Barisan Para Semut di Tanah Basah

0
96

Barisan Para Semut

Semut-semut merah
Berarak berbaris menjadi pelangkah
Merangkak di tiang-tiang rumah
Nampak tertatih-tatih
Memanggul sisa-sisa nasi putih
Tak peduli khalayak ramai menjadi pengintai
Yang akan menginjak, menumpas, menghempas
Semut-semut merah tetap menjadi pelangkah dan akan melangkah
Bahu membahunya saling menguatkan menuju rumah
Sekalipun tahu akan binasa atau jatuh dan patah
Pahamilah satu pelajaran
Dari satu peristiwa yang kau santap dengan mata telanjang
Sebelum mencapai puncak kejayaan
Adalah letih dan perjuangan
Dari sekian banyak perjalanan panjang
Yang berpacu dengan peliknya halang rintang

Elegi Si Tuan

Duh, ditinggal cinta mengubah si tuan menjadi edan
Bermula dari romansanya menebar pesona yang dilebur zaman
Berakhir dengan kenangan sebagai tanda mata perpisahan
Yang begitu menyayat, tatkala diingat
Yang begitu berat mengenang pergi yang terlalu cepat
Namun di paksa rela daripada gundahnya semakin menjerat

Memang kiasan cinta yang tak seindah pengandaiannya
Ubahnya kisah Majnun atas pujaannya Laila
Terbelenggu kerumitan asmaraloka serta kegilaannya
Mengundang hati yang murka, membuatnya bermuram durja
Mengeja nestapa dari sisa durjasa,
Yang semata-mata untuk memetamorfosa muara siksa

Kini, bak menanti petrikor dalam kemarau,
Begitu muskil meminta lagi gurau di atas galau
Begitu muskil merindu kidung-kidung di masa lampau
Terlebih menagih janji kembalinya yang tinggal ikrar
Atau memungut bayangnya yang tak bisa dikejar
Kocah-kacih saja! Berusaha melupa sesuatu tanpa jejak kabar

Menelan kembali si malakama, ku ucap selamat tinggal juita!
Biar si tuan memesonakan cantikmu di ujung mata
Bisu segala bisu biar tetap menjadi sembilu
Dipungut masa dan dikejar waktu yang tabu
Semoga pergimu, ialah khilafmu
Semoga perpisahan menegarkan hatiku, juga hatimu

Tentang Basahnya Tanah Itu

Tentang dulu tatkala musim bertukar
Penantian panas surut menuju hujan berlarut-larut
Guyurnya membasahi pelataran dari pagi sampai petang
Menyeruakkan aroma petrikor bercampur puputan biang kenanga yang hampir mati berkalang tanah
Telah penuh pagi itu dengan sorak sorai anak-anak dalam permainan air
Didalamnya terdapat renai hujan yang semakin lebat menuju hilir
Tak peduli
Mereka tetap tunduk dalam riak air yang mengalir
Mengingat kembali tanah depan rumah di masa itu
Yang pernah terkikis terkubur musim panas
Menjadikannya kerontang berminggu-minggu
Sebelum kini telah rata menjadi batu
Ditengah bangunan mewah yang tak butuh sentuhan pelataran alas tanah
Tentang basahnya tanah itu
Yang akan kurindu di masa tuaku setelah puluhan tahun lalu
Yang akan tetap dicari sekumpulan anak-anak yang mengaduh rindu
selepas sekarang seusai tanah berganti serba batu


LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here