Menunggu Kyai Sepuh dari Mekkah

0
56

Kedatangan Kyai Haji Zulfikar bin Haji Matsani sangatlah ditunggu-tunggu para santri. Sebab telah diceritakan ke-seantero santri bahwa yang bersangkutan adalah Kyai Sepuh yang ilmunya teramat luas, dan dipercaya membawa keberkahan. Ustadz Zaini Miftah S.Ag, pemilik sekaligus pengajar di pesantren Miftahul Jannah, sebuah pesantren kecil di pinggiran kota, pernah bercerita bahwa Kyai Haji Zulfikar memiliki kharisma yang tiada tanding. Wajahnya bercahaya bagai ciri penghuni surga. Beliau tidak banyak bicara. Ngomong seperlunya saja. Lebih banyak tersenyum, senyum yang membuat siapapun yang melihatnya menjadi damai nan tentram.

Siapa Kyai Haji Zulfikar sesungguhnya. Beliau tak lain salah satu guru dari almarhum Kyai Haji almukarom Ahmad Makmun, pendiri pesantren Miftahul Jannah. Kyai Haji almukarom Ahmad Makmun sendiri sudah lebih dulu berpulang ke rahmatullah karena terserang paru-paru. Tetapi gurunya Sang Kyai Sepuh yang sebentar lagi akan mampir ke pesantren selepas ibadah haji, masih sehat walafiat. Apa penyebabnya, semua santri penasaran.

“Beliau, yang mulia Kyai Haji Zulfikar, tidak pernah makan sebelum lapar, dan berhenti makan sebelum kenyang,” Ustadz Zaini Miftah bercerita, suatu ketika. Lalu lanjutnya, “Selain itu, beliau tak pernah kehilangan air wudhu, giat solat berjamaah di masjid, selalu menyambung tali silaturahim, rutin berjalan pagi selepas subuh, selalu berzikir dimanapun berada, dan tak pernah meninggalkan kebiasaan menulis kitab, serta membaca Al-Quran sebelum dan setelah tidur.”

Semua santri yang mendengarkannya mengangguk-angguk. “Kyai Haji Zulfikar tidak pernah terlihat sedih di dalam hidupnya, karena dia merasa bahwa hidup di dunia hanyalah sementara, seperti mampir ngopi. Dunia ini hanyalah tempat mengumpulkan amal dan ibadah, untuk persiapan hidup yang kekal di akhirat nanti. Itulah mungkin, meskipun sudah sepuh, yang mulia Kyai Zulfikar terlihat awet muda. Ada yang mengatakan umur sang kyai sudah melewati angka seratus! Dan hari ini kyai sepuh akan mampir ke pesantren ini sepelulang beliau dari Mekkah, kalian harus bersikap sopan dan menaruh hormat, kalau ingin tertular kepandaian dan mendapat keberkahannya…”

Para santri kembali mengangguk. Semua santri semakin penasaran, ingin melihat seperti apa rupa Kyai Sepuh. Dan yang paling penting, mendapatkan keberkahannya. Sebab mereka yakin, apabila mendapat keberkahan dari Kyai Sepuh, maka hidup akan menjadi mudah penuh barokah.

***

Pagi-pagi sekali, saat mentari masih malu-malu, ketika sebagian besar santri berada di dalam kamar masing-masing selepas solat tahajud dan subuh berjamaah di masjid dan dilanjutkan tilawah Quran, seorang lelaki tua berdiri di depan pintu gerbang pesantren Miftahul Jannah. Salah seorang santri yang kebagian tugas bersih-bersih melihatnya langsung terkesima. Santri itu memandangi lelaki tua dari ujung kepala hingga ujung kaki. Lelaki tua itu mengenakan gamis putih. Warna rambutnya perpaduan antara coklat dan putih, bagaikan bulu jagung tua yang hendak dipanen. Si pemilik bulu jagung tua itu tidak terlihat keseluruhannya, karena tertutup oleh kopiah putih. Sebuah tasbih berukuran sedang tergenggam di tangan kanan. Biji-biji tasbih itu terus berputar di pergelangan tangannya yang kokoh, seiring mulutnya yang komat-kamit melapalkan bacaan.

