Judul : De Hoop Eiland
Pengarang : Afifah Afra
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Tebal : 696 halaman
Cetakan : Pertama, Februari 2022
ISBN : 978-623-253-081-2
De Hoop Eiland adalah novel penutup caturlogi De Winst. Tiga novel pendahulunya: De Winst (2008), De Liefde (2010), dan Da Conspiração (2012). Sama seperti novel terdahulu, novel yang mengambil setting tahun 1930-an ini menceritakan lika-liku perjalanan hidup tiga tokoh utama, yakni Rangga Puruhita, Sekar Prembayun, Everdine Kareen Spinoza, plus tokoh lain yang sebelumnya muncul di De Liefde, yakni Yudhistira.
Sekadar trivia, Rangga adalah bangsawan Surakarta, sarjana ekonomi lulusan Universitas Leiden, Belanda. Dia ditangkap dan dibuang Pemerintah Hindia-Belanda ke Ende, Nusa Tenggara karena dianggap melakukan tindakan subversif (masa pembuangan ini, dipaparkan lengkap di novel Da Conspiração). Di Ende, Rangga dianggap kembali membelot pemerintah, sehingga dibuang ke Boven Digoel, Papua (kisah inilah yang dibabar lengkap di novel De Hoop Eiland ini). Sedangkan Sekar, sepupu Rangga, sama-sama ningrat Surakarta, ditangkap dan dibuang ke Belanda, lantaran giat mengkritik ‘kebijakan’ politik Pemerintah Hindia-Belanda melalui tulisan-tulisannya di pekabaran. Dia juga dimusuhi pemerintah, karena mendirikan sekolah ‘liar’ bagi rakyat jelata (masa pembuangan Sekar diungkap gamblang di De Liefde). Sementara Everdine, seorang Indonesianis, berlatar belakang Belanda totok, merupakan sarjana hukum berpendidikan Barat. Dia menikahi Rangga (baca De Winst) dan gigih mengadvokasi serta membela pribumi yang ditindas Pemerintah Hindia-Belanda (De Liefde). Terakhir, Yudhistira, pribumi, pecatan angkatan laut Hindia—Belanda, yang sejumlah kali bersikap oportunistik, namun sejatinya, dia mendukung kemerdekaan Nusantara.
Fokus ke novel De Hoop Eiland. Novel ini terdiri dari lima bagian. Bagian pertama menceritakan kehidupan Sekar saat bermukim di Jerman (usai diculik pasukan berlogo swastika) beserta ketegangan masyarakat Jerman sebelum dan saat Adolf Hitler naik ke tampuk kekuasaan. Bagian kedua, memaparkan cerita Everdine yang terdampar di Maladewa, setelah terjadi pemberontakan di Kapal De Zeven Provincien yang dia tumpangi. Bagian ketiga—merupakan bagian paling menarik—mengisahkan perjuangan hidup interniran di penjara terbuka mahaluas; Boven Digoel. Kemudian, keempat, menuturkan tentang dualisme sikap Yudhistira yang seolah-olah pro dengan Kerajaan Hindia Timur—berafiliasi dengan gerakan fasis Nazi Jerman—yang membelot dari Pemerintah Hindia-Belanda, tapi ternyata diam-diam menggalang dana untuk menyokong pejuang kemerdekaan Nusantara. Bagian terakhir, menceritakan pertautan keempat tokoh disertai konflik pendirian Kerajaan Hindia Timur.
