Simfoni Bunga Rumput 07

0
121

Satu yang sangat ditakuti Kinanti dan kawan-kawan adalah kehadiran para senior yang semestinya sudah jatahnya meninggalkan kampus. Mereka adalah para kakak kelas yang telah lima tahun, enam tahun, bahkan ada yang sudah sepuluh tahun kuliah, namun tak lulus-lulus juga. Di kampus swasta seperti Unmaja memang tak ada istilah DO. Asal tetap daftar ulang di setiap awal semester, terus mau terus bayar SPP, limabelas tahun tak lulus-lulus juga tetap berhak ikut kuliah.

Banyak di antara mereka yang jarang muncul di kampus pada hari-hari aktif, namun tiba-tiba menampakkan diri ketika ada acara-acara yang sifatnya insidental, apalagi kegiatan-kegiatan penyambutan mahasiswa baru. Lantas, ada-ada saja ulah mereka untuk melampiaskan stress akibat tak lulus-lulus itu. Biasanya, justru merekalah yang melanggengkan tradisi pelonco. Jika mereka datang, biasanya para panitia tak berdaya dan tunduk dalam aturan mereka yang seenaknya sendiri.

Ketika rapat, sebenarnya hal seperti itu sudah diantisipasi. BEM fakultas sengaja tidak mengundang mereka dalam perkemahan POMARU kali ini, suatu hal yang sebenarnya melanggar ‘adat-istiadat’ senior-junior yang sudah lama berlaku di Unmaja. Biasanya, jika ada kegiatan BEM atau senat, sebagai ‘etika’ panitia harus mengundang semua angkatan, mulai dari angkatan tertua sampai angkatan termuda. Jadi, tidak mengundang mereka kali ini, adalah suatu keputusan yang cukup berani, dan tentu saja harus siap-siap dengan resikonya.

Namun entah dapat bocoran darimana, tanpa diundang, malam itu beberapa buah mobil tiba-tiba memasuki lapangan, dan sekitar 20 senior ‘gaek’ itu turun dengan wajah sangar. Ada Kak Bram, mahasiswa semester 16 yang bertubuh tinggi besar seperti Ade Rai. Ada Kak Jarot, semester 14 yang bentakannya terkenal menggelegar dan mampu memacu sport jantung. Ada Kak Rurie yang cerewetnya minta ampun, juga Kak Ruddy yang dikenal sebagai senior tak punya perasaan ….
Gawat!
“Siapa yang kasih tahu mereka?” tanya Icha pada Kinanti.
“Tahu tuh….”

“Wah, ini pasti ulah Andra,” tuduh Anton. “Dia kan dekat dengan para mahasiswa tua itu. Dia pasti yang ngajakin mereka kesini. Dia benar-benar ingin membuat acara kacau balau.”
“Kita sepakat, tidak ada kekerasan fisik, kan?” ujar Zaky.
“Bukan cuma fisik, Zak,” kata Umar. “Tapi juga mental. Kita minimalisir bentakan dan makian. Kalau ketegasan sih, harus itu!”

“Dengan adanya mereka, apa bisa hal itu dilaksanakan?” Andien ketar-ketir.
“Begini… sekarang semuanya tergantung pada kakak pendamping!” ucap Gagah, tenang. “Senior gaek itu tidak akan bisa macam-macam jika kakak pendamping memiliki ketegasan. Kita semua harus melindungi adik-adik kita. Oke?”
“Wah, aku rada nervous juga jika harus berhadapan dengan Kak Jarot,” ujar Icha, keder. “Rektor saja berani ia gebrak, apalagi diriku?”

“Lapor aku jika Jarot berani macam-macam!” kata Gagah lagi, mantap. Bukan rahasia lagi jika Gagah sebenarnya naksir Icha. Cuma, Icha tidak pernah merespon. Gadis itu entah serius atau tidak, selalu bicara soal Mas Danu, kakak Kin. Padahal, perbedaan kondisi sosial mereka, seperti bumi dan langit.

Para senior gaek itu kini beranjak ke tenda panitia. Mereka petantang-petenteng mendatangi Anton yang tampak gugup, apalagi ketika Jarot dengan cepat meraih kerah jaket Anton dan menariknya.
“Heh, kau ini mau mencoba melawan senior, ya?” desisnya, gusar. Para panitia yang lain mendadak pias.
“Eh… apa-apaan ini…,” gagap suara Anton.

