Salah satu hal menarik dari perkemahan ini adalah panorama alam yang begitu indah. Tepat di belakang tenda regu binaan Kin, sebuah danau kecil membentang, bersisian dengan padang rumput terhampar, dengan batang-batang rumput kerdil tumbuh dengan rapi, meski Pak Asep tampaknya tak pernah dengan khusus membenahinya. Beberapa batang rumput menyembulkan rumpun bunganya yang berwarna cokelat keputihan. Menambah indah suasana padang.
Bunga rumput…
Kinanti yang tengah mencoba meredam letih dengan membaringkan tubuh, bersandar ke gundukan batu hitam yang berjajar rapi, menyunggingkan senyum. Ia teringat perumpamaan Icha tentang simfoni dan bunga-bunga rumput itu.
“Aku ingin kau memainkan simfony untuk mereka, bunga-bunga rumput itu!”
Senyumnya melebar, tetapi kemudian dengan cepat menyempit dan berubah kecut.
Ah… tidak! Kau terlalu tinggi memandangku, Cha. Ia bukan sesosok pahlawan berhati intan yang dengan sepenuh kelihaian menarikan jemari lentiknya di atas piano kehidupan, menderapkan irama rumit bertajuk simfoni ala Mozart dengan sangat baik. Ia bahkan tidak memiliki obsesi sedikit pun untuk menjadi sang penakluk yang mampu menundukkan keliaran mereka. Tidak! Ia hanya ingin menjadi air yang mengalir. Ia akan pergi bersama aliran itu, yang rupanya memang telah tercipta sebaris dengan takdir yang digoreskan sang pencipta kepadanya. Jika memang Allah mempertemukan mereka, tentu saja ia tidak berhak untuk menolaknya. Tetapi, dia tak ingin menenggelamkan diri ke kedalaman yang semakin lama semakin tak bisa dia prediksi.
Aku gak mau hancur, Cha! Bisik Kin, sambil menggigit-gigit bibir. Aku nggak bilang nyerah, tapi aku akan bersikap sewajarnya saja, semampu aku.
Kin merasa lega dengan keputusan hatinya.
Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore, hari kedua perkemahan dalam rangka Pomaru. Besok siang, rombongan harus kembali ke Jakarta … dan terbebaslah ia dari kewajiban yang membuatnya nyaris tak mampu bernapas lega itu. Meski ia tidak yakin, apakah ia mampu menepis segala ‘keluarbiasaan’ yang sempat mampir di kehidupannya itu dengan begitu saja, tanpa meninggalkan kenangan yang membuatnya suatu saat tercekam rindu.
Ah, rasanya tak akan semudah itu mempersetankan segala sesuatu yang telah mampir dalam kehidupannya. Tetapi, tunggu sajalah nanti!
Sekarang, biarlah sejenak ia menikmati hadiah dari Allah, berupa rasa santai dengan menikmati semilir angin pegunungan yang mengalun lembut. Para peserta yang tengah melakukan aktivitas MCK membuatnya sedikit merasa terbebas. Ia pun mampu lebih leluasa memandang lereng gunung Gede yang menjulang menebar kemegahannya. Barisan pucuk-pucuk pinus berjajar rapi mencetak nuansa serba hijau. Agak merundukkan pandang sedikit, terbentanglah padang rumput yang dipagari bunga-bunga liar beraneka warna. Keindahan itu semakin sempurna dengan riak permukaan danau kecil yang berwarna kebiruan itu.
Kinanti terhentak, karena baru menyadari… betapa mewahnya keindahan lokasi perkemahan itu sebenarnya. Kemeriahan yang natural. Sejak pertama menginjakkan kaki, bahkan sebelum itu, seluruh konsentrasinya tersedot pada kesibukan yang ternyata telah menyamarkan pandangan matanya dari keagungan ciptaan Illahi itu.
Ia menghela napas panjang-panjang, lalu tersenyum… kali ini tulus.
Maafkan aku Kekasih… karena tak sempat mentadaburi keindahan yang Kau bentangkan di depan mataku.
“Ehem!” dehem seseorang tiba-tiba. Kin terperanjat dan buru-buru menegakkan tubuhnya. Zaky! Ia berdiri sekitar lima meter dari tempat bersantai Kin, tepat di tepi danau. Sebatang pancing tergenggam di tangan kanan, sementara tangan kirinya memegang keranjang kecil berisi beberapa ekor ikan.
“Ah, kau Zak! Bikin kaget aja!” ujar Kin dengan wajah merah padam.
Sialan… tertangkap basah sedang tiduran. Semoga mata Zaky tidak jelalatan.