Bicara soal setting tempat, terutama bagian pemaparan kehidupan Sekar di Jerman dan Everdine saat di Maladewa, pembaca seperti diperlakukan layaknya turis dengan pengarangnya sendiri sebagai tour guide-nya. Pembaca seolah-olah sekadar diberitahu: ini Jerman, ini Berlin, ini lho konflik antara pendukung fasisme versus kaum antifasisme. Demikian pula di Maladewa; tentang perkembangan Islam di sana beserta adaptasi nilai-nilainya oleh penduduk lokal. Sebaliknya, begitu masuk bagian keempat, yakni episode kehidupan Rangga di Boven Digoel, Afifah Afra seperti mengubah haluan. Pengarang memperlakukan pembaca layaknya backpacker yang diajak bahkan dibiarkan menyelami sendiri pahit-getir kehidupan interniran di pedalaman Papua: bagaimana ganasnya nyamuk malaria dalam menyerang para orang buangan, tentang buaya-buaya Sungai Digoel yang siap sedia membantai siapa pun yang mendekat, betapa keras kepalanya orang-orang Naturalisten, kehidupan suku asli Papua yang tak segan mengayau pihak yang dianggap musuh, dan sebagainya. Pendek kata, babak kehidupan interniran di Boven Digoel, sungguh meyakinkan. Fragmen yang menceritakan perjalanan Rangga, dr. Sucitro, beserta kawan-kawan saat menaiki perahu tradisional melawan arus sungai guna mengobati orang Naturalisten hingga dikejar pasukan KNIL (halaman 336-370) mengingatkan akan novel Aimuna Sobori karya Hanna Rambe ketika Kakek Gamati bersama rombongan menaiki perahu, menghindari kejaran Pani-Pani atau Kompeni. Kedua cerita tersebut tidak sama persis, tapi ketegangan dan sensasi rasa yang diperoleh pembaca, nyaris serupa.
Bicara soal karakterisasi, tokoh-tokoh dalam De Hoop Eiland memiliki karakter yang bulat. Pengarang tidak menyematkan sifat sempurna pada tokoh-tokoh ciptaannya, masing-masing memiliki kelebihan-kekurangan yang sepadan, layaknya manusia marcapada. Karakter dalam novel ini juga menunjukkan perubahan sifat, sikap, maupun pandangan dalam rentang perjalanan cerita. Rangga, misalnya. Sebagai tokoh utama yang ditahbiskan pengarang menjadi pemimpin, dia womanizer, bersifat peragu, mudah bimbang, gampang trenyuh. Pengarang kemudian memasangkannya dengan Everdine, sosok yang blak-blakan, ekspresif, dan terbuka, sehingga satu sama lain, dapat saling melengkapi. Sedangkan Sekar yang berjiwa perintis, gigih, dan penganut paham keadilan gender, pengarang pasangkan dengan Yudhistira yang maskulin, tangguh secara fisik maupun mental, sehingga pasangan ini semakin kokoh.
Sama seperti novel pendahulunya, De Hoop Eiland pun mengusung semangat keadilan gender, lewat tokoh Sekar yang sedari kecil dibesarkan dalam tradisi keraton Jawa yang toxic masculinity. Ini tercermin, di antaranya lewat percakapan Sekar dengan Letnan Bastian Wagner. Sebagai pribadi yang percaya diri dan berpandangan egaliter, Sekar menyebut laki-laki berpangkat tersebut dengan namanya saja. Dia berkata, “Banyak perempuan menjadi seperti yang Anda sebutkan tadi, karena tidak diberi kesempatan untuk belajar. Sebenarnya, jika diberikan kesempatan, perempuan pun akan sangat bersemangat untuk memajukan dirinya. Akhirnya, dia pun akan menjadi sosok cerdas.” (halaman 530). Dengan kesadaran tersebut, saat masih bermukim di Surakarta, Sekar menginisiasi sekolah partikelir untuk pribumi yang disebut sekolah liar oleh Pemerintah Hindia-Belanda (lihat De Winst). Dengan kesadaran itu pula, Sekar giat menggenjot kualitas diri dengan mengikuti perkumpulan-perkumpulan serta diskusi-diskusi dengan isu perempuan (lihat De Liefde) dan mencoba belajar di Universität Boon saat bermukim di Jerman (De Hoop Eiland, halaman 40-124). Dalam hal ini, latar belakang pengarang—mungkin—turut serta mempengaruhi karakteristik Sekar. Diketahui, Afifah Afra adalah orang yang gemar belajar, di antaranya menimba pendidikan akademis—saat ini berkuliah di Magister Sains Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta, sebelumnya di Magister Manajemen Universitas Slamet Riyadi dengan IPK 3,92. Pengarang juga menjadi pimpinan penerbitan buku, pernah menjadi ketua organisasi kepenulisan, dan aktif di organisasi sosial (periksa https://www.afifahafra.com/p/profilku.html).
