Hari pemberangkatan perkemahan dalam rangka Pekan Orientasi Mahasiswa Baru, Pomaru…. Hari yang mendebarkan, gumam Kin dalam hati. Sebenarnya, bukan sekali ini Kin terlibat dalam kepanitiaan yang mengorganisasi sekian banyak mahasiwa. Tetapi, Pomaru kali ini sangat spesial.
Empat buah bus kelas eksekutif telah terparkir di halaman Fakultas Hukum Unmaja. Sekitar seratus mahasiswa baru, dengan seragamnya, yakni kaos dan topi lebar berwarna merah, celana panjang hitam dan slayer oranye telah berbaris rapi, dipimpin oleh komandan angkatan—senior menyebutnya kopral, Onky. Barang bawaan mereka yang seabrek, yakni tas-tas besar berisi segala macam kebutuhan selama 3 hari telah diatur dengan rapi di bagasi bus masing-masing.
Para panitia, dengan jas almamater berwarna hijau muda sibuk mengatur segalanya, termasuk Kinanti dan Icha.
“Kin, adik binaanmu lengkap?”
“Ayu yang nggak datang.”
“Wah, cuma Ayu? Udah prestasi besar tuh kalau cuma sebiji yang absen. jadi Clarissa, Tracy dan Tika datang juga?”
Sebiji? Kin mengernyitkan kening, merespon diksi Icha. “Buktinya mereka ada tuh!”
“Tumben. O, ya … Ayu kenapa?”
“Izin. Katanya sakit.”
“Sakit apa praktek?” celetuk Dion, seorang panitia yang kebetulan lewat.
“Praktek apa?” bentak Icha sambil mendelik.
“Praktek gitu-gitu dong, TST!”
“Dasar ngeres, Lo!” Icha masih garang.
Dion berlalu sambil tertawa terbahak-bahak. “Lho, belum tahu ya, kalau bisnis Ayu itu jualan diri…. Tahu tuh, berapa harganya satu kilonya. Meski berengsek gini, gue nggak mau nyicipin teman sendiri, tahu nggak?”
“Heran deh… banyak sebenarnya ayam kampus di Unmaja, tapi kok cuma Ayu yang sering disorot. Sebenarnya kan tidak terlalu aneh,” gumam Kin.
“Itu fenomena yang bikin dada terasa sesak, bukan?”
“Ya… tapi kesesakan dada kita, jangan sambil membuat kita kehilangan keobyektifan pandangan kita terhadap mereka!”
Setelah bus berangkat, Kinanti baru tahu alasan mengapa kelima binaannya itu mengikuti acara tersebut, khususnya Tracy, Tika dan Clarissa. Tracy, katanya karena salah satu senior, yakni Bastian, ternyata adalah teman satu profesi, sesama model. Tika, dengar-dengar dia sedang kesengsem dengan… ups, ketua BEM, Anton. Sedang Clarissa, nah ini heboh! Kabarnya dia dimarahin habis-habisan sama sang Papa yang ketua yayasan tempat kampus bernaung. Iyalah… sangat wajar, masak anak ketua yayasan tidak mengikuti acara salah satu unit yayasannya.
Sebagai salah satu kakak pendamping, Kinanti ada di bus yang mengangkut Tracy c.s. Selain Kin, disitu juga ada Anton, Bastian, Icha, Zaky dan beberapa senior lainnya, termasuk… Andra.
“Adik-adik sekalian!” ujar Anton, sebelum bus diberangkatkan. “Kita akan menempuh perjalanan selama kurang lebih empat jam untuk menuju lokasi perkemahan.”
“Enam jam, Kak?” tanya Tika seraya berdiri, genit. “Wah, pasti sangat capek, yah? Apa kakak nanti mau mijitin Tika?”
“Huuu!!!” sorak mahasiswa baru lainnya.
“Genit, lo!” celetuk seorang mahasiswa, disambut lirikan maut Tika yang membuat mahasiswa itu kelabakan. Lirikan Tika, konon salah satu daya tarik gadis itu yang paling memikat.
