“Happy anniversary, Sayang,” bisik suamiku pagi ini. Aku tersenyum berusaha membuka mata. Kukira masih tengah malam.
“Ayo bangun, shalat, sudah subuh,” lanjutnya lembut.
Setiap pagi, dia selalu lakukan itu. Membisiki telingaku dengan lembut, mengajak shalat berjamaah atau hanya mengucap ‘I love you’ saat aku sedang dapat jadwal libur shalat.
Sepertinya aku wanita paling beruntung di dunia ini yang bisa mendapatkan suami seperti dia. Laki-laki yang gagah, tampan, pandai, salih, luwes mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan mapan sebagai bonusnya. Ada keberuntungan lain yang kudapatkan setelah menikah dengannya. Kami sudah bisa langsung hidup mandiri terpisah dari orang tuaku juga orang tuanya. Ya, berkat kegigihannya menabung dari sejak kuliah sampai di usianya yang ke-30 saat menikahiku, dia bisa langsung memberikan hunian yang layak untuk kami tinggali. Rumah ini tidak mewah, cukup untuk sebuah keluarga kecil beranggotakan ayah, ibu, dan dua orang anak. Tapi anggota keluarga kecil itu masihlah menjadi sebuah impian.
Tidak seperti aku yang merasa jadi wanita paling beruntung, bagi suamiku mungkin sebaliknya. Dia menjadi pria paling tidak beruntung karena mendapatkanku. Rumah hasil jerih payahnya dengan tiga kamar baru satu yang terisi, oleh kami berdua saja. Belum ada suara tangis atau canda tawa anak-anak di tahun ke delapan pernikahan kami.
Sering kudapati komentar di akun media sosial milikku bahwa pernikahan kami yang sudah cukup lama mengapa tidak jua dikaruniai momongan. Ada yang bilang kami mandul. Ada pula yang bilang nasib kami ini adalah hukuman. Mungkin benar, aku adalah seorang tokoh antagonis yang terkena karma. Sebelum menikah, mulutku seringkali menyakiti hati orang lain. Aku dulu terkenal blak-blakan dan seenaknya saat bicara.
Aku ingat dengan jelas, dulu aku seorang karyawan di perusahaan kosmetik ternama. Semua karyawan di sana pasti setuju akulah si mulut pedas tak berperasaan. Dengan wajah cantik dan postur tubuh ideal, sayang lidahku bertindak sebaliknya. Sering kukritik karyawan lain yang terlalu kurus atau terlalu gemuk lalu kuhubungkan dengan kesempatan mereka memiliki keturunan.
“Kurus banget sih kamu, ati-ati gak subur loh, nanti susah punya anak.”
“Ih… gendut banget si kamu. Awas rahim kamu ketutupan lemak, gak bisa punya anak loh.”
Dan masih banyak lagi celotehanku yang pasti menyakitkan bagi mereka. Tapi dulu semua tak pernah kupikirkan apakah perkataanku menyakitkan atau tidak. Aku memang tidak begitu punya banyak teman. Asal pekerjaanku beres, atasan senang, gaji terus mengalir begitupun bonus kudapat karena profit perusahaan meroket karena kinerjaku.
Nyatanya, mereka yang kurundung itu ternyata bernasib lebih baik daripada aku. Media sosial mereka berisi foto dan video anak-anak mereka yang lucu. Sedangkan aku, sebagai seorang selebritas media sosial yang sudah dapat tanda checklist biru, isinya hanya pekerjaanku sebagai reviewer produk kecantikan. Sesekali kuisi foto dan video bersama suami liburan di tempat-tempat indah dengan ekspresi berusaha bahagia meski tanpa ada anak di samping kami.
Pagi ini, di meja makan yang terlalu besar untuk kami berdua, suamiku bertanya lagi memastikan rencana perayaan ulang tahun pernikahan kami malam nanti.
“Kamu serius jadi merayakan anniversary kita di panti asuhan Bu Ana?”
“Iya dong, persiapan udah beres semua ini. Kita kan udah bahas ini sejak seminggu yang lalu. Tempat itu kan juga recom dari mama kamu. Kok masih tanya lagi sih?” aku agak kesal. Sudah seminggu ini kupersiapkan tapi suamiku terus menanyakan seakan tidak setuju tapi juga tak mau menolak rencana ini.
“Ya udah nggak apa. Aku langsung kesana setelah dari kantor aja ya? Hari ini kerjaan banyak banget di kantor.”