Hal yang cukup mengganggu adalah ‘kebiasaan’ pengarang yang ‘gemar’ meng-hanya-kan profesi atau status sosial tertentu. Dapat dikutip beberapa di antaranya: hanya penulis pemula (halaman 104), hanya motorist (halaman 292), hanya sesosok pupuk bawang (halaman 302), hanya seorang perawat (halaman 448), hanya seorang koki (halaman 538), dan sebagainya. Sejumlah kali, kata hanya digunakan dari sudut pandang orang pertama (Aku), menunjukkan rasa rendah diri, kadang-kadang juga digunakan sebagai upaya tawadhu (?). Tapi, kerapkali kata hanya digunakan dari sudut pandang orang ketiga (jelas-jelas pengarang yang bercerita), menunjukkan pandangan yang merendahkan. Dalam hal yang disebut terakhir, kentara berlawanan dan mencederai semangat egaliter yang coba dibangun pengarang dalam novel ini.
Hal yang patut diapresiasi dari novel ini adalah keputusan pengarang untuk tidak mengembalikan Rangga, Sekar, Everdine, dan Yudhistira sebegitu keempatnya lepas dari status sebagai orang buangan, ke tempat tinggal sebelumnya. Pengarang memilih membuat keempatnya bertahan hidup di kepulauan Indonesia Timur, guna membangun kehidupan baru dan memberdayakan masyarakat menggunakan potensi yang dimiliki masing-masing. Mengutip pernyataan Guru Besar Sejarah, FIB UI, Prof. Dr. Susanto Zuhdi, S.Hum., M.Hum., para tokoh yang diasingkan dari kampung halaman masing-masing, seringkali justru diterima dan dihormati oleh penduduk setempat. Interaksi mereka itulah yang menyuburkan semangat persatuan bangsa. Dengan melihat dimensi tempat pengasingan tersebut, dapat dicermati unsur terbentuknya keindonesiaan. Dengan kata lain, tempat pengasingan itu sesungguhnya merupakan simpul-simpul perekat bangsa (https://s.id/XsQo).
Penulis: Thomas Utomo
Tetralogi novel yang sangat bagus, dari 2010 menunggu yang keempat, sampai akhirnya berkesempatan menikmati kembali perjuangan pahit getir pendahulu kita memperjuangkan kemerdekaan. Dibalut dengan romantisme dan beberapa kisah heroik, menjadikan novel ini begitu candu untuk dibaca. Hal yang harus dilestarikan ke generasi-generasi penerus bangsa, betapa pentingnya berjuang dari bawah bukan mengandalkan sesuatu yang instan, terbukti para anak bangsawan raja Surakarta rela bergelut lumpur bersama rakyat pribumi, untuk mengangkat derajat bangsa Indonesia di mata dunia pada umumnya dan di mata Penjajah Belanda pada khususnya, meskipun risiko yang harus diterima tidak mudah dan sangat sangattt berat. Mereka bisa saja duduk-duduk depan teras pengayoman sambil minum teh dan baca koran, tapi mereka tidak melakukan itu. Tokoh favorit saya pada novel ini yaitu YUDHISTIRA cerdas, kuat, terampil, gagah, gigih, maskulin, lincah, peduli, dan sifat positif lainnya. Betapa epik nya cerita ini kalau diangkat ke layar lebar, agar membuka mata generasi Z yang menye-menye untuk menjadi generasi yang tangguh, gigih, berprinsip, dan tentu saja cinta tanah air. Oh ya satu lagi yang buat saya penasaran tentang cerita di akhir de liefde tentang pertemuan di Pulau Onrust setelah kemenangan kasus hukum seorang pribumi dengan Penjajah Belanda :-). Wasana, novel ini merupakan terbaik dari saya yang malas baca buku. Terima kasih dan salutttt… Keep fighting !!!!
masyaAllah, terimaksih atensinya Sobat Filmi