“Tidak terlalu melelahkan,” Anton tersenyum tipis. “Apalagi bus kita ini cukup bagus, kelas eksekutif. Pasti akan membuat kita terasa nyaman.”
“Bus seperti ini dibilang bagus?” Clarissa angkat bicara. “Kalau di Amrik, bus seperti ini sudah harus dibuang ke tempat sampah, tahu?”
“Huuu…!!!” lagi-lagi sorak para mahasiswa.
“Diam!” bentak Clarissa. “Lo semua sudah pernah pada ke Amrik belom, sih?”
“Heh, emang kamu udah berapa kali ke Amrik, heh?” tanya seorang mahasiswi berkaca mata tanduk.
“Wah sudah nggak terhitung!”
“Puluhan, ratusan? Tahu nggak… gue ini selama sepuluh tahun tinggal di New York, tahu!”
Kini terdengar tepuk tangan keras. Clarissa bungkam. Sementara gumaman terdengar di sana-sini.
“Baru jadi anak dirjen saja sudah belagu….”
“Gimana kalau babenya jadi presiden? Kiamat deh.”
“Gue anak jenderal tulen, darah biru lagi… tapi nggak mau sok kayak gitu!”
“Paling-paling babenya dulu cuma orang desa miskin, yang karena nasib, terus jadi orang kaya. Sekarang kan banyak tuh, preman yang pada naik kelas jadi pejabat. Katanya sih, atas nama demokrasi!”
“Dendam kemiskinan, heh?”
“Hi…hiy!”
“Sst… jangan keras-keras, nanti dia lapor ke babenya, kita bisa dipecat jadi mahasiswa Unmaja, lho.”
“Siapa takut? Gue sebenarnya malas kuliah di sini. Maunya nunggu SPMB tahun depan. Mama aja yang maksa gue kuliah di kampus swasta jelek itu. Semua saudara-saudaraku alumni ITB, tahu!”
Ucapan-ucapan itu, seperti sengaja, diucapkan dengan cukup keras. Membuat wajah gadis manja itu seperti terbakar. Clarissa benar-benar kena batunya. Kin diam-diam nyengir.
Separuh perjalanan, Bastian bertukar tempat dengan Tika yang duduk di samping Tracy. Tika sendiri dengan senang hati menurut, sebab ia kini duduk di samping… Anton! Nah, hati-hati! Jangan sampai ketua BEM ini dijerat playgirl itu. Tapi kalau Antonnya mau, gimana dong?
“Payah!” bisik Zaky yang duduk di belakang Kin dan Icha. “Kenapa sih, Anton nggak bisa menjaga imej? Lihat, Andra senyum-senyum licik. Pasti ia melihat poin negatif yang akan dia pakai buat ngejatuhin Anton. Sia-sia dong, kita ngebelain ketua kita, kalau dia sendiri letoy gitu.”
“Aku mah… nggak ngebelain Anton atau Andra. Aku membela yang benar!”
“Dan berani mati untuk membela yang benar?” ledek Icha, yang disambut dengan sodokan lirih Kin pada lengannya.
Lokasi perkemahan terletak di sebuah desa kecil di lereng gunung Gede. Pada sebuah padang rumput pinggir danau kecil, yang dipagar oleh hutan pinus. Bunga-bunga liar tumbuh lebat di sekitar danau kecil, menciptakan sebuah nuansa natural yang indah. Ada sebuah rumah terbuat dari papan di tepi lapangan, lengkap dengan istal yang tampaknya sudah lama tidak ditempati kuda-kuda. Di tepi rumah itu berdiri beberapa buah tempat mandi dan WC. Seorang bapak tua menempati rumah itu bersama istri dan anak-anak, tampaknya yang ditugasi menjadi penjaga lokasi perkemahan itu, namanya Pak Asep, sunda asli. Istri pak Asep itulah yang rencananya akan memasak untuk sekitar 125 peserta termasuk panitia perkemahan. Sehari mereka makan 3 kali, snack 3 kali, minuman hangat—terdiri dari 3 pilihan, yakni bajigur, kopi atau teh hangat untuk malam dan pagi hari, serta es buah untuk siang hari. Fitri c.s. yang bertugas sebagai seksi konsumsi telah merancang segalanya dengan sangat teliti.
