Perubahan Aruna Sahabatku

0
223

Malam itu, Runa menjemputku di rumah. Dia mengajak kami bertemu setelah sekian tahun, dua tahun lebih tepatnya, kami tidak berjumpa semenjak kami sama-sama menjajaki dunia perkampusan. Sebenarnya total anggota pertemanan kami ada empat orang, tapi karena dua lainnya berhalangan hadir dengan alasan belum ‘pulang kampung’, Runa akhirnya mengambil keputusan agar kami ‘kencan’ berdua saja. So sweet sekali, bukan? Ah, aku jadi ingin tertawa setiap kali mengingat kemesraan kami berdua sebagai teman kala itu.

Saat Runa sudah berada di depan rumahku, dia mengirimkan pesan singkat yang mengabariku tentang kedatangannya. Aku pun bergegas melangkahkan kaki menuju pintu depan rumah. Aku sempat sangat terpana melihat penampilan terbaru Runa. Dalam keadaan terpana itu, aku memaksa diriku menutup pintu rumah. Aku sudah berpamitan dengan kedua orang tuaku mengenai perginya kami yang seperti ‘kencan’ itu.
“Runa, is that really you?” tanyaku berlebihan, aku yakin ekspresi wajahku saat ini begitu shock dan aku sama sekali tidak mencoba menyembunyikannya.
“Kenapa memangnya?” tanyanya balik sambil terkekeh.
Oke, yang membuatku terkejut adalah penampilannya saat ini benar-benar berubah seratus delapan puluh derajat dari Runa yang kukenal dulu! Runa yang dulu bukanlah Runa yang sekarang. Sungguh! Aku jadi pengin menyanyikan lagu si Tegar satu lagu full tidak pakai skip-skip!
“Apa yang terjadi?” tanyaku lagi dan lagi, mulutku kembali menganga tak percaya. Pikiranku melayang entah sudah sampai ke mana, berbagai prasangka dan dugaan mulai bermunculan tanpa bisa dihentikan.

Penampilan Runa sekarang benar-benar full ‘tertutup’. Maksud tertutup di sini dia sudah menggunakan jilbab panjang yang menutupi setengah tubuhnya. Ditambah rok yang tak kalah longgarnya yang jika dibawa berjalan kali, ujung rok itu sudah pasti menyapu tanah dan membersihkan debu-debu di atasnya. Dibandingkan penampilan dia terakhir kali kami berjumpa, dia masih menggunakan celana jeans ketat plus baju kaus lengan panjang dan jilbab yang bahkan tidak menutupi dadanya. Omong-omong, penampilan aku juga seperti Runa terakhir kali aku menjumpainya.

“Ya nggak kenapa-kenapalah,” balasnya tanpa sedikit pun nada tersinggung. “Ini, kan, masih aku.”
“Sebentar, kamu nggak ada ikut kegiatan teroris, ‘kan, Run? Maaf sebelumnya. Karena ini semua terlalu mendadak.”
Dia menanggapi pertanyaanku dengan tawa meledak. “Teroris apaan? Sebenarnya ibu aku udah lama nyuruh aku berpakaian begini. Nah, baru pas libur semester inilah aku mau pakai. Udah disiapin sama ibu aku baju-bajunya, aku tinggal pakai aja. Terus aku juga udah mulai ikut pengajian. Ada yang salah?”
“Nggak ada yang salah, sih, sama pakaiannya. Masalah ikut pengajiannya juga. Yang penting, jangan sampai tersesat karena ikut pengajian yang salah,” pesanku. “Karena yang salah bukan pengajian atau pakaiannya, yang salah oknum-oknum di dalamnya. Yang bikin nama pengajian atau pakaian yang kamu pakai sekarang jadi jelek.”
“Nah, ya udah, berarti nggak ada yang salah dong dengan penampilan aku sekarang?”
“Tetap aja aku masih terkejut, Runaaa. Serius, deh. Aku nggak nyangka kamu bakal jadi begini penampilannya. Aku masih nggak bisa percaya sama apa yang lagi dilihat mata aku.”
“Jangan berlebihan. Jadi nggak, nih, kita pergi? Mau pergi ke mana?”

Aku menyipitkan mata menatap wajah Runa dalam remang-remang lampu jalan di kompleks perumahan tempatku tinggal. Mulus sekali dia mengalihkan pembicaraan kami.
“Terserah aja, sih, kalau aku. Ngikut aja.”
“Dih, jawabannya malah terserah.”
“Emang ada apa di sini? Tahu sendirilah kampung kita gimana. Nggak ada apa-apa!”
Runa tertawa lagi. “Benar juga, ya. Ya udah, mau ngejus aja nggak di pinggir jalan?”
“Ya udah, boleh deh. Di pinggir jalan raya aku liat banyak tempat ngejus. Ke sana aja ya kita?”
Runa mengangguk sambil mengacungkan satu jempolnya yang kini sudah tenggelam dalam manset. “Oke, kita ke sana aja,” jawabnya. “Kamu yang ngendarain motornya ya.”
“Ih, nggak enak! Kan, aku yang dijemput. Aku maunya disetirin juga dong.”
“Manja banget! Udah aku yang jemput, harusnya lebih sadar diri dong.”

Itulah Runa yang kukenal. Cara bicaranya ternyata masih sama.
Aku sengaja memasang tampang cemberut dan memajukan bibirku seperti orang yang sedang nyinyir. “Okelah.”
“Pulangnya juga, ya,” ujar Runa memperingatkan.
Sepasang mataku kembali menatap wajah Runa sebelum menjawab, “Oke.”
“Ya udah, ayo kita pergi lagi! Entar keburu tutup semua tempat jualan jusnya.”

