Rumah sedang kosong. Bibi Ruyan tidak ada. Kenapa tak ada satu pun makanan di meja makan? Ukas benar-benar kebingungan. Tidak seperti hari-hari biasanya. Nasi di piring, tempe goreng, ayam goreng paha, kecap dan kerupuk serta segelas susu selalu sudah tersaji setelah dia bangun tidur. Tapi hari ini benar-benar beda, aneh.
Dia segera menelepon ayahnya. Dia sungguh kelaparan. Untuk masak telur dan mengambil nasi dalam wadah ia akan kepayahan. Di panggilan pertama, dia berpikir buat apa menelepon ayahnya. Ayahnya sedang bekerja, tidak mungkin dia akan pulang hanya untuk mengambilkan dia makan. Ukas urung menelepon ayahnya.
Dia kembali menuju telepon itu setelah beberapa saat menonton televisi. Tapi dia urung kembali menelepon ayahnya. Dia menuju pintu rumah, dia telusuri seluruh ruang di rumahnya. Sialnya semua pintu sudah dikunci, dan dia sudah menduganya. Siapa lagi jika bukan ayahnya. Dia tak bisa keluar untuk mencari makan, dan kembali menuju telepon.
Dia pernah mendengar beberapa kata-kata yang tak enak didengar, kata orang dewasa namanya umpatan, pernah ia dengar dari teman, film, atau bahkan ayahnya sendiri ketika sedang emosi dan memarahi karyawan. Ukas tahu umpatan itu tidak baik. Tapi dia tak kuat menahannya dan mengeluarkan semua kata-kata kasar itu. Namun, akhirnya dia pun tersadar. Hanya ada satu cara menyelesaikan kelaparan ini, pikirnya. Kalaupun ayahnya tak mungkin melakukan apa yang dia harapkan, setidaknya dia tahu, mengapa rumahnya yang kosong dan dikunci rapat-rapat ini.
Dia mulai menggenggam gagang telepon itu. Menekan nomor pada buku telepon bernamakan “Ayah”. Dia menghela napas, dan mencoba mengatur emosinya. Namun amarah dalam dadanya tetap meledak-ledak.
“Halo, Ayah.”
“Iya, ada apa, Nak?”
“Ayah, kenapa rumah kosong? Kenapa dikunci? Aku lapar, aku mau makan.”
“Nak, tadi kan kamu sudah makan bersama Ayah.”
“Hah? Kapan, Yah? Aku bangun dan Ayah sudah tak ada di rumah dan makanan juga tak ada, terus Bi Ruyan pun tidak ada, ke mana dia? Kurang ajar dia, pergi tanpa menyiapkan sarapan buatku.”
“Hiss, tak boleh bicara begitu pada orang yang tadi sudah membuat kamu kenyang. Masa kamu tidak ingat. Tadi kamu sudah makan bersama ayah dan Bi Ruyan juga.”
“Aku tidak ingat, Ayah.”
“Masak? Tadi Bi Ruyan bilang sudah pamitan kepadamu.”
“Oh, iya. Bi Ruyan menemani aku tidur, terus bilang kalau dia mau pulang kampung karena anaknya sedang sakit.”
“Nah, itu kamu ingat. Kamu tidur kan karena kekenyangan. Kamu tadi malam kan sahur bersama Ayah.”
“Eh, sahur? Oh ya, ini puasa ya. Ah, masa sih, Yah. Hehehe, aku lupa, Yah. Tapi aku kan masih kecil, aku belum wajib puasa. Jadi aku boleh kan batal saja. Aku kan lapar.”
“Nah loh, masih ingat tidak kemarin bilang apa kamu ke ibu? Kamu kan sudah janji kalau mau puasa ke Ibu.”
“Tapi Ibu kan di kuburan, Yah. Apa ibu dengar ucapanku?”
“Ibu dengar, Nak. Kamu kan anak kuat, kamu pasti bisa sampai waktu buka nanti. Ayah pulang cepat kok. Nanti kita buat takjil bersama.”
“Oke, Yah. Siap. Aku berjanji tidak akan mengecewakan Ibu. Ibu pasti bangga melihat aku belajar puasa.”
Di seberang sana, Ridwan tersenyum. Dari matanya keluar tetesan air hangat. Dia segera mengemasi berkas-berkas kantornya dan bergegas izin pulang. Kantornya memberi keleluasaan bagi para muslim yang sedang menjalankan ibadah puasa meskipun mayoritas karyawan adalah non muslim.
Dia bangga pada anaknya yang sudah mulai mau belajar puasa. Di sisi lain dia juga teringat mendiang istrinya yang dengan sabar dulu menasihatinya agar mau berpuasa. Ridwan dulu Muslim yang lalai. Salat, puasa adalah hal yang menurutnya tak penting. Namun, setelah istrinya sakit keras, dia mulai luluh dan mengubah diri.
Di rumahnya, Ukas berdiam diri sambil makan keripik singkong kesukaannya. Kali ini dia bukan lupa. Seperti yang pernah dikatakan guru agamanya, jikalau kita puasa lalu mengumpat dan marah-marah maka puasanya tidak dapat pahala. Jadi kan percuma dilanjutkan lagi. Dengan santai sambil menonton kartun dia menikmati keripik itu. Dia tidak sadar jika Ayahnya sedang ada di belakangnya mengawasi dia.
“Lho, katanya puasa, kok kamu makan keripik?” tanya ayahnya. “Lupa ya?”
“Nggak, Yah. Aku kan sudah marah-marah, ayah. Puasanya nggak dapat pahala. Jadi mending batal saja, kan?”
Ridwan tertawa. Dielusnya kepala anaknya. Namanya juga masih belajar puasa. Ukas masih berusia 6 tahun. Tapi, tentu akan dia jelaskan apa yang boleh dan tidak boleh saat berpuasa. Perlahan-lahan. Sebagaimana istrinya dulu menasihatinya untuk menjadi lebih baik.