Pak Asep tergopoh-gopoh menyambut kedatangan panitia di rumahnya yang asri meski sederhana itu. Ia mempersilahkan mereka duduk di ruang tamu, yang dibentuk serupa bale kambang, tegak di atas kolam ikan yang penuh berisi ikan emas. Hm… ikan mas! Kin menelan ludah. Semoga besok siang menu yang disediakan Fitri c.s. adalah pepes ikan mas.
“Tempat ini insya Allah aman,” ujar pak Asep, ramah. “Sudah berkali-kali orang berkemah disini, dan selalu baik-baik saja!”
“Danau itu sendiri, nggak ada buayanya, kan Pak?” tanya Zaky.
Pak Asep tertawa. “Dulu memang ada buaya kecil, tetapi sudah dipindah ke taman safari. Anak saya biasa mandi disitu. Aman saja. Cuma di daerah sebelah utara, banyak terdapat tanaman air, jadi bahaya jika dipakai berenang. Soalnya, akar-akar tanaman sering mengait kaki. Nah… kalau kalian mengalami kejadian seperti itu, tak usah panik. Kalau panik, nanti akan semakin terjebak dan tidak bisa melepaskan diri.”
“Apa sudah pernah menelan korban?” Anton was-was.
“Tidak sampai meninggal, cuma sempat dirawat selama satu minggu di rumah sakit.”
“Kalau mancing disitu, bahaya nggak?” tanya Gagah yang ngakunya hobi mancing. Lagi-lagi pak Asep tertawa ramah.
“Nggak papa. Ikan disitu teh… banyak. Abdi biasa mancing disitu juga. Ikannya, besar-besar. Ada yang sebesar ini!” Pak Asep menunjukkan hasta kanannya. “Dan kalau dibakar, rasanya lezaaat! Apalagi kalau sambil minum secangkir bajigur dan kuaci. Waah… benar-benar nikmat atuh! Biasanya, anak-anak yang kemah disini, pada ngambil ikan dengan jala, terus dibakar malam-malam….”
“Aaah… asyik banget!” seru Zaky sambil melirik Kin. Gimana rasanya ya, duduk-duduk berdua cewek itu, sambil membakar ikan dibawah bulan. Uh, nunggu jadi suami istri, kayaknya. Berapa tahun lagi? Apakah dia berani, begitu lulus dan bekerja, langsung melamar Kin?
“Romantis!” kata Bastian, senyum-senyum.
“Selamat berkemah saja. Kalau ada perlu apa-apa, hubungi Bapak atau istri. Jangan segan-segan. Insya Allah abdi akan bantu.”
“Ya deh, Pak!”
Sesaat kemudian, suasana riuh rendah mendominasi lapangan yang terbentuk dari padang rumput itu. Para mahasiswa sibuk mendirikan tenda, sementara para mahasiswi tampak ribut sendiri. Kelompok Kin kelihatannya yang terparah. Sebenarnya mereka mendapat lokasi yang paling enak. Paling dekat dengan danau, pemandangan paling indah, dan lokasinya paling rata. Tetapi suasana asam yang terbangun benar-benar membuat suasana jadi tidak enak.
Kin stress dengan tingkah para adik binaanya. Tracy terus mojok dengan Bastian, Tika sejak tadi seperti setrika mondar-mandir kesana kemari: mengejar Anton, sedangkan Clarissa masih ngambek akibat kejadian di bus tadi. Ia duduk di batu tepi danau dengan tangan menopang dagu. Wajahnya cemberut menahan kesal. Ah, dasar anak manja!
Tinggal Liza yang tak tahu cara mendirikan tenda dan Angel yang tampaknya tak suka melihat sikap teman-teman satu regunya. Berkali-kali ia menggerutu dengan suara tak jelas.
