Kacamata, Mata-Mata Kaca

0
205
kacamata mata-mata kaca
ilustrasi (pinterest)

Mata-mata itu menatapku, dalam beragam gaya. Di depannya bertengger kaca-kaca, yang membuncah dengan sorotannya. Ada yang membetot leher-leher sembelihan, sehingga aku merasakan denyut nadi terakhir mereflekkan rigomortis, sakit. Ada yang mengetok palu, sehingga aku merasakan cercah akhir kebebasan sang pesakitan terpidana, lara. Ada yang melenggok di cat walk, lantas aku merasakan kegenitannya mencibirku. Ada yang menyibak lembar demi lembar kemuliaan, lantas aku merasakan keborjuisannya mengejekku. Mereka memainkan simponi dalam bait-bait kepalsuan.

“Kacamata … tundukkan pandanganmu!” aku merapat ke haluan, “Jangan buat keteguhanku tergoncang.”

Si kacamata jagal melotot. Sorotnya disulap menjadi pisau-pisau yang tegas mengelupas. Darah … darah itu mengucuri sekujur tubuhku. Aku terhempas.

“Bisakah kau sedikit arif dengan melepas kacamata jagalmu? Aku manusia yang butuh kasih sayang. Jangan tumbuhkan diriku dengan kekejamanmu. Beri aku waktu untuk melaksanakan tugasku.”

“Tidak… karena hidup adalah pilihan antara maut dan kemuliaan. Mukti atau mati. Sekali kuberikan kesempatan, lakukan dengan kesempurnaan.”

“Kau menjadi Pharaoh yang mencoba berparodi dengan Allah? Durhaka, kau! Allah sendiri memberikan manusia kesempatan untuk belajar.”

“Jangan banyak berdalih…”

Oh, tidak! Bagaimana aku bisa menjalankan kesempurnaan jika ia membayangiku dengan kengerian. Aku berlari, menghindari tatapannya. Ia tak mau melepaskan kacamata jagalnya, bagaimana mungkin nurani bisa mengkolaborasi?

Aku merentasi keheningan, sedikit lega karena sang jagal tak lagi membayang. Oh, mata… oh kacamata… oh mata-mata kaca, ia membuntutiku. Ia menenggelamkanku. Ia membunuh keberanianku. Kuhela nafas panjang, menyusun bait melankolisme baru. Ahh… Haaaah!!

“Mata? Kacamata?”

“Aaaaauuuuwww!!” Raunganku mencincang getar. Mata lagi, mata lagi… Si mata hakim. Sorotannya umpama palu-palu yang rajin mengadiliku. Aku merasa tertuduh. Aku merasa terinterogasi. Aku merasa…

“Makanya, jadilah orang yang senantiasa berbuat baik.”

“Ufff…” aku terantuk kengerian, “kau pernah mengatakan jika kita bukan malaikat? Bukankah manusia itu mahluk yang tak pernah luput dari salah? Kau lupa itu? Atau kau…”

“Kau tuduh aku pelupa? Keterlaluan!”

“Lantas, apakah kau menganggap dirimu juga malaikat?”

Ia diam, namun palu-palu itu masih berkejaran. Melacak kesalahanku sekecil-kecilnya, mempertontonkan pada khalayak seakan sebuah hiburan segar. Mengapa? Apakah ini mengartikan bahwa akulah si penebar aib manusia, sehingga aibku kemudian disebarnya pula sebagai balasan?

Aku tidak tahan… aku tidak tahan… aku tidak tahaaaaan!!

Keadilan sejati, dimana kau? Aku tahu bahwa kau lebih jeli dari pada kacamata hakim itu. Aku tahu bahwa keadilanmu adalah keadilan sejati. Namun dimana kau kini? Aku mengembara kesana kemari sebagai pesakitan.

Uuuuh, desahku memupus kelam. Aku ragu dengan eksistensi diri, dengan klimaks diri bahkan dengan hakikat diri. Aku merasa selalu menjadi pendosa, karena mata-mata itu telah mengenakan kaca mata. Dan kini, kacamata yang memandangku adalah kacamata sang hakim. Tetapi keraguan akan keabsahan kaca-kaca itu, haruskan menjadikan sebuah kedurhakaan?

“Jika kau takut dengan dia, pergi saja bersamaku.”

Suara yang rancak. Namun lututku kembali melemas. Kaca mata, mata-mata kaca lagi. Sorotnya kini adalah lenggokan peragawan, memamerkan kepiawian.

“Sebaiknya kau mengikuti kacamata para peraga, sehingga kau akan senantiasa dipandang sebagai orang baik, sebagai bintang yang senantiasa bersinar.”

“Dan aku hidup dari kantong ke kantong riya?” aku meringis. Namun sorot itu bahkan mencibirku, menenggelamkan aku ke dalam lumpur kerendahan.

“Kau sama sekali tidak mengerti prestis.”

“Omongan apa itu? Aku tidak mau mendengarkan!”

Kututup kupingku kuat-kuat. Demi tuhan, aku belum bisa terbebas dari mata-mata jagal serta mata-mata hakim. Jangan bantai aku dengan mata-mata peraga, hidupku bisa-bisa menjadi hilang makna.