Jawabannya tidak membuatku senang. Itu artinya aku mempersiapkan segalanya sendirian dan dia hanya terima beres. Kecupan di dahi, senyum tipis, dan pamitnya berangkat ke kantor terasa berbeda. Piring bekas sarapan yang biasa dia cuci sendiri masih tertinggal di meja makan. Tiap kali kubahas acara spesial kami ini, raut wajahnya selalu berubah. Meski dia berusaha menutupinya, tapi aku tahu ada yang berbeda. Banyak pertanyaan memenuhi pikiranku tentang ini. Mengapa suamiku berubah?
Kubereskan sisa sarapan kami. Hari ini kuputuskan tak ada konten untuk ‘dijual’. Aku ingin menikmati momen spesial ini hanya untuk kami juga anak-anak di panti. Kubuat pengumuman di media sosialku bahwa aku libur hari ini dan akan kembali esok hari. Bergegas kuhubungi restoran tempat aku memesan makanan untuk acara nanti malam. Lalu, kuhubungi Bu Ana memastikan tempat siap begitupun anak-anak.
Semua siap. Tapi hatiku tidak. Membayangkan nanti malam bertemu wajah-wajah manis tanpa dosa yang tak tahu di mana orang tua mereka. Juga orang tua kami yang tak bisa datang. Orang tuaku tak sanggup harus menempuh perjalanan jauh, begitupun mertuaku yang fisiknya sudah sakit-sakitan. Memang seharusnya kami yang masih muda yang seharusnya datang mengunjungi mereka.
Siangnya, kubeli banyak sekali hadiah untuk anak-anak. Aku mau semua anak di sana mendapat hadiah. Aku tidak peduli berapa uang yang kubelanjakan. Aku ingin lihat wajah polos mereka dipenuhi senyum nanti.
Waktu terasa begitu cepat. Setelah ashar aku berangkat ke panti asuhan.
“Assalamu’alaikum, Bu Ana,” kusapa Bu Ana yang sudah menantiku di teras gedung utama panti. Kucium tangan keriputnya. Wanita ini mungkin berumur tujuh puluhan. Wajah tuanya tegas. Meski keriput sudah menjalar tapi beliau masih bisa berdiri tegap tanpa alat bantu.
“Wa’alaikumsalam, Nak.” Suaranya sedikit bergetar menandakan beliau sudah tak muda lagi. Beliau terus memandang arah di belakangku. “Suamimu mana, Nak?” tanya beliau.
“Maaf ya, Bu. Suami saya masih di kantor, nanti menyusul ke sini.”
“Dia pasti sibuk sekali ya? Alhamdulillah, dia jadi orang sukses.” Beliau tampak bangga. ”Ayo masuk, ceritakan tentang suamimu.”
Bertemu Bu Ana seperti bertemu ibu kandung suamiku yang lama tidak dia kunjungi. Beliau terus bertanya banyak hal tentang suamiku, tak sedikitpun bertanya tentang aku. Aku tahu suamiku adalah salah satu anak asuh Bu Ana. Benar, dia hanya anak angkat mertuaku. Tapi di rumah, tak pernah sekalipun ku dengar cerita masa kecilnya di sini. Tapi dari sikap Bu Ana, aku yakin dia anak kesayangan beliau.
Sebentar lagi sholat maghrib, tapi suamiku belum sampai juga. Ku telepon tidak dijawab. Kukirim pesan, masih saja tanda checklist-nya tidak berubah jadi warna biru. Ke mana dia?
Setelah sholat, semua berkumpul di masjid. Aku semakin gelisah, suamiku tak kunjung muncul, aku khawatir terjadi hal yang buruk padanya.
“Ayo mas, diangkat teleponnya”, aku mondar-mandir gelisah di halaman masjid.
Aku kirim pesan
Sayang kamu di mana? Tidak terjadi apa-apa kan? Jawab telponku.
Semua sudah menunggu, kamu di mana?
Mas kamu kenapa?
Semua pesanku terkirim, tapi tidak dibaca. Panggilanku berdering tapi tidak diangkat.
Aku mulai menangis, khawatir juga malu.
Tiba-tiba tepukan Bu Ana menyadarkanku.
“Ayo Nak masuk. Kita doakan suamimu semoga dia baik-baik saja.” Bu Ana memelukku, menuntunku masuk ke masjid. Aku masih terisak, membayangkan sesuatu yang buruk terjadi pada suamiku.