“Mentang-mentang ketua BEM, mau sok berkuasa, ya?!” kini suara Bram, dengan nada berat, mengancam.
“Kalian berani-beraninya melancangi kami para senior, apa kalian benar-benar punya nyali, heh?!”
“Gue bikin berantakan acara ini, kapok Lo semua!”
“Kak…,” ujar Gagah, mencoba tenang. “Kami semua tidak melancangi para senior. Hanya saja….”
“Hanya saja apa?!” bentak Kak Rullie, cewek tetapi lebih galak dari cowok manapun. “Kalian sudah merasa kuat? Merasa sok jago?!”
“Bukan begitu…. Tetapi….”
“Kalian benar-benar membuat kami marah, tahu!”

“Hei, apa-apaan ini?” Sesosok tubuh tiba-tiba muncul dengan mulut tersenyum menyeringai. Andra. Ia diikuti oleh beberapa anak buahnya. Ia menatap para senior gaek itu, lalu tertawa keras. “Oh, kalian sudah pada datang, ya?”
“Heh, Ndra… teman-temanmu ini benar-benar bikin jengkel deh.”
“Hm, sorry… Ton! Gue yang ngundang kakak-kakak ini datang kemari. Bukan apa-apa, mereka toh berhak juga ngecengin adik-adik kelas kita yang cakep-cakep bukan? Jadi jangan Lo sambar semua itu cewek, ya?”

“Si Anton ini egois banget, nggak mau bagi-bagi kesenangan!” sentak Ruddy.
“Eh, kami tidak bermaksud demikian….” Anton tampak tersinggung. “Kami ini resmi, ada SK rektor.”
“Alaaah… jangan berkelit Lo… buktinya, belom-belom Lo sudah lengket sama cewek bernama Tika itu. Sekarang ketahuan maksud kotor kalian dengan mengadakan acara ini tanpa melibatkan semua senior.” Andra tertawa keras. “Kalian pengin memonopoli habis para junior, kan? Gue tahu, kalian semua, cowok dan cewek BEM, memang terkenal sebagai cowok-cewek yang nggak laku di pasaran. So, kalian pengin memamerkan kekuasaan yang kalian miliki, supaya mereka tunduk sama kalian, begitukan?”

“Heh, jangan banyak omong, Lo!” bentak Zaky, marah. Namun tawa Andra bahkan semakin keras.
“Tahu sama tahu ajalah… kita kan sama-sama sudah besar. Zak, motivasi Lo kesini ngapain? Mau mencekoki para junior dengan doktrin kemahasiswaan? Idealisme? Bah! Omong besar! Kalian ini cuma mahasiswa-mahasiswa manja yang sok idealis. Tahu apa kalian tentang gerakan mahasiswa. Dan Lo, Zak… kamu ke sini kan supaya kesempatan ngedeketin sang Diva Unmaja, Kinanti semakin besar, kan? Ya, emang romantis banget… ngejar cewek di tempat seindah ini. Sebenarnya kami nggak ada masalah, seandainya saja kalian nggak egois dengan menyambar sendirian kesempatan ini.”

“Ember Lo, Ndra!” geram Gagah yang benar-benar marah. “Kami ini beda sama Lo semua, tahu?!”
“Apa bedanya?” Andra berkacak pinggang. “Kalian penguasa kampus, sedang kami rakyat jelata. Begitu?”
Kinanti menghela napas panjang. Suasana kok jadi kacau begini sih…. Icha menyikut lengan sobatnya itu. “Ngomong dong, Kin!”
Kin pun mencoba mengatur rasa percaya dirinya. “Maaf…,” ujarnya dengan suara penuh tekanan. “Bukannya kami bersikap lancang kepada kakak-kakak sekalian.”
“Bukan lancang, tetapi nantang, gitu kan?” sahut Rullie, cepat. “He, aku tahu pasti… otak semua kegiatan ini pasti kamu, cewek kampungan!”
Lho, kok malah nuduh?