“Kau nggak mau ikutan mancing? Asyik lho! Baru sepuluh menit, sudah dapat tiga ekor tawes. Lumayan, euy… buat dibakar. Kebetulan aku bawa saus sambal seafood dari rumah.” Zaky tertawa lepas. “Mama yang naruh di tasku. Beliau sangat tahu, kalau aku ini sangat maniak makan ikan bakar dikasih saus seafood. Ikan di sini ternyata banyak… soalnya pak Asep rajin nebar bibit disini. Mau coba?”
Mancing di danau? Tentu saja mengasyikkan. Tetapi bersama Zaky? Hiiy…! Enggaklah. Kalau jatuh cinta gimana, dong?
“Enggak, Zak! Kapan-kapan aja deh,” elak Kin.
“Kapan lagi ada kesempatan. Waktu istirahat buat peserta dan panitia sore ini lumayan panjang. Jam empat sampai maghrib nanti. Kenapa nggak dimanfaatin? Besok kita sudah harus pulang, lho.”
Kin diam.
“Kin, aku sering lho, ceritain kamu ke Mama aku.”
Leher Kin menoleh ke sosok Zaky. Entah mengapa, ada debar-debar halus merambati relung dadanya.
“Trus, gimana respon Mama kamu?”
“Mama kagum sama kamu. Kamu cewek hebat, katanya.”
“Wah, pastinya karena kamu suka melebih-lebihkan, hiperbolik,” tawa Kin berderai. Namun sport jantung di dadanya semakin kencang. “Padahal, aku kan cuma cewek ndeso yang terjebak di belantara metropolitan.”
“Lho, Mama saya juga asli ndeso, lho. Hahaha… kata Mama, cewek yang masih berbau desa, itu masih orisinil. Kapan-kapan, Mama pengin ketemu sama kamu. Boleh, ya?”
Aduh, percakapan ini menyimpan jerat. Buktinya, Kin sempat terpikat. Sosok Zaky yang tak terlalu tampan, tetapi begitu friendly, sabar, baik hati, dan jenaka, memang sepertinya cocok dengannya. Zaky yang tulus dan selalu membelanya. Zaky yang berasal dari keluarga harmonis, hangat dan selalu mendukung satu sama lain, persis dengan latar belakang keluarganya. Bedanya, Zaky berasal dari kalangan orang kaya yang bersikap sederhana, sementara, keluarganya benar-benar sangat sederhana.
Kinanti bangkit dari duduknya. Diluruskan sepasang tangannya yang terasa pegal.
“Zak, aku ke tenda dulu ya!”
“Beneran nih, nggak mau mancing sama aku? Atau, ada yang marah kalau kamu barengan aku?”
“Ih, siapa yang marah?”
“Anton, atau Andra.”
“Andra?” Kali ini Kin tergelak.
“Lho, meski gahar gitu, Andra kayaknya suka kamu, Kin.”
“Nggak, Zak. Aku cuma mengantuk. Mumpung ada waktu, aku mau tiduran sebentar ya.” Kin perlahan melangkah meninggalkan Zaky yang hanya bisa meringis kecewa. Mancing bareng cewek idamannya pada sebuah sore yang romantis di tepi danau kaki pegunungan yang indah… tentu akan menjadi pengalaman yang sangat mengesankan. Tetapi, lagi-lagi Zaky harus memahami, siapa Kinanti. Bagaimana prinsip hidupnya. Dia tak akan mungkin mau terjebak dalam ruang asmara, tanpa ada ikatan yang direstui agama.
Mestinya dia paham akan itu. Zaky, Zaky! Harusnya, dia harus melangkah lebih jauh lagi untuk bisa memiliki sosok itu. Misal, melamarnya. Tetapi, mereka baru berusia 21 tahun. Masih begitu muda. Masih berjuang mengejar cita-cita yang setinggi langit. Zaky ingin terus kuliah, jadi pengacara hebat. Kin pun sudah mematok keinginan meneruskan studi, jika perlu sampai luar negeri.
Teringat hal itu, ada seperti sebatang ranting yang patah di benak Zaky. Bergegas dia mengemasi peralatan memancingnya, dan berjalan lunglai menuju tenda.
* * *
Tiba di tenda, Angel menyambut Kinanti dengan wajah gelisah.
“Kak, sepertinya aku harus pulang ke Jakarta!” ujarnya, tegas … tepatnya ketus, seperti biasa, namun kali ini terlihat agak gugup.
“Pulang?” Kinanti mengerutkan kening.
“Ya, pulang.”
“Kenapa?”
