu malas kerja, kamu bisa minta ngambil duit Papa!”

“Tidak! Rob … mestinya Lo yang harus bayar utang ke gue! Gara-gara Lo, hidup gue hancur. Nah, impas kan? Sekarang, mending Lo pergi sejauh-jauhnya dari kehidupan gue, dan gue tidak akan menuntut apa-apa dari Lo!”

“Brengsek!” maki Robert. “Kalau kamu nggak mau bayar utang, kamu harus pergi bersamaku! Kamu harus jadi budakku. Itu baru impas.”

“Cih! Tidak sudi!”

“Aku akan memaksamu!” Robert bergerak menuju Liza setelah terlebih dulu mendorong tubuh Kin hingga terjajar ke arah tembok. Lantas ia menangkap tangan Liza dan menariknya kuat-kuat. Liza terjengkang, Kinanti yang masih terhuyung segera bangkit, mencoba menghalang-halangi, namun lagi-lagi ia justru kena tendang Robert.

“Toloooong!” teriak Liza saat Kin mengaduh mendekap perutnya yang mendadak terasa mulas. “Toloooong!”

“Diaaam!” bentak Robert. Rupanya suara teriakan itu membuat Robert merasa jeri juga. Takut orang-orang yang ada di sekitar situ ikut campur. Namun Liza bahkan semakin menjadi-jadi. Ia berteriak-teriak keras. Tepat seperti dugaan Robert, beberapa warga yang tengah duduk-duduk di teras rumahnya masing-masing di gang tersebut pun berlarian menuju ke rumah Kin.

“Ada apa, Kin?” tanya bang Jupri.

“Tolooong! Teman saya mau diculik lelaki itu!” teriak Kin.

“Heh! Lo brengsek!” bang Edo meloncat menubruk Robert. “Apa-apaan beraninya sama cewek!”

Robert berbalik ke arah Edo, tanpa berkomentar apapun, tinjunya melayang deras.

Bugh!

“Akhh!” Edo meraba bibirnya yang terasa perih terkena jotosan mendadak dari Robert. “Sialan! Main jotos begitu saja. Lo pengin ngerasain jadi dendeng, ya! Ini rasakan … hiigh!”

Tendangan khas karateka milik Edo pun melayang, tepat mengenai ulu hati lawan, disusul bogem mentah yang terayun berkali-kali. Robert terhuyung terkena hajaran beruntun itu. Ia memaki kasar, lalu… sreeet! Sebuah pisau lipat tiba-tiba tergenggam di tangannya.

“Do, hati-hati!” teriak Bang Adit. “Dia bawa pisau!”

“Cepat panggil polisi!” bisik Pak Salim pada Adit. Adit mengangguk dan berlari keluar.

Kini Edo berdiri dengan penuh kewaspadaan, sementara Robert tampak semakin kalap. Dengan makian dahsyat ia pun menerjang tubuh Edo yang dengan cepat berkelit. Robert pun hanya berhasil menubruk pot bunga di sudut ruang Kin hingga pecah berserakan. Bang Jupri kini menghantam tubuh Robert dari arah belakang dan mendekapnya kuat-kuat. Beberapa lelaki yang ada disitu ikut berkerumun. Tubuh Robert yang meronta-ronta pelan-pelan berhasil diseret keluar.

“Bedebah Lo!” maki Robert, panik.

Para penduduk yang kini memenuhi halaman sempit itu mulai berteriak-teriak marah. “Gebukin aja!”

“Lemparkan ke parit depan!”

“Hajar sampai mampus!”

“Ho-oh, biar kapok!”

 “Jangan!” seru pak Salim. “Jangan main hakim sendiri! Sebentar lagi polisi datang. Tadi Adit udah laporan. Nah, itu dia!”

Dua orang bintara polisi berseragam lengkap mendekat.

“Ini orang yang mengacau di rumah mbak Kinanti, Pak!” lapor seorang warga. “Dia bawa senjata tajam!”

Seorang polisi memborgol tangan Robert setelah menyita pisau lipat itu. “Tolong ada saksi yang ikut ke kantor!”

Kinanti, Bang Jupri, Bang Edo dan Pak Salim mengacungkan jari. Namun Liza justru tampak murung.

“Liz, kau ini kenapa?” tanya Kinanti.

“Percuma!” desah Liza.

“Apanya yang percuma?”

“Robert itu bekingnya kuat. Paling-paling ia hanya disel semalam, dan besok sudah dibebaskan.”

Kinanti menatap Liza, tajam.

BERSAMBUNG KE BAGIAN 17.

CATATAN PENULIS:
Novel “Simfoni Bunga Rumput” ditulis pada tahun 2005 dan pernah terbit sebagai buku di FBA Press. Penayangan di website ini setelah melewati proses rewrite dengan penambahan bab-bab baru. Karena ditulis tahun 2005, setting novel ini tentu sangat berbeda dengan Jakarta saat ini. Ingin baca novel ini secara lengkap? Silakan klik NOVEL SIMFONI BUNGA RUMPUT.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here