Acara tetap berlanjut, begitupun tangisku. Sepanjang acara aku menunduk berusaha menutupi wajahku yang semakin memerah, tapi sepertinya percuma. Tangisku semakin pecah saat anak-anak bersalaman denganku. Beberapa memelukku, iba melihatku terus menangis.
“Kakak jangan nangis.” Kalimat larangan seorang gadis kecil di depanku terdengar seperti kalimat perintah bagiku untuk menangis semakin keras. Aku mengangguk, tapi air mata semakin deras.
Acara selesai. Mataku sudah bengkak, dadaku sesak. Harusnya aku bahagia hari ini, tapi malah begini.
Bu Ana menuntunku ke teras gedung utama. Kami duduk di kursi kayu khas jaman dulu. Beliau menungguku sampai aku tenang.
“Nak Riri, maaf ya. Mungkin ini karena saya. Suamimu tak mau datang ke sini.”
Aku mengangkat kepalaku dan mengernyitkan dahi tanda bertanya-tanya. Tapi tak ada kata yang keluar.
“Pulanglah, saya yakin suamimu baik-baik saja. Dia memang sudah tak mau bertemu saya. Mungkin dia masih marah karena membiarkan dia diangkat oleh Bu Dewi. Saya mau dia mendapat kehidupan yang lebih baik. Saya hanya pengasuh bukan ibu kandungnya. Saya tidak bisa membuatnya jadi orang sukses seperti sekarang. Kalau tidak berkat Bu Dewi, mungkin dia cuma jadi pengasuh anak-anak di sini.” Kulihat Bu Ana juga menyeka air mata di sudut mata tuanya.
Tangan Bu Ana menggenggam erat tanganku kemudian melanjutkan. ”Sayangi dia apapun yang terjadi, mungkin hanya kamu yang dia butuhkan. Maafkan saya, saya akan terus menyayanginya seperti anak saya sendiri sampai akhir hayat saya. Pulanglah, Nak!”
“Terima kasih, Bu.” Kupeluk Bu Ana erat lalu berpamitan. Semoga apa yang dikatakan beliau benar. Suamiku di rumah, dia hanya marah mengingat masa lalunya. Seperti anak kecil yang ngambek kepada ibunya.
Aku kendarai mobilku cepat sambil terus berdoa. Aku temukan suamiku di rumah.
“Sayang, kamu di mana? Kamu di rumah kan? Sayang,” sesampainya di rumah kupanggil suamiku, tidak ada jawaban. Aku tidak boleh panik. Aku harus berpikir jernih. Langsung aku menuju kamar, kosong. Dimana dia? Aku tengok kamar kedua, lalu ketiga, kosong juga. Mushola, dia pasti di sana. Benar saja. Dia di sana.
“Sayang,” suaraku bergetar. Aku menangis lagi. Seharusnya aku marah, tapi aku kembali sedih mengingat perkataan Bu Ana.
“Kamu sudah pulang?” jawabnya lirih, lalu menarik tanganku dan memelukku erat. “Maafkan aku. Aku tak sanggup ke sana. Harusnya aku menolaknya lebih awal.”
Aku menggeleng. “Aku yang harusnya minta maaf, aku egois.”
Pelukannya semakin erat. “Di sini saja ya. Jangan tinggalin aku. Temani aku terus. Aku tidak mau ada orang lain. Cukup kamu, kamu saja. Maafkan aku. Tolong aku saja yang kamu cintai. Tidak ada yang lain.”
Suaranya ikut bergetar, pipinya terasa basah. Suamiku yang tegar menangis. Terus mengucapkan ingin dicintai sendiri tidak ada orang lain. Masa kecilnya sebagai yatim piatu mungkin takut tidak dicintai sepenuhnya. Dia takut, jika nanti ada anak di keluarga ini, dia tak akan dicintai lagi. Jiwa kecil suamiku masih haus kasih sayang, masih ingin merasakan cinta kasih yang penuh hanya untuk dirinya. Ego kecil suamiku ingin perhatianku tak terbagi bahkan untuk anak kami. Suamiku hanya butuh aku.
“Maafkan aku. Tolong lupakan impianmu jadi ibu. Aku tak sanggup membagimu. Aku hanya butuh kamu. I love you.” Kecupannya di bibirku membuat air mataku mengalir. Sedih atau bahagia, entahlah.
*****