“Saya hakul yakin. Tak salah lagi… Ini pasti Kyai Sepuh! Selamat datang Kyaiii!”
Lelaki yang disebut Kyai Sepuh melepas senyum. Deretan giginya yang putih kecoklatan terlihat. Santri terkesima. Dia bangga sekali pagi ini. Karena menjadi santri yang pertamakali bertemu dengan Kyai Sepuh. Satu-satunya santri yang pertama kali menyambut Kyai Sepuh sekaligus mencium tangan sang Kyai.
Santri lalu mengajak Kyai Sepuh masuk ke dalam lingkungan pesantren. Santri lain yang sedang dapat hukuman bersih-bersih karena kemalasan mereka, demi melihat berdatangan Kyai Sepuh, langsung mengerumuninya. Semua berebutan bersalaman dan mencium tangan Kyai Sepuh. Abdullah Miftah Lc, adik kandung Ustadz Zaini Miftah meminta para santri menyingkir karena Kyai Sepuh harus istirahat setelah perjalanan jauh. Abdullah menelpon kakaknya yang tengah mendapat undangan ceramah di kampung sebelah akan kedatangan Kyai Sepuh. Pesan di telepon, Ustadz Zaini Miftah menyarankan Kyai Sepuh beristirahat di kamar pendopo dekat masjid.
Para santri pemalas itu kecewa karena Kyai Sepuh langsung masuk ke pendopo dan tidak terlihat lagi sampai selesai waktu solat zuhur berjamaah. Mereka bertanya-tanya kenapa Kyai Sepuh tidak terlihat di masjid. Padahal Ustadz Zaini Miftah pernah mengatakan bila Kyai Sepuh tak pernah meninggalkan solat berjamaah.
“Mungkin Kyai Sepuh kelelahan karena perjalanan jauh.”
“Tadi saya lihat Kyai Sepuh sempat keluar dari pendopo dan duduk-duduk sambil merokok!”
“Kyai Sepuh tidak merokok!” Abdullah Miftah buru-buru meluruskan. Semua santri terbengong-bengong.
“Sudahlah. Kita berbaik sangka saja, mungkin Kyai Sepuh sudah meng-khada solatnya, karena beliau melakukan perjalanan jauh dari Mekkah. Ibadah haji, meskipun mungkin sudah berkali-kali beliau lakukan, adalah ibadah fisik yang tidak ringan mengingat usia beliau yang sudah sepuh. Sekarang kalian istirahat. Nanti jam dua kembali ke masjid untuk sama-sama mengkaji kitab.”

Tidak semua santri beristirahat. Diam-diam beberapa santri bandel tadi berada di samping pendopo, mengintip ke arah pintu pendopo tempat dimana Kyai Sepuh tinggal. Mereka ingin melihat langsung apa yang sedang dikerjakan Kyai Sepuh. Kyai Sepuh ternyata sedang duduk-duduk sambil menyeruput kopi. Kyai Sepuh melambaikan tangan ke arah santri yang mengendap-endap di samping pendopo.
Demi dapat berdekat-dekatan dengan Kyai Sepuh, para santri bengal itu pun menghampiri Kyai Sepuh dan duduk bersama-sama dengan sopan sesopan sopannya.
“Silakan… silakan duduk…”

Para santri pun duduk mengelilingi Kyai Sepuh. Kyai Sepuh kembali menyeruput kopinya. Sssssshhhhh…!! Mulutnya mendesis nikmat setelah semua kopi hilang dari gelasnya, hanya menyisakan ampas. Lalu Kyai Sepuh mengambil rokok dan menyalakannya sebatang. Ketika ujung rokok sudah menyelip di kedua bibirnya yang kehitaman, ujung tembakau itu sulit sekali menyala karena api mati sebelum benar-benar menyulut ujung rokok. Kyai Sepuh berusaha terus menyalakan rokoknya sambil menahan terpaan angin yang berembus. Para santri sabar menunggu hingga api membakar ujung rokok itu. Kyai Sepuh menghisapnya, dengan tenaga yang lebih giat lagi, hingga tembakau yang terbakar terdengar mengeretek dan mengeluarkan asap berkepul-kepul.

“Pak Kyai, bukankah merokok itu diharamkan oleh beberapa ulama tertentu…?” sindir salah satu santri, yang kemudian lengan santri itu ditepuk oleh santri lainnya karena dianggap lancang.
“Sudah… jangan ribut. Kalian tentu ingin tahu alasan kenapa saya tetap merokok, meskipun ada yang mengharamkannya. Menurut saya, merokok itu hukumnya mubah. Dikerjakan atau ditinggalkan, tidak apa-apa.”
“Bukankah rokok dapat merusak kesehatan, Pak Kyai?”
“Benar, kisanak. Pernah ada dokter yang menasihati saya begitu. Tapi saya merokok saja sampai sekarang dan tetap sehat. Dan dokter yang menasehati saya itu malah sudah meninggal dunia! Hahaha.”
Kyai Sepuh tertawa, semua santri bengal ikut cekikikan. Kyai Sepuh kembali menghisap rokoknya dalam-dalam. Santri yang terkena asap rokok mengibas-ngibaskan tangan.

Adik pemilik pesantren, Abdullah Miftah datang mendekat, membuat para santri bengal itu ketakutan. “Kalian sedang apa di sini? Kalian mengganggu Kyai Sepuh yang sedang beristirahat. Mau dapat hukuma lagi…???”
“Alhamdulillah… saya tidak merasa terganggu. Saya malah senang dengan anak-anak santri yang kritis.”