Angel menunduk, lalu mendongak menatap langit yang sore itu membentang biru. Sepasang matanya berputar-putar, menyembunyikan resah yang tampaknya cukup akut, bergerombol di pusaran jiwanya.
“Aku harus pulang!” bukannya menjawab pertanyaan, ia justru menegaskan keinginan yang seolah tak memiliki nilai tawar alias sudah harga mati itu.
“Kamu serius, Angel? Pulang? Jam segini? Naik apa?”
“Kalau panitia nggak mau ngantar, aku bisa minta diantarkan Pak Asep sampai kota terdekat.”
“Tetapi, kenapa harus pulang? Kau harus memberi alasan yang kuat.”
Angel menggigit-gigit bibirnya yang terlihat kering. “Aku harus kasih alasan? Oke. Baiklah…,” desahnya kemudian. “Remo … sakit. Barusan aku dapat kabar dari rumah.”
“Remo?” Kinanti masih bingung. “Siapa dia?”
“Ngg … anakku.”
Sebersit pikiran mendadak membuat Kinanti merasa sangat tulalit. Jika tak salah, Remo adalah … anak yang dihasilkan dari peristiwa perkosaan itu.
“Oh, namanya Remo ya?” tiba-tiba Clarissa sudah berdiri di samping Angel dengan tangan berkacak pinggang. “Anak haram hasil perkosaan itu? Aneh kalau Lo kelihatan sayang sama dia, pake izin pulang segala. Jangan-jangan … dia bukan anak korban perkosaan, tetapi ….”
“Sebaiknya kau tutup rapat-rapat mulut bawel kamu itu, Nenek Sihir!” ujar Angel seraya menatap Clarissa, tajam. “Jangan buat aku marah!”
“Oh … marah? Kenapa mesti marah. Gue kan cuma heran aja … banyak orang yang pengin aborsi begitu tahu setelah diperkosa terus hamil. Tetapi … Lo malah kelihatan sayang sama anak haram Lo itu. Kalau gue jadi Lo, sudah gue bunuh itu anak. Makanya, gue jadi ragu … dia itu anak hasil perkosaan, atau hasil suka sama suka. Cuma karena malu dan takut jadi aib, terus Lo ngaku-ngaku jadi korban perkosaan, gitu?”
Diaam!” bentak Angel, tersinggung. “Mulutmu yang busuk itu memang perlu dihajar!”
Sedikit sentakan saja cukup membuat amarah Clarissa bangkit, apalagi kini dengan kasar Angel menarik kerah kaos seragam gadis jutek itu dan mendorongnya keras-keras hingga tubuh itu terhuyung membentur rusuk tenda dan menamparnya mukanya berkali-kali.
Sepasang mata Clarissa berkilat aneh. Keanehan yang sudah beberapa kali Kinanti jumpai namun baru ia sadari baru-baru ini.
“Ris!” teriak Kin ketika melihat dengan cepat Clarissa meraih tongkat rotan yang tergeletak di tepi tenda. Namun terlambat. Clarissa mendadak mengamuk. Ia menyerang Angel membabi buta dengan tongkat itu. Angel tersentak, ia mencoba menghindar dengan berlari … menuju danau. Seperti tak ingin melihat Angel terlepas dari amukannya, Clarissa mengejarnya.
“Gue bikin remuk Lo, brengsek!”
Makian-makian kasar yang kemudian terlontar dari mulut itu benar-benar membuat Kinanti semakin terkaget-kaget. Betapa banyak perbendaharaan kata-kata kotor tersimpan di otak Clarissa yang berasal dari keluarga terhormat itu? Wisnu Darmadi, ayah Clarissa, bukan hanya seorang dirjen… tetapi ia juga seorang Doktor yang berasal dari kalangan ningrat. Gelarnya saja KGPH… Kanjeng Gusti Pangeran Haryo. Darah biru mengalir gencar di tubuhnya. Mestinya ia sedikit paham unggah-ungguh. Tidak liar seperti anak yang besar di jalanan seperti sekarang ini.
“Ris … hentikan, Ris!” teriak Kinanti, panik.
Amukan Clarissa semakin menjadi-jadi. Angel jadi sasaran. Beberapa kali sabetan tongkat rotan itu menghajar tubuh Angel, membuat mahasiswa baru itu berteriak-teriak kesakitan. Susah payah Kinanti mencoba menghentikannya. Dari arah belakang, Kin menubruk tubuh Clarissa, mendekapnya kuat-kuat. Namun percuma, tubuh Clarissa yang lebih besar jelas lebih kuat dari Kin. Dan entah kerasukan jin darimana, dengan gerakan keras Clarissa mendorong tubuh Kin kuat-kuat. Tubuh Kin yang mungil pun melayang dan….