“Dasar cewek sok pintar, Lo! Gue tahu, Unmaja butuh kamu buat akreditasi. Tapi jangan bikin Lo belagu gitu deh.”
Para senior pun kembali sibuk mengeluarkan makian-makiannya. Kin menatap Bram tajam sesaat. Mahasiswa gaek itu pernah minta tolong dibuatkan makalah padanya waktu bareng-bareng mengambil mata kuliah Prof. Barata. Kin bukan membuatkan, sih… tetapi ia membantu penuh dari mencarikan referensi hingga mengoreksi hasilnya. Ketika Bram bermaksud memberinya imbalan, dengan tegas ia menolak, membuat cowok berantakan itu terkesima. Para mahasiswa berprestasi macam Kin di Unmaja biasanya bermental kuli. Mau bantu, tapi harus ada cost. Mudah-mudahan Bram masih ingat hal itu.

“Kak Bram! Tolong deh, please… biarkan saya bicara!”
“He… he, Kinanti mau bicara. Dia anak baik, jangan diganggu. Nanti pada kualat kalian orang semua!”

Kinanti sempat tersenyum geli mendengar diksi Bram. Namun ia tetap membiarkan keriuhan para senior itu tetap berlangsung. Ketika suasana agak sedikit mereda, ia baru kembali berucap. “Begini Kakak-kakak yang baik… sebenarnya kami bukannya menganggap tidak ada keberadaan kalian. Cuma, menurut kami… membawa banyak mahasiswa baru ke tempat yang jauh dari kampus, itu sebuah pekerjaan berat. Kami bertanggung jawab penuh terhadap keselamatan mereka. Padahal… maaf saja, para senior biasanya sering melanggar aturan main yang diterapkan panitia, membuat kami jadi kelabakan namun tak bisa berbuat apa-apa. Sedangkan kalian semua tahu, kalau ada apa-apa… yang akan memikul semua risiko adalah panitia. Itu yang membuat kami nggak mengikutsertakan kakak-kakak semua. Tetapi, karena kalian sudah menyempatkan datang—dan tentu saja kami senang, mau tidak mau, kami harus melibatkan kakak semua.”

“Betul!” sambut Gagah. “Kami siap bekerja sama dengan para senior, tetapi tentu saja kita semua harus kompak. Termasuk menanggung resiko yang terjadi bersama-sama.”

“Dan mengenai tuduhan Andra, tentu para senior bisa menilai sendiri… seperti apa kami ini.” Kin tersenyum santai, meski dadanya masih berdegup gugup.
Bram tertawa terbahak. “Hei, Kin! Kalau Lo sih, gue percaya. Tetapi kalau si Anton, ketua BEM itu… mana gue percaya? Dia itu kebetulan saja bisa jadi ketua. Tapi, punya modal apa dia? Udah IQ-nya jongkok, leadership-nya keteteran, lagi! Malu gue, punya ketua BEM macam dia.”

Anton mendelik mendengar ucapan Bram, namun ia hanya memilih diam. Keder. Bram… siapa sih, yang berani berurusan dengan mahasiswa yang lebih mirip preman itu?

“Ya udah…,” ujar Ruddy. “Kalian mau menerima kami, berarti masalah selesai.”
“Hei, masih ada catatan… harus menuruti aturan main!” kata Gagah.
“Tenang saja! Kalau kami bentak-bentak, itu kan cuma sandiwara aja. Kita kan bukan psikopat! Kita anak hukum, tahu mana batasan kriminal dan nggak. Kami kan juga gak mau masuk penjara.”

Bram adanya benarnya. Tetapi, Kinanti masih belum puas. Sandiwara bentak-bentak. Justru itu yang ia takutkan.


Baca novel ini sejak bagian pertama? Klik saja: NOVEL SIMFONI BUNGA RUMPUT

Ketidakkompakan masih terjadi di tenda Kin. Mereka kini membentuk 3 kubu yang satu sama lain tidak mau saling mendekat. Kubu Tracy dan Tika, kubu Angel dan Liza, serta kubu Clarissa yang lebih memilih menyendiri sembari terus mengomel. Terus terang, Kin benar-benar dibuat stress.
“Ini makanan apa?” teriak Clarissa sambil melempar kotak makanannya. “Udah sayurnya pedas sekali, lauknya keasinan… nasinya terlalu keras lagi! Di rumah, ini sih makanan anjing!”
Keempat temannya menoleh ke arah dia sesaat. Tika dan Tracy diam-diam nyengir, sedangkan Liza cuma geleng-geleng kepala.