Untung Kin dulu pernah cukup lama aktif di pramuka, saat SMP dan SMU. Karirnya cukup melejit malahan. Ia sempat menjadi duta SMU dalam jambore nasional di Cibubur. Maka ia tak merasa mendapatkan masalah berarti dalam mendirikan tenda. Tetapi meski begitu, karena ia hanya dibantu Angel, sementara Liza yang berniat membantu justru malah lebih banyak mengganggu, mau tidak mau ia merasa kerepotan juga.
Untung Zaky dengan tergopoh-gopoh datang ke lokasi mereka. “Eh, gimana? Ada yang bisa gue bantu?”
“Tenda kelompokmu udah jadi?” Kin balik bertanya.
“Sudah, dong! Kelompok gue kan kompak. Tahu nggak, gimana cara gue membuat kompak?”
“Gimana dong?”
“Kemarin, mereka gue bawa ke sebuah gedung bekas kerusuhan 98 yang katanya angker. Gue kurung mereka bareng-bareng di sebuah kamar. Habis itu, mereka mendadak jadi kompak banget. Mungkin ngerasa senasib sepenanggungan. Ego mereka sudah rada ilang, deh!”
Kin nyengir ketika membayangkan adik-adiknya disekap di sebuah rumah tua dekat kontrakannya yang konon dihuni oleh sekeluarga genderuwo itu. Hm, boro-boro kompak, belum-belum mereka sudah pingsan duluan.
“Ya udah, kita dibantu saja!”
“Beres!”
Kedatangan Zaky jelas sangat membantu. Meski mengaku tidak pernah punya latar belakang kepanduan, Zaky cukup terampil. Hanya dalam waktu setengah jam, tenda telah tegak.
“Liz, tolong tikarnya digelar, ya!” perintah Kin. “Habis itu, dialasi karpet, biar hangat!”
“Ya, kak!”
“Barang-barang cewek-cewek manja itu nggak usah dimasukkan!” ujar Angel, ketus. “Biar mereka tata sendiri. Keenakan mereka.”
“Tapi, kan jadi nggak rapi…,” protes Liza, lirih.
“Biarin! Mereka itu lagaknya seperti majikan dan kita babu! Kalau terus menerus dimanja, mereka pasti akan semakin ngelunjak.”
“Angel benar, Liz!” Kinanti menepuk bahu morpinis itu, pelan. Hati gadis ini sangat lembut… rapuh. Betul-betul tak berperasaan orang yang telah merecokinya dengan narkoba. “Mereka nggak usah dimanja. Biarkan saja tas-tas itu disitu, nanti kan akan mereka bereskan sendiri. Sekarang, rapikan saja barang-barang kalian, terus kalian mandi. Kamar mandi untuk putri ada di dekat rumah pak Asep. Cuma sepuluh meter dari sini. Buruan saja, mumpung masih kosong. Sebentar lagi kalian harus antri lho!”
“Enak, cewek dapat tempat mandi yang representatif. Tahu nggak, cowok mandi dimana?” Zaky meleletkan lidahnya. “Di pancuran, bo! Hanya dibatasi dengan semak belukar. Hiiy… kalau diintip bagaimana?”
Kin tak ingin ketawa, meskipun hatinya sebenarnya ingin bersorak: ‘mandi di pancuran? Mauuu!!’ Uh, bisa-bisa bikin si Zaky ini terinfeksi virus piktor, alias pikiran kotor. Bisa bahaya! Ia bukannya tidak tahu, jika Zaky yang tampang Arab itu diam-diam naksir dia. Dih, apa sih yang membuat cowok yang termasuk dalam jajaran ‘paling diburu cewek’ itu naksir dia? Tampang pas-pasan, tongkrongan serba kampung, culun lagi.
Dengan mencoba tak memperhatikan Zaky yang diam-diam meliriknya terus menerus, Kin pura-pura sibuk memasang lampu badai di depan tenda. Memang panitia telah menyewa generator dari pak Asep. Tenda Kin sendiri mendapat jatah satu bolam 20 watt, tetapi siapa tahu kan?