Byuuur!
Tercebur ke danau, tepat di daerah yang kedalamannya cukup lumayan.
“Aaah… tooloooong!!”
Bukannya membantu, Clarissa malah tertawa terbahak-bahak. Suaranya melengking keras, seperti raungan binatang di hutan.
Kin megap-megap. Tangannya menggapai-gapai, mencari sesuatu yang bisa dijadikan pegangan. Ia tidak bisa berenang, dan susah payah mencoba meraih batu terdekat. Namun Clarissa tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Seperti mendapat celah yang lebih lebar untuk balas dendam, tiba-tiba ia ikut mencebur ke danau, dan dengan gerakan lincah menubruk tubuh Kin… menarik jilbabnya kasar, lalu menenggelamkan ke dalam danau berkali-kali. Tawanya terdengar keras… histeris… aneh.
“Mampus Lo! Mampuuuus….!”
Kin tentu saja sangat kepayahan. Ia gelagapan dipermainkan oleh Clarissa yang tiba-tiba seperti kesurupan setan itu. Berliter-liter air ia telan… membuat tubuhnya semakin terasa berat.
Zaky, kemana Zaky? Bukankah cowok itu barusan ada di situ? Tetapi mungkin dia telah kembali ke tenda, begitu ajakan mancingnya ditolak.
“Tt… tolooong, Zaky… Icha… toloooong!”
Tracy yang barusan keluar dari kamar mandi terkesima melihat kejadian itu. Sesaat ia terbengong dengan tubuh gemetar.
“Angel, ada apa ini? Clarissa kenapa? Terus… Kak Kinanti….”
“Celaka! Clarissa… dia mau membunuh Kak Kinanti… tolong! Clarissa kesurupan setan. Aku nggak bisa berenang!”
“Apa?” Tracy seketika panik. Ia pun melempar peralatan mandinya dan seketika mencebur ke danau, berenang dengan cepat ke arah Clarissa. Dengan ganas ia menjambak rambut Clarissa yang sebahu itu.
“Brengsek, kamu mau bunuh dia?”
Clarissa terjajar, dan semakin terdepak ketika Tracy menyodokkan kakinya ke punggung gadis itu keras-keras. Pegangan Clarissa lepas, Kinanti pun terbebas… namun gadis berjilbab itu tampaknya sudah kehilangan kesadaran. Tubuhnya mengambang di atas permukaan… pingsan. Dengan cekatan Tracy menarik tubuhnya dan membawanya susah payah ke darat. Puluhan panitia dan peserta yang berlarian ke tempat itu membantunya mengangkat tubuh Kinanti, sedangkan sebagian yang lain mengamankan Clarissa yang terus meraung-raung tak jelas.
“Kin, ya Allah… Kin!” Zaky yang barusan keluar dari tenda, tampak panik. Dia berlarian menuju ke arah Kinanti. Mengambil alih sosok Kin yang tergeletak pingsan dari Tracy.
“Ali, Tetra!” Zaky memanggil teman-teman panitia yang bertugas sebagai panitia seksi P3K. “Sini, tolong Kinanti!”
“Saya panggilin mereka, Kak?” tanya Tracy.
“Iya, tolong panggil Kak Ali dan kak Tetra di tenda P3K ya,” perintah Zaky.
“Baik, kak!”
Tracy berlari menuju tenda P3K. Sesaat kemudian, Ali dan Tetra berlarian tergopoh-gopoh menuju lokasi. Zaky dan dua orang petugas P3K itu dengan cekatan membalik tubuh Kinanti, mencoba mengeluarkan air yang terminum di olehnya. Setelah dipastikan semua air telah keluar dari tubuh Kin, dengan cekatan mereka memeriksa nadi gadis berjilbab itu. Tetra, seorang petugas puteri mencoba membuat napas buatan. Setelah pernapasan yang sempat terhenti kembali normal, mereka mencoba memulihkan kesadaran dengan memberi bau-bauan ke hidung Kin. Mereka bekerja dengan cekatan.
BERSAMBUNG KE BAGIAN DUA BELAS.
CATATAN PENULIS
Novel “Simfoni Bunga Rumput” ditulis pada tahun 2005 dan pernah terbit sebagai buku di FBA Press. Penayangan di website ini setelah melewati proses rewrite dengan penambahan bab-bab baru. Karena ditulis tahun 2005, setting novel ini tentu sangat berbeda dengan Jakarta saat ini. Ingin baca novel ini secara lengkap? Silakan klik NOVEL SIMFONI BUNGA RUMPUT
Makin seru…
Terimakasih ya