“Uh, benar-benar manja kuadrat!” gerutu Angel, satu-satunya anggota yang tak berusaha menyembunyikan rasa tidak sukanya kepada Clarissa. “Emang kalau di rumah biasanya makan apa, sih? Emas goreng? Atau berlian panggang?”
Clarissa ngambek.
“Ris, kamu harus makan,” bujuk Kin seraya menahan emosi yang serasa ingin meledak itu. “Sampai nanti malam, masih terus ada acara. Apalagi udara dingin begini. Butuh banyak energi, Ris. Nanti kalau nggak mau makan, kamu bisa sakit.”
“Nggak mau makanan kayak gini! Ini makanan buat anjing. Yang mau makan lahap ya cuma anjing.”

“Ugh!” Tracy tersedak sesaat. Lalu saling pandang dengan Tika, dan melempar senyum sinis. Tetapi mereka tak bersuara. Hanya cekikikan. Mereka tampaknya memang tidak mau terlibat konfrontasi dengan gadis manja itu, meski juga tak mau dekat-dekat.
Berbeda dengan Angel yang langsung bereaksi. Cepat ia meraih gelas berisi airnya dan ia siramkan ke tubuh Clarissa yang langsung berteriak-teriak marah.
“Dasar anjing tak tahu diri!” Ia menyambar tas gendongnya, lalu ia lemparkan ke tubuh Angel, namun dengan cepat Angel mengelak.
Suasana menjadi ribut. Clarissa mengamuk sejadi-jadinya. Nyaris saja terjadi bentrok jika Kin tak segera ambil posisi. Cepat ia menarik tangan Clarissa, mencoba menahan gerakannya. Namun ia sedikit mengalami kesulitan, karena tubuh Clarissa lebih besar dari tubuhnya yang memang kecil mungil itu.

“Tracy, Tika! Tolong bantu!”
Mereka bertiga pun berhasil ‘melumpuhkan’ Clarissa. Gadis itu terduduk dengan lemas, terisak-isak. Wajahnya ia sembunyikan di balik sepasang telapak tangannya.
Pada saat itu, terdengar suara sirine megaphone yang dibunyikan panitia, tanda berkumpul.
“Silahkan kalian semua berkumpul di tengah lapangan. Biar Clarissa sementara tetap di tenda!” perintah Kinanti, lembut. “Ingat pesanku, jika ada panitia yang menurut kalian sudah keterlaluan, segera kasih tahu saya!”

Keempat mahasiswa baru itu pun menghambur keluar, setelah mengenakan atributnya masing-masing, yakni seragam, topi, slayer, tas kain berisi botol minuman, buku catatan dan peralatan lainnya, serta papan nama yang dikalungkan. Suara hiruk pikuk berbaur bentakan dari para senior, membuat Kin terpaksa menghela napas berkali-kali.
“Cepetan larinya! Letoy Lo!”
“Push-up dua puluh kali!”
“Gue gampar baru tahu rasa, Lo!”
“Anak baru nggak usah berlagak pinter, ya?”
“Baris… baris! Ayo bariiis!”

Tampaknya, seperti sebelum-sebelumnya, Pomaru kali ini pun bergerak tak terkendali. Liar… brutal. Mudah-mudahan tidak ada kasus yang berbahaya. Tidak membawa korban seperti Pomaru-pomaru sebelumnya.
Kinanti mendekati Clarissa. Duduk di sampingnya, dan membiarkan sama-sama terdiam untuk beberapa saat. Ketika isak Clarissa sudah semakin berkurang, dan hanya tersisa satu-satu, baru dengan pelan Kin memulai pembicaraan dengan gadis itu. “Apa yang sedang kamu rasakan, Ris?”
Diam.
“Kamu marah?”
Tetap diam.

Sembari menghela napas, Kin pun bangkit, meluruskan kedua tangan yang terasa pegal. Hah… sejak tadi pagi, ia belum sempat beristirahat. Rasanya letih sekali berjalan kesana-kemari. Mengurusi ini-itu. Belum lagi menghadapi kelima adik kelasnya yang penuh masalah. Ah….
“Apa kamu pengin menyendiri di tenda ini, Ris? Kalau itu yang kamu inginkan, aku akan pergi!”
“Jangan!” teriak Clarissa tiba-tiba. Kin sontak menoleh dan dengan cepat Clarissa kembali mengatupkan mulutnya rapat-rapat.