***

“Eh, itu tempat ngejusnya! Aku nampak satu di depan sana. Kita ngejus di sana aja, yuk!” telunjukku menunjuk sebuah tempat minum jus di sebelah kiri jalan raya.
Runa melongokkan kepalanya ke arah kiri depan melalui bahuku. “Oke kok tempatnya. Kelihatan bersih. Iya, kita ke sana aja.”
Aku segera mengarahkan motor ke sebelah kiri jalan, mendekati tempat minum jus kami nanti. Sebuah ruko sederhana bercat putih full yang diterangi cahaya lampu yang juga berwarna putih. Tempat itu menjual beraneka jenis jus. Hanya itu. Aku tidak melihat menu makanan di sana. Rasanya cukup mewah minum jus di dalam ruko. Padahal tadi aku sudah membayangkan kami berdua akan minum jus di kios-kios kecil pinggir jalan raya yang terbuat dari kayu. Kami berdua akan minum jus di ruangan terbuka karena tidak mungkin kios yang kecil itu mampu menampung orang untuk duduk-duduk di dalamnya. Jadi, bisa dipastikan kami berdua bakal duduk-duduk minum jus sambil menghirup udara kotor dari kendaraan-kendaraan yang lewat di pinggir jalan raya utama. Syukurlah kami menemukan tempat minum jus yang lebih baik. Dengan begini, adegan minum jus sambil menghirup buangan gas dari knalpot tidak menjadi kenyataan.

Runa turun dari boncengan motor, aku pun menurunkan standar motor supaya motor itu bisa parkir di halaman depan ruko. Setiba kami di dalam ruko, kami segera memilih meja yang dekat bagian depan ruko. Hanya kami berdua pelanggan mereka malam itu.
Seorang perempuan muda menghampiri meja kami. “Mau pesan apa, Mbak?” tanyanya ramah.
“Jus alpukat ada, Mbak?” tanyaku cepat tanpa pikir panjang. Sejak awal, aku memang berniat minum jus alpukat supaya kenyang. Menurutku, jus alpukat lebih mengenyangkan dan terasa ‘berat’ di perut daripada jus lainnya.
“Ada, Mbak. Mau pesan itu?”
“Iya, Mbak. Saya pesan jus alpukatnya satu,” jawabku.
“Kalau, Mbak?” Giliran Runa yang ditanya.
“Saya pesan jus jeruk aja, Mbak,” jawab Runa.
“Tumben jawabnya cepat, biasanya lelet.” Aku tertawa untuk pertama kalinya sejak adegan keterkejutanku melihat penampilan baru Runa.
“Kalau gitu, saya permisi dulu ya, Mbak. Terima kasih,” pamit perempuan muda itu.
“Oke, Mbak. Makasih banyak,” balasku.
Sementara Runa hanya bereaksi diam dan mengangguk sekali ke arah perempuan muda itu.
“Run, karena kamu udah berpenampilan begini—bercadar—kamu pasti nggak ada minat buat pacaran, ‘kan?” Saatnya bagiku membuka sebuah topik baru dalam pembicaraan kami.
“Aku nggak pernah pacaran juga dari dulu. Gini-gini, aku jomblo terus dari lahir, lho,” ujar Runa sambil tertawa kecil.
“Deket-deket gitu sama cowok emang nggak ada juga?”
“Kalau deket-deket doang sambil chattingan, sih, ada-lah beberapa. Tapi hubungan kami nggak ke mana-mana. Cuma temen.”
“Oh, gitu,” tanggapku seraya mengangguk-angguk.
“Apalagi dengan penampilan aku sekarang, ya makin nggak mau pacaran-lah akunya. Ketika kita memutuskan menutup diri kita seperti ini, makin besar tanggung jawab kita untuk menyelaraskan semuanya dengan penampilan kita. Mungkin ada di luar sana yang berpenampilan sama kayak aku buat menutupi kedok mereka yang kurang baik. Tapi aku enggak, aku memilih ‘menutup diri’ karena aku ingin semakin memperdalam agama kita.”

Sosok Runa yang tidak pernah pacaran sebenarnya berhasil membuatku iri. Di tengah maraknya orang-orang yang berpacaran (termasuk aku), dia tidak sekali pun punya niat untuk pacaran. Godaan ada di mana-mana untuk pacaran, tapi dia tetap tenang dan menikmati hidupnya sendiri.
“Aku juga ngerasa nggak masalah kalau nanti menikah dengan jodoh pilihan orang tua aku.”
“Taaruf gitu maksudnya? Wow. Sebuah langkah yang berani. Maksud aku, kamu berani menikahi orang yang sama sekali nggak kamu kenal!”
“Emangnya dengan kita pacaran beberapa tahun sama seseorang bikin kita kenal sama dia luar-dalam? Nggak, ‘kan?”
“Benar, sih. Nggak ada jaminan kita mengenal pasangan kita sampai kita tinggal seatap sama dia dan menghadapi semua baik-buruknya dia.”
“Makanya aku nggak masalah nanti dinikahkan sama laki-laki yang bakal dipilihin ibu aku.”
Aku menyampaikan beberapa ucapan doa untuk kebahagiaan pernikahan impian Runa di masa depan, hingga aku berbicara hal lain, “Sayang banget ya kita nggak bisa jumpa sama Bulan dan Farrah malam ini.”
“Iya, padahal kita jarang bisa ketemu,” keluh Runa.
“Nggak pa-pa. Mungkin semester depan kita bisa jumpa mereka. Kita harus optimis!”
“Semoga dipanjangkan umur kita. Aamiin.”
“Aamiin.”


LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here