“Kak, kita mandi dulu ya?” ujar Liza dan Angel, yang telah siap dengan peralatan mandinya.
Ia ditinggal sendiri dengan Zak, wah bahaya!
“Zak, gue mau membujuk Clarissa dulu, ya!” ujarnya akhirnya. “Sejak tadi dia ngambek terus.”
“Ah, sudah… biarin aja. Nanti kalau udah malam dan kedinginan, dia juga pasti akan gabung sama kita. Anak manja kayak gitu nggak usah diladenin!”
“Hei, bagaimanapun juga, dia itu anak pak Wisnu. Aku bisa disemprot beliau, tahu nggak?”
“Takut ya?”
“Bukan begitu. Yang jelas, dia kan adik binaanku. So, aku bertanggungjawab terhadap keselamatannya selama disini.”
“Wah, kalau kakak pendamping seperti kamu, mau deh aku jadi adik binaanmu!” Zaky nyengir jahil.
Pada saat itu, seorang mahasiswa berlarian menuju Zaky.
“Kak, Leo sakit perut!”
“O, ya?”
“Obat-obatan dimana, Kak?”
“Ya, aku segera kesana!”
Alhamdulillah, selamat! Zaky, bagaimanapun, dia adalah seorang lelaki tampan yang penuh perhatian. Se-keukeuh apapun dia, kalau tidak waspada, lama-lama bisa jatuh hati juga. Bahaya kalau sudah terjerat dalam cinta. Benar nggak?
Baca novel ini sejak bagian pertama? Klik saja: NOVEL SIMFONI BUNGA RUMPUT
Senja sudah mulai mendominasikan aura jingganya. Matahari bulat yang berwarna merah terpantul sempurna di permukaan danau. Indah…. Sayang sosok yang tengah cemberut di tepi danau itu telah sedikit mengoyak keindahan itu.
“Ris!” panggil Kinanti, pelan.
Clarissa tak menjawab. Ia tetap menelungkupkan wajahnya ke lutut. Kedatangan Kinanti tampaknya ia anggap sebagai angin lalu belaka.
“Ris, coba deh… angkat wajahmu! Lihat ke permukaan danau! Indah banget!”
Tak ada komentar.
“Ada bayangan sunset disana. Kayaknya senja ini terlalu indah untuk kamu lalui dengan kemarahan kamu itu.”
Diam.
“Ris!”
Kini ia mengangkat wajah, lalu tatapannya menerkam wajah Kinanti dengan garang. “Ngapain sih kamu nggangguin gue melulu?!” Ketus.
“Justru aku sedang mencoba membantu menghilangkan kejutekan kamu.” Ujar Kinanti, lembut, kalem. “Tapi, itu sih kalau kamu nggak keberatan!”
Cepat Clarissa berdiri. Tangannya berkacak pinggang. Lalu ucapan galaknya keluar, seperti rentetan mitraliur. “Semua orang disini nyebelin! Semua brengsek! Semua kampungan! Tahu nggak, mestinya gue nggak kuliah bareng sama orang-orang bego kayak kalian. Jatah kuliah gue itu di Amrik atau di Perancis. Minimal kampus UI.”
“Jadi kamu gagal SPMB?”
“Itu bukan urusan Lo!”
“Kau bisa ulang tahun depan. Aku juga pernah merasa kecewa karena nggak lolos UMPTN. Tetapi, lama-lama aku bisa menikmati apa yang terjadi, dan… aku nggak ada niatan untuk UMPTN lagi.”
“Siapa yang nanya?” Masih ketus.
“Aku cuma ngasih perbandingan saja.”
“Huh!”
“Apa kamu nggak pernah bisa bersikap ramah kepada orang?”
Gadis itu tersentak sesaat. Lalu tatapannya kembali menerkam Kinanti. “Gue benci sama pertanyaan kayak gitu!”
“Oh, sorry! Mau kan maafin aku?”
“Kalian semua kampungan!”
“Termasuk aku?”
“Apalagi kamu….”