“Kenapa? Kamu kayaknya tidak pernah nyaman jika berada di tengah-tengah orang. Aku pikir, untuk sementara, lebih baik kamu dibiarkan sendiri!”
“Jangan! Di sini banyak setan….”
“Setan?” Kin tertawa. “Di mana-mana, setan itu ada. Tidak harus di kuburan atau rumah angker. Di hati, aliran darah, mata, telinga manusia… terutama yang tak pernah mengingat keagungan Allah, setan bertebaran juga disana. Setan membuat manusia tertutup dari cahaya Allah yang gilang gemilang. Membuat hawa amarah senantiasa mendesak-desak, senantiasa meledak.”
“Kamu nyindir aku?”
“Aku hanya mengatakan apa yang terlintas dalam hatiku. Masalah kamu merasa tersindir atau enggak, itu bukan urusanku. Tapi baguslah, kalau kamu ngerasa begitu. Setidaknya, berarti masih ada kisi-kisi hatimu yang masih bisa terbuka oleh nasihat.”
“Jangan menceramahi aku!”

“Ups, sorry! Aku lupa, kalau kamu ini nggak pernah merasa bersalah, termasuk ketika nabrak motorku. Sudah jelas mobilmu yang melanggar marka, tetapi tetap saja….”
Clarissa menatap Kin dengan sepasang mata melotot. “Jadi, Lo yang pakai motor jelek itu? Sialan, Lo! Gara-gara mobil lecet, gue dimarahin Babe habis-habisan, tahu!”
“Ah… malas bicara sama orang yang tak punya hati seperti kamu…,” desah Kin sambil geleng-geleng kepala. “Kamu memang semestinya ditatar konsep-konsep empati terlebih dulu! Ingat, kamu itu hidup di antara banyak manusia. Jika kegemaranmu hanya menyebar kebencian… aku sangsi dengan masa depanmu.”
Kin pun bermaksud beranjak pergi, namun kembali terdengar teriakan Clarissa. “Tunggu! Aku… aku takut sendiri di sini….”

“Hm, kupikir kamu gengsi buat ngaku bahwa kamu ini sebenarnya takut.”
“Kenapa Lo cerewet sekali? Nggak pernah dalam hidup gue, ada orang yang berani sama gue, tahu nggak?”
“Orang yang takut sama kamu, hanyalah orang yang tidak punya rasa percaya diri, yang tak punya harga diri.”
“Gue bisa membuat mereka takut sama gue!”
“Tapi kamu nggak akan pernah bisa membuat aku takut sama kamu, Ris!”
“Karena kamu muka badak!”

“Karena aku hanya takut kepada Allah, Tuhan Yang Maha Tinggi. Aku menghargaimu sebatas penghargaan kepada sesama manusia, tidak lebih dari itu, meski kau memiliki kekayaan segudang. Padahal, kau tak lebih dari yang lain. Yang kaya, yang terpandang, yang punya kekuasaan itu kan Papa kamu, bukannya kamu.”
“Brengsek!”
“Ris, aku pengin tanya. Dalam hidupmu, pernahkah terlontar kata-kata manis dari mulutmu?” suara Kin berubah lembut. “Apakah kamu tidak pernah berpikir, bahwa orang-orang mungkin akan ngerasa sakit hati ketika mendengar kau berkata kasar terhadapnya?”

“Sakit hati?” Clarissa tiba-tiba termenung. Namun mendadak tawanya terdengar melengking. “Sakit hati? Aku justru ingin membuat semua orang sakit hati. Betapa senangnya aku jika bisa bikin orang kesakitan.”
Tawa itu terdengar semakin keras. Kin tertegun sesaat. Tawa itu… aneh kedengarannya. Apakah… apakah? Dada Kin berdesir kencang. Apakah Clarissa memiliki… gejala gangguan jiwa?


Baca novel ini sejak bagian pertama? Klik saja: NOVEL SIMFONI BUNGA RUMPUT

Suasana perkemahan kini telah sunyi-senyap. Para peserta beristirahat di tendanya masing-masing. Pukul 23.00 acara diakhiri, dan rencananya jam 02.00 peserta akan dibangunkan untuk melakukan jurit malam. Saat-saat seperti itulah yang seringkali merupakan peloncoan sebenarnya.