Meskipun Kyai Sepuh tidak keberatan atas keberadaan mereka, anak-anak santri memilih pergi dari pendopo. Gelas kopi Kyai Sepuh diambil, dan di belakang pendopo, para santri bengal itu berebutan mencecap ampas kopinya, demi mendapatkan kepintaran dan keberkahan Kyai.
Kini Abdullah yang duduk saling berhadap-hadapan dengan Kyai Sepuh. “Saya dengar Pak Kyai baru pulang haji lagi? Bagaimana keadaan di sana sekarang?” tanya Ustadz Abdullah, yang mendengar Kyai Sepuh naik haji dari Ustadz Zaini Miftah.
“Saya ndak mau naik haji kalau masih banyak masyarakat yang kelaparan.”
Semua terdiam mendengar ucapan Kyai Sepuh.
“Jadi Kyai Sepuh tidak jadi berangkat haji lagi?”
“Ndak jadi! Naik haji kok dijadikan trend! Cuma semacam gaya hidup!”
Abdullah kerongkongannya seperti tercekat. Dia kesulitan menemukan kata-kata. Dia berpikir, lebih baik berhadapan dengan para Profesor yang menguji tesisnya kala dia ujian S2 di Libya, daripada bicara dengan Kyai Sepuh yang tengah dihadapinya.
“Maaf Kyai, saya dengar Kyai ada rencana ceramah di salah satu stasiun televisi?”
“Oh, itu hanya kabar burung! Saya ndak mungkin ceramah di teve. Memangnya saya artis? Saya juga ndak akan mau ditawari main iklan. Saya ini Kyai. Bukan public figure! Enak ceramah di mushola, di langgar, di masjid, atau dari rumah ke rumah. Kalau saya ada masalah, jadi ndak perlu masuk acara infotainment . Coba pikir, masak Kyai ada di acara gosip? Yang benar saja!”

Abdullah benar-benar kehilangan kata-kata. Kini kerongkongannya seperti tercekat!

***

Kedatangan Kyai Sepuh membuat seisi pesantren Miftahul Jannah benar-benar geger. Tidak seperti yang mereka bayangkan sebelumnya, dari cerita-cerita tentang sang Kyai, Kyai Sepuh yang mereka hadapi langsung adalah Kyai Sepuh yang benar-benar di luar dugaan mereka.

Ketika Ustadz Zaini Miftah kembali dari ceramah di kampung sebelah, para santri bengal tadi berbondong-bondong mendatanginya. Mereka menanyakan kebenaran karena Ustadz Zaini Miftah telah menceritakan kabar ngawur. Sebab Kyai Sepuh yang diceritakan oleh Ustadz Zaini Miftah benar-benar tidak persis sedikitpun.
Ustadz Zaini Miftah tersenyum saat menghadapi santrinya, “Maaf yang sebesar-besarnya, sekali lagi mohon maaf. Saya baru mendapatkan kabar, ternyata Kyai Haji Zulfikar bin Haji Matsani bin Haji Mugheni, Kyai Sepuh yang sekiranya datang hari ini tidak jadi datang. Sekembali beliau dari ibadah haji di Mekkah, beliau ada acara di pesantren lain.”

Semua santri melongo, “Lalu, siapa Kyai Sepuh yang pagi ini datang ke pesantren kita?”

Abdullah datang dengan nafas terengah-engah, dan berteriak, “Kyai Sepuh sudah tidak ada di kamarnya!”
Semua santri semakin bingung. Kecuali Ustadz Zaini Miftah yang berusaha mencairkan keadaan, “Mungkin kalian salah. Orang yang kalian anggap Kyai Sepuh itu bukan siapa-siapa. Tetapi lelaki tua biasa yang kalian anggap Kyai! Bukankah pesantren ini memang terbuka untuk siapa saja yang mau berkunjung?”
Setelah itu Ustadz Zaini Miftah mohon diri, karena beliau belum istirahat sepulang ceramah seharian tadi. Para santri pemalas yang sempat berebutan mencecap ampas kopi ‘Kyai Sepuh’ terperangah. Tiba-tiba mereka merasakan tenggorokan mereka lengket!

Di tempat terpisah, di ujung pasar dekat terminal busa ntar kota, lelaki tua bersorban putih yang menggenggam tasbih tengah duduk di pojokan. Dia duduk di dekat tukang buah sambil mengamati orang-orang yang berseliweran turun naik bus kota. Dialah lelaki yang dianggap sebagai Kyai Sepuh oleh para santri. Sosoknya memang seperti Kyai, tetapi dia lelaki tua bernama Pak Markum, lelaki alim yang jiwanya agak terganggu sejak anak kesayangan satu-satunya mati terlindas bus kota di dalam terminal bus ini, beberapa tahun lalu, tepat di depan dirinya yang saat ini sedang menghabiskan sisa sepotong semangka. ***


LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here