Adzan Subuh sudah selesai dikumandangkan, sepuluh menit lalu. Orang-orang juga sudah berduyun-duyun mendatangi rumah Allah itu untuk bersiap melaksanakan shalat Subuh berjamaah. Tapi tidak begitu dengan Tito. Anak laki-laki itu masih merangkul erat guling kesayangannya. Di sebelahnya, ada Ibu yang sejak tadi berusaha membangunkan siswa kelas dua itu.
“Shhh! Tito, ayo bangun, Nak. Sudah adzan dari tadi. Sebentar lagi iqamat, lho. Ayo, kamu bangun. Katanya, kamu ikut shalat Subuh berjamaah di masjid,” kata Ibu sambil menggoyang-goyangkan badan Tito.
Sayang, anak itu tetap bergeming. Dia tetap tidur pulas. Ibu beranjak dari pinggir tempat tidur Tito. Bukan untuk menyusul Ayah yang sudah berangkat duluan ke masjid. Tapi, pergi menuju kamar mandi. Ibu mengisi gayung dengan air. Kemudian, membawanya ke kamar Tito.
“Tito, bangun,” tukas Ibu seraya memercik-mercikkan air dari gayung ke muka Tito.
Mendapat perlakuan begitu, Tito menggeliat. Dia mengucek mukanya yang basah.
“Apaan sih Ibu, ih. Kok aku dicipretin air,” keluh Tito. Alisnya berkerut, tanda tidak suka.
“Ayo dong, bangun,” ujar Ibu lagi. Kali ini sambil tersenyum. Ibu kira, setelah diperciki air, anak laki-lakinya itu akan bangun.
Ternyata, perkiraan Ibu keliru. Bukannya bangun, Tito malah memutar posisi badannya, jadi membelakangi Ibu. Ibu jadi tambah gemas. Sepuluh menit sudah lewat, anak itu masih belum mau beranjak dari tempat tidur. Ibu menarik selimut Tito, lalu mengguncang-guncangkan badannya.
“Ayo, bangun! Katanya, kamu mau jadi anak muslim jempolan!” kata Ibu lagi.
Kemarin sore, Tito sempat mengobrol dengan Ayah dan Ibu. Ketiganya bicara soal shalat. Ayah dan Ibu cerita kalau shalat itu memiliki banyak manfaat. Di antaranya mengangkat derajat manusia, menambah keimanan pada Allah, dan sebagainya. Apalagi, kalau shalat dilakukan secara berjamaah.
“Insyaallah, pahala shalat berjamaah itu lebih banyak daripada shalat sendirian,” ujar Ayah.
“Iya. Apalagi buat laki-laki. Laki-laki ‘kan wajib shalat berjamaah di masjid ya, Yah?” imbuh Ibu.
Ayah mengangguk.
Tito tersenyum. “Kalau begitu, mulai hari ini, aku mau lebih rajin shalat, ah. Biar bisa punya banyak pahala. Insyaallah, nanti bisa buat bekal masuk surga.”
Ayah dan Ibu mengacungkan jempol pada Tito. Mereka bangga sekali dengan janji anak itu. Tapi kenyataannya, pagi ini, Tito malah susah dibangunkan. Ibu jadi menggaruk-garuk kepala. Bingung mau berbuat apa lagi, supaya Tito bisa bangun.
“Ya, sudah, deh, kalau kamu memang susah dibangunkan. Biar Ibu dan Ayah saja yang shalat berjamaah di masjid,” kata Ibu dengan suara keras. “Mungkin, telinga kamu dua-duanya dikencingi setan. Makanya, kamu nggak dengar suara adzan. Makanya, kamu susah dibangunkan.”
Ibu berdiri, mau meninggalkan tempat tidur Tito.
Tepat ketika Ibu mau berbalik badan, Tito bergegas bangun. Sekonyong-konyong, dia duduk dan membuka mata lebar-lebar.
“Setan?! Telingaku dikencingi setan?!” kagetnya.
Ibu mengangguk. “Ya. Kata Rasulullah, orang yang susah bangun buat shalat, bisa jadi karena telinganya dikencingi setan.”
“Tadi malam, sebelum tidur, aku berdoa kok, Bu. Masa telingaku dikencingi setan?!”
“Makanya, buruan bangun. Ayo, cepat berberes. Lalu ambil wudhu, terus pergi ke masjid bareng Ibu.”
Tito mengangguk. Tak lama kemudian, dia sudah rapi. Dia sudah ber-wudhu dan memakai baju koko. Lengkap dengan sarung. Dia pun bergegas pergi ke masjid, bersama Ibu tercinta.