Kin sendiri baru bisa kembali ke tenda untuk beristirahat satu jam kemudian. Setelah peserta tidur, semua panitia melakukan briefing untuk membahas acara jurit malam. Cukup membuat pusing. Apalagi semua panitia tampaknya memiliki keinginan sendiri-sendiri, yang masing-masing diimplementasikan dengan sikap ngeyel-nya masing-masing, yang membuat briefing menjadi berkepanjangan.

Seraya terhuyung, sang sekjen BEM itu pun memasuki tendanya. Sepasang matanya terasa telah menjadi lekat. Samar dilihatnya seluruh adik binaannya telah tertidur pulas. Tracy menggulung dirinya dengan selimut tebal, berdampingan dengan Tika. Agak berjarak, Liza meringkuk di samping Angel, tampak seperti anak ayam yang mendempis di samping induknya. Clarissa sendiri telah membungkus dirinya di dalam sleeping bag. Hanya wajahnya yang terlihat dan kini tampak begitu polos.
Sejak tadi pikiran Kin memang terpusat pada si anak manja itu. Clarissa. Wajar memang jika anak seorang dirjen yang kaya raya bersifat angkuh seperti itu. Tetapi apa yang ada pada Clarissa memang tampaknya sudah overdosis. Tampaknya, diagnosis gadis itu tak hanya sekadar keburukan akhlak yang menyertai. Ia sama bermasalahnya dengan Liza atau Ayu.
Ayu, si gadis panggilan. Dia tidak datang. Sakit. Benarkah?

Sesosok tubuh dengan jaket tebal tiba-tiba mengendap-ngendap menuju tenda Kin. “Hai, masih ada yang jaga?”
“Aku! Kin….”
“Yup, kebetulan!” begitu semakin dekat, sinar bolam yang temaram mampu menjelaskan siapa sosok yang barusan muncul itu. Icha.
“Aku nggak bisa tidur, Kin!”
“Wah, kalau aku malah ngantuk berat,” ujar Kin, jujur.
“Please, temani aku ngobrol sebentar dong!”
“Ngobrol bisa kita lakukan kapan saja,” suara Kin agak menceracau tak jelas. “Tetapi yang namanya tubuh, tetap butuh istirahat, Non! Kita ini panitia, beban kita dua kali lipat dibanding peserta.”
“Iya, ngerti! Kelompokmu baik-baik saja?”
“Yeaaah… begitulah.”
“Kelompokku, alhamdulillah… kompak. Eh, malah ada lho… yang pengin pakai jilbab seperti kita. Namanya Lolita. Katanya, semua saudaranya sudah pakai jilbab, tinggal dia yang belum. Kamu dekati aja, Kin!”

“Iya, kali!”
“Kamu kok jutek, sih….”
“Biarin! Aku ini ngantuk, tahu!”
“Iya deh… aku balik ke tenda ya…. Maaf, eh afwan… udah ngegangguin kamu. Tapi….”
Suara erangan membuat perbincangan itu seketika terhenti. Mereka sontak menoleh kearah tenda. Terlihat dengan jelas, Liza bangkit dari tidurnya. Tubuhnya menggigil kencang, mulutnya mendesis-desis seperti kedinginan.
“Dingin ya, Liz?” tanya Kinanti, simpatik. Namun Liza tak bereaksi. Ia justru berdiri, menyambar tasnya dan keluar dari tenda.
“Kak… saya pamit ke kamar kecil!”
Tanpa menunggu jawaban Kinanti, gadis itu berlari kencang. Kin dan Icha saling pandang.

“Eh, astaghfirullah! Sepertinya… dia sakaw!” seru Icha, tertahan.
“Sakaw?”
“Kita harus cegah!” Icha berlari mengejar Liza, diikuti Kin.
“Cha….”
“Cepetan!”

BERSAMBUNG KE BAGIAN DELAPAN

CATATAN PENULIS

Novel “Simfoni Bunga Rumput” ditulis pada tahun 2005 dan pernah terbit sebagai buku di FBA Press. Penayangan di website ini setelah melewati proses rewrite dengan penambahan bab-bab baru. Karena ditulis tahun 2005, setting novel ini tentu sangat berbeda dengan Jakarta saat ini. Baca novel ini sejak bagian pertama? Klik saja: NOVEL SIMFONI BUNGA RUMPUT


LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here