‘Menulis fiksi itu nggak gampang, ya,’ curahan hati seseorang yang mencoba menulis novel minimal 30 ribu kata.
Sayangnya, kebanyakan orang ketika membaca karya fiksi akan berpikir, ‘Ah, nulis begini, tinggal halu atau berkhayal doang’.
Padahal, halu atau berkhayal itu bukan pekerjaan yang ‘doang’ atau ‘cuma begitu saja’. Menyusun khayalan atau imajinasi menjadi adegan yang runut, butuh waktu yang tidak sebentar.
Penulis-penulis kawakan yang sudah berpengalaman pun butuh waktu tahunan untuk melahirkan sebuah buku yang bisa kita nikmati.
Mengapa menulis fiksi bukan pekerjaan yang mudah? Coba kita cermati.
Pertama; Tulisan Fiksi, Tulisan yang Membawa Pesan
Meskipun karya fiksi identik dengan sesuatu yang bukan kenyataan, tapi dalam cerita fiksi pasti ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh sang penulis. Mengemas pesan dalam cerita fiksi bukan sesuatu yang bisa langsung kita ‘lemparkan’ begitu saja kepada pembaca alias hard-selling.
Alih-alih terbawa alur cerita, pesan dalam karya fiksi yang ‘dilemparkan’ secara mentah bisa jadi malah membuat pembaca menutup halaman tulisan. Maka, penulis karya fiksi harus memainkan dengan apik tulisannya. Tujuannya, agar pesan tersebut berbaur dengan konflik dan alur cerita, sehingga pembaca bisa menangkap pesan tanpa terkesan diceramahi.
Bahkan cerita se-halu kisah roman antara CEO dan wanita biasa saja, pasti terselip pesan, misalnya, perjuangan mengatasi perbedaan.
Kedua; Tulisan Fiksi, Halu yang Harus Masuk Jalan Pikiran Pembaca
Tulisan fiksi memang rekaan semata. Tapi, dalam menyajikan alurnya, penulis tetap harus membawakan cerita yang bisa dicerna oleh khayalan pembaca.
CEO bertemu kekasih hati tidak ujug-ujug saling mengenal. Pasti diawali dengan sebuah pertemuan, entah bertemu di jalan karena sepeda tokoh wanita menyerempet mobil sang CEO atau adegan yang lain.
Harry Potter yang novel fantasi saja di dalamnya dijelaskan secara runut bahwa untuk menuju Hogwarts dari stasiun kereta api King’s Cross harus melewati platform 9¾.
Begitulah tantangan menulis fiksi, meski berupa khayalan, penulis tetap harus menyiapkan alur rangkaian cerita yang menarik pembaca.
Ketiga; Fiksi pun Butuh Penelitian
Menyajikan cerita fiksi agar bisa terasa dekat dengan pembaca tentu butuh riset atau penelitian. Tujuannya, agar pembaca merasa related dan terbayang maksud penulis.
Menjadikan seorang CEO sebagai tokoh utama, tentu penulis harus tahu bagaimana keseharian seorang CEO. Menuliskan tentang kehidupan mahasiswa, tentu penulis harus tahu bahasa yang biasa digunakan mahasiswa ketika berinteraksi dengan dosen maupun dengan teman-temannya. Menuliskan cerita berlatar tempat London, tentu penulis tidak bisa mencomot ‘Jalan Merdeka’ sebagai nama jalan yang dilewati tokoh. Penulis setidaknya harus googling nama jalan yang ada atau cocok sebagai nama jalan di kota London.
Semua informasi tersebut tentu harus diperoleh penulis. Maka riset adalah keharusan. Entah didapatkan dari berselancar di dunia maya, atau menggali memori sang penulis sendiri.
Ketiga poin tentang tantangan menulis fiksi dalam paragraf di atas, tentu tidak dimaksudkan untuk menakuti Sobat Filmi akan ‘susahnya’ menulis fiksi. Melainkan sebagai sekelumit motivasi bahwa menulis fiksi pun butuh usaha, butuh effort seperti pekerjaan yang lainnya. Ikhtiar seorang penulis fiksi harapannya dijadikan gambaran tidak patutnya memandang sebelah mata atau meremehkan pekerjaan seorang penulis fiksi.
Sebagai contoh, tidak mudah menarasikan ide atau nilai, seperti ‘muslim dilarang minum wine atau khamr’ dalam sebuah cerita roman. Butuh pemikiran mendalam agar nilai tersebut bisa mengalir dalam cerita, sehingga pembaca yang mungkin sudah terpapar nilai-nilai sekuler atau budaya barat soal kegiatan minum minuman beralkohol yang tadinya dianggap biasa atau sah-sah saja, dapat tersentuh dengan nilai yang penulis sampaikan dan tersadarkan.
Tantangan yang ada dalam kepenulisan fiksi semoga menjadi pemacu dalam menyajikan tulisan fiksi yang tidak hanya memikat, tapi juga membawa nilai kebaikan.