Kinanti tertawa kecil. “Aku memang berasal dari kampung. Rumahku di desa. Waktu kecil, aku biasa bermain di sawah. Cari belut, mancing, kadang ikut para petani menanam padi. Bapakku hanya pensiunan guru SD yang sekarang mengajar ngaji di madrasah. Sedang ibu, cuma ibu rumah tangga biasa. Rumahku terbuat dari papan, dengan alas semen kasar dan atap genteng yang beberapa sudah melorot. Meski begitu, rumahku nggak pernah bocor, karena Bapak rajin membetulkan posisi genteng-genteng itu. Ya… aku memang anak kampung. Tetapi, aku bangga jadi anak kampung. Kampung, bagi aku… selalu identik dengan keindahan, kedamaian dan kebahagiaan sejati.” Kinanti menatap wajah Clarissa, mencoba mendeteksi perubahan emosi disana. Namun sepertinya sia-sia. Wajah itu tetap membeku.
“Aku bangga jadi orang kampung. Besok, kalau sudah tua, aku ingin tinggal di kampung. Disana aku bisa ngelihat orang-orang yang jujur, yang memiliki hati yang bersih dan jauh dari kedengkian. Alangkah damainya. Dan, Ris… tempat ini juga kampung. Tetapi kau bisa melihat, betapa indahnya tempat ini. Berbahagialah menjadi orang kampung!”
“Cerewet!” bentak Clarissa tiba-tiba. “Sebaiknya kau berhenti bicara. Kuping gue bisa jebol mendengar ocehanmu, tahu?!”
“Kau hobi mendengarkan musik rock yang hingar bingar, dan kupingmu tetap saja utuh. Sedangkan yang kuucapkan barusan, adalah sebuah kebenaran yang kuyakini. Tetapi sudahlah… mungkin kau sedang tidak mood. Yeah… meski aku nggak pernah tahu, kapan moodnya kamu. Tetapi, sebaiknya kau segera bergabung dengan teman-teman kamu deh!”
“Kau ini siapa, nyuruh-nyuruh aku?”
“Aku adalah Kinanti. Orang yang diberi amanah sebagai penanggungjawab kelompok kamu. Jangan menyusahkan aku dengan sikap kekanak-kanakanmu, oke?”
“Kau benar-benar menyebalkan! Aku sangat menyesal, kenapa harus ketemu sama orang seperti kamu, brengsek!” Clarissa bangkit, menghentak-hentakkan kakinya, lalu kabur menuju tenda. Kinanti mengikuti dengan senyum kecutnya.
Harus sabar menghadapi orang-orang seperti dia…. Tetapi, sekeras apapun seseorang, masak iya sih jika tak memiliki hati nurani, sehingga tidak akan luluh menghadapi orang sebaik dia… jieeeh, Kin tersenyum kecil.
“Enak ya, datang-datang semua sudah beres!” sindir Angel, ketus, ketika Clarissa datang.
“Diam, Lu brengsek!” bentak Clarisaa. Wah, keributan dimulai lagi.
“Dasar anak manja! Dikira kita semua babu Lo, ya?”
“Kalau iya memangnya kenapa?” tantang Clarissa.
“Rissa, Angel!” tegas Kinanti yang mulai hilang kesabarannya. “Bisa kalian hentikan pertengkaran kalian? Sebentar lagi adzan maghrib. Coba menghormat sedikitlah!”
Clarissa dan Angel saling tatap, geram, lalu sama-sama melengos dengan muka masam.
Sudah ada 3 anak buah yang berkumpul di tenda. Kinanti harus mengumpulkan yang 2 lagi. Tracy dan Tika. Jadwal sore ini adalah sholat maghrib, bimbingan rohani dan makan malam. Kakak pendamping bertanggung jawab penuh memandu acara tersebut, dibantu dengan seksi kerohaniahan Islam atau kerohaniahan agama yang juga diikutkan dalam acara tersebut. Khusus untuk kelompok Kin, tak ada tim dari Rohis yang datang, maklum… Kin sendiri dedengkot Rohis.