“Sudah, pergi sana! Aku ingin menempuh hidup dalam kesejatian, seperti prinsip yang kuyakini.”

“Tetapi kau akan tetap berbaur dengan mata-mata. Dan saat itu, kau tidak akan terlepas dari pandangannya.”

Ia benar, kurasakan kelelahan menghipnotis kesadaranku. Namun ia gagal. Aku mengucap syukur. Dalam kertatihan, akhirnya aku menyusuri lorong tak bertepi. Aku tahu jalan ini sangat panjang, bahkan aku tak mengerti ujungnya. Namun jalan ini terang benderang. Hanya, ia penuh dengan liku-liku yang membaurkan tekadku pada sebuah percampuran. Apalagi, disana-sini terdapat pintu-pintu dimana mata-matanya membuat aku kehilangan kemerdekaan.

Aaaah, sebenarnya kesejatian itu seperti apa? Karena semua telah tertutup kacamata, dan ia tercipta dari sebuah peradaban. Namun apakah peradaban itu? Bukankah dalam tradisi-tradisi Spenglerian, peradaban-peradaban itu ditakdirkan menuju kematian, dimana awalnya terdapat musim semi, lantas bergerak menuju kedewasaan dalam musim panas, mencapai puncak kebesaran intelektual pada musim gugur, lantas menjadi pesakitan sejarah dan menemui ajal pada musim dingin? Lantas, jika aku mengikuti pandangan kacamata-kacamata itu, akankah kehidupankupun menjadi fluktuatif, atau aku harus mengikuti setiap jenis kacamata yang mereka kenakan.

Lelaah, apa yang seharusnya aku lakukan?

“Seperti pandanganku saja,” ia menatapku dengan kacamata. Sorotnya adalah lembaran-lembaran kekayaan, “kau akan mendapatkan apa saja yang kau mau.”

Ia, siapa lagi ini? Setelah jagal yang nyaris membetot urat leherku, hakim yang tak henti mengadiliku, peraga yang mempertontonkan kehebatan, kini sang hartawan. Ia mempromosikan kacamatanya, ketika aku nyaris hancur dalam debu-debu peradaban.

“Apa kelebihan kacamatamu?”

“Kenikmatan.”

“Kesemuan?”

“Jangan senang menjadi pendebat.”

Ah, aku melenggak jemu. Mengapa aku tidak boleh mengungkapkan apa yang kuyakini. Tidaak, aku tidak akan memperoleh ketentraman jika mengikuti pandangan sang hartawan. Aku akan merasa terus menerus kekurangan, miskin harta, dan tidak menghargai jiwa.

Lalu, pandangan seperti apa yang kuingini?

Ah, kacamata-kacamata… ia mendadak menjadi mata kaca-kaca. Kaca-kaca yang diukir oleh peradaban, suatu saat ia tumbuh, berkembang, dewasa dan kemudian mati. Karena itu, untuk memperkuat eksistensi diri, ia akan melacurkan diri sebagai mata-mata, mengikuti kemanapun sosok-sosok itu pergi.

Aku roboh. Lelah telah mengkebiri kekuatanku. Yah, telah banyak yang kuperbuat, namun semua terasa sia-sia. Mengapa?

Tiba-tiba aku terpelanting pada sebuah pusaran. Ia menghembus sekujur tubuhku, melentingkan ke hamparan serasah cahaya. Aku tak menyadari bahwa persatuan tubuhku kini menari-nari dalam cahaya. Ia kegirangan, ia seperti bocah-bocah kecil yang menemukan mainannya.

Ada apa?

Oh, tuhan! Aku melihat kacamata-kacamata itu terlepas dari peraduannya. Ia melayang, bermain petak umpet sejenak dengan pusaran cahaya, lantas terkena sergapan dan satu persatu jatuh.

“Wahai hamba Allah!” terdengar seruan, dari seorang lelaki bergamis putih. Semerbak parfum mengolesi persada.

“Jika kau memperturutkan pandangan kacamata-kacamata, maka kau akan hilang dari persenyawaan nurani.”

“Karena ia lahir dari peradaban?” aku bertanya, gagap.

“Ya, sehingga dia akan berjalan sesuai dengan jalannya peradaban.”

“Lantas, bagaimana aku harus hidup?”

“Ikuti kata hatimu, karena itu hatimu harus senantiasa ditajamkan, senantiasa dibersihkan. Sesungguhnya ia akan menjadi kacamata yang paling dekat dengan kacamata tertinggi, yakni kacamata Illahi. Lantas ikutilah pandangan kacamata-kacamata yang tercipta dari hati-hati luhur para pemilik mata, yakni orang-orang yang obyektif memandang. Ia akan menjadi cermin bagi dirimu.”

“Aku mengerti!” seruku, girang. Ya, aku mengertiii.

Kelelahanku selama ini adalah, karena aku bersikap hanya untuk sekedar memuaskan pandangan orang-orang berkacamata peradaban. Aku lupa, ada kacamata yang jauuuh lebih sempurna. Ia akan memandangku sebagai hamba. Dan darinya, sebuah anugerah Ia berikan, kacamata hati. Kebersihannya akan menjadikan ia semakin dekat dengan pandanganNya.


LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here