Kebetulan, meski namanya rata-rata agak kebarat-baratan, semua anggota regu Kin adalah muslim. Jadi tidak terlalu bermasalah, bisa ia tangani semua sendiri.
Tracy ia temui tengah ngobrol dengan Bastian di tepi danau sebelah utara. Mereka tampak asyik, meski Kin tahu pasti, Bastian sudah punya pacar, anak pembantu rektor yang cantik seperti gadis India.
“Hai! Kayaknya sudah jatahnya mahasiswa baru pulang ke tenda masing-masing, nich!” ujar Kinanti, tanpa basa-basi. Bastian tampak kikuk melihat gaya Kin yang penuh percaya diri.
“Eh, kamu pembimbing kelompok Tracy, ya?” tanyanya.
“Bukannya kamu sudah tahu, Bas? Perasaan, kamu ini seksi P3K… kenapa disini? Posko kamu kan di tenda biru. Tadi aku lihat, tenda itu penuh pasien, tetapi tak ada satu pun panitia yang terlihat.”
“Ngg… anu, kami sedang bicara masalah sinetron yang akan kami perankan bersama… jadi….”
“Kayaknya masih banyak waktu, deh! Sekarang, boleh Tracy kuambil?”
“Ngg… silahkan… silahkan!”
Kin melempar senyum manis kepada Tracy. Namun gadis cantik itu membuang muka, tampak sangat sebal padanya. Tanpa bersuara, ia berjalan mendahulu Kin, menuju ke tendanya. No problem, yang penting dia mau kembali.
Kini giliran Tika!
Gadis itu masih asyik nongkrong di tenda panitia putra, ngobrol dengan Anton. Kedatangan Kinanti tampaknya tak ia pedulikan. Ia bahkan pura-pura tak melihat Kin.
“Hallo, semua! Assalamu’alaikum!” sapa Kin. Semua panitia yang ada menoleh, dan menjawab salam Kin, serempak, termasuk Andy Lung yang beragama Budha ikut-ikutan menjawab.
“Pada terlihat segar, nich?”
“Iya dong!” ujar Dion, ramah. “Habis mandi di danau nih….”
“Kin, nanti aku butuh diskusi dengan kamu masalah acara,” kata Gagah.
“Kin, menurutmu… gimana jika….”
Bla… bla… bla.
Kin pun menjelaskan. Bla… bla… bla.
Yang bertanya mengangguk-angguk, paham. Tika terlihat sedikit takjub melihat betapa besar pengaruh Kin di kalangan para senior. Namun ia jelas menyembunyikan perasaannya itu.
Baca novel ini sejak bagian pertama? Klik saja: NOVEL SIMFONI BUNGA RUMPUT
“Kita diskusi nanti saja, sekarang aku mau jemput Tika.” Ujarnya, tegas. “Tika, ayo kita ke tenda!”
“Nggak mau!” ujar Tika, manja. “Aku kan sudah diberi jaminan sama Kak Anton, boleh tidak mengikuti aturan main acara ini asal tidak mengganggu acara.”
Wah, kebijakan darimana nich? Jangan-jangan Anton sudah terkena jerat pesona Tika. Barabe!
“O, ya? Setahu saya, tak ada kebijakan macam itu disini! Bisa meminta konfirmasi dari kamu, Ton?”
Anton gelagapan. “Eh, nggak… aku tadi cuma bercanda sama Tika. Sorry, Tik… jangan dianggap serius.”
“Tentu saja tidak bisa dianggap serius,” tukas Kinanti. “Karena di tempat ini, yang bisa mengambil keputusan adalah koordinator lapangan alias ketua panitia, Andien. Itu pun harus diputuskan dengan melewati mekanisme musyawarah. Maaf, saya mau ambil Tika.”
“Silahkan… silahkan…!” ujar Anton, gugup.
Kinanti menatap Tika yang blingsatan. Ia tak peduli ketika dengan jelas ia mendengar gerutuan gadis itu.
“Dasar cewek sok pintar!”
Yang penting baginya adalah, kelima anak buahnya berkumpul. Menghadapi mereka butuh kelembutan, kesabaran, namun juga ketegasan dan sikap percaya diri.
Setelah shalat maghrib bersama, mereka kini duduk melingkar di tenda. Kinanti duduk dengan wajah tanpa senyum.
“Kalian sekarang satu kelompok, satu regu. Semestinya ada Ayu disini, tetapi dia tidak bisa mengikuti acara karena sakit….”
“Sakit kelamin kali…,” celetuk Tracy, sebal.
“Jangan ada yang bersuara!” sentak Kinanti. “Nanti kalian akan kuberi kesempatan berbicara.”
“Huh… bawel!” gerutu Tika sambil melempar seringai jelek ke Kin yang masih setenang permukaan air danau.
“Karena kalian telah menjadi satu kelompok, maka kalian harus kompak. Segala pekerjaan harus kalian lakukan bersama, beban ditanggung bersama, demikian juga segala suka duka… harus dibagi bersama. Tadi, sewaktu pembuatan tenda, hanya Liza dan Angel yang terlibat. Yang lain… entah pergi kemana. Sebagai bentuk keadilan, apalagi kita adalah mahasiswa fakultas hukum yang semestinya menjujung tinggi asas keadilan, maka harus ada punnisment buat kalian bertiga, Rissa, Tracy dan Tika. Bagaimana bentuk hukumannya, saya serahkan kepada Angel dan Liza.”
“Hukuman apa?” ketus Clarissa.
“Hukuman atas ketidakkompakkan kalian!”
“Ini aturan darimana?” protes Tracy. “Aku nggak mau diperlakukan semena-mena begini.”
“Aku akan lapor ketua panitia!” ujar Tika.
“Silahkan lapor!” tegas Kin. “Lapor saja, jika kalian melihat adanya ketidakadilan pada saya. Saya akan bersikap fair. Saya siap dihukum jika memang saya ini bersalah!”
Melihat sikap Kin yang penuh wibawa, sepertinya ketiga mahasiswi itu keder juga. Mereka terdiam, saling pandang dan hanya bisa menghela napas, kesal.
“Nah, Angel, hukuman apa yang akan kauberi untuk ketiga temanmu ini?”
Angel mendengus. “Mereka tidak boleh tidur di tenda malam ini!”
“Hei, lantas kita mau tidur dimana?” Tracy kaget.
“Terserah kalian. Bisa di bekas kandang kuda, tepi danau… atau di WC juga boleh. Asal bukan di dalam tenda,” jawab Angel, dingin.
“Jangan asal bacot, Lo!” sentak Clarissa.
“Kemaruk banget sih, kamu ini,” omel Tika.
“Gini aja… Aku usulnya… gimana kalau kalian… nggg… mengambilkan jatah makan malam untuk kami semua?” ujar Liza. “Aku rasa, nggak terlalu memberatkan.” Bagus, Liz…! Puji Kin diam-diam.
“Saya setuju dengan usul Liza. Clarissa mengambil jatah makan malam di rumah pak Asep untuk kita berenam, sedangkan Tika dan Tracy diberi hukuman membersihkan tenda. Bagaimana? Sepakat?”
“Sepakat!” hanya Liza yang menjawab.
“Bagus! Segera saja dimulai hukuman itu!”
“Huh! Terlalu ringan!” dengus Angel.
“Diam kamu!” bentak Clarissa.
Kinanti hanya geleng-geleng kepala. Mereka sudah remaja, tetapi tingkahnya seperti anak kecil.
CATATAN PENULIS
Novel “Simfoni Bunga Rumput” ditulis pada tahun 2005 dan pernah terbit sebagai buku di FBA Press. Penayangan di website ini setelah melewati proses rewrite dengan penambahan bab-bab baru. Karena ditulis tahun 2005, setting novel ini tentu sangat berbeda dengan Jakarta saat ini. Baca novel ini sejak bagian pertama? Klik saja: NOVEL SIMFONI BUNGA RUMPUT
Kinanti orangnya gak baperan, ngadepin rupa-rupa remaja labil macam begini.. salut